Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 44)

Bacaan sebelumnya klik di sini


Aku benar-benar tidak menyangka kalau Charnia akan satu kelas lagi denganku. Jujur, sebulan di rumah aku sudah mulai terbiasa tidak memikirkannya. Bermain bersama teman rumah membuat aku hilang akan segala tentang sekolah karena yang aku pikirkan hanya main dan bermain. Satu kelas dengan Charnia lagi hanya akan membuat aku terjebak dalam kondisi bodoh.

Dan benar saja. Belum satu jam masuk sekolah, jantungku berdegub cepat. Aku percaya pasti ada maksud lain kenapa aku satu kelas lagi. Tidak ada perubahan pada Charnia setelah lama tak berjumpa. Dan aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Yang bisa kulakukan hanya tersenyum jika dia melihatku. Kalau senyum tak sangup, pura-pura sibuk atau memalingkan ke arah lain yang paling mudah. Sungguh miris.

Tidak ada yang berubah darinya. Rambutnya terurai panjang dengan sedikit warna pirang. Saat pertama kali melihatnya, aku kira itu adalah rambut yang diberi warna. Tapi berbulan-bulan memperhatikan Charnia, tidak ada perubahan warna rambut. Kesimpulanku dia suka main layangan. Tapi aku tidak berani bercanda atau bahkan bertanya mengenai rambutnya yang tidak pernah ganti model itu.

Tapi teman-teman sekelas suka meledek rambutnya yang berwarna keemasan. Charnia hanya mengelak dengan teriak, “Bukaaann!!!” Itulah pertama kalinya aku mendengar suara dia setelah beberapa bulan mengawasi dari kejauhan. Dia memang orang yang pendiam. Temannya itu-itu saja.

Saat pertama kali masuk kelas, Charnia melihat kiri-kanan. Tidak ada wanita yang dia kenal. Teman wanita kelas dua sudah duduk dengan temannya yang lain. Charnia sungguh kebingungan. Dia sempat berdiri terdiam di depan kelas beberapa detik mencari kursi kosong. Aku terus mengamati secara diam-diam di saat teman sebangku berbincang dengan teman baru.

Charnia lalu berjalan. Sepertinya sudah menemukan tempat yang dutuju. Dia berjalan ke arahku. Jangan-jangan dia akan duduk di depanku? Tanyaku dalam hati. Aku menjadi salah tingkah. Aku coba untuk mengejakan sesuatu. Kurogoh laci meja layaknya sedang mencari sesuatu. Aku berharap menemukan benda bagus yang bisa dimainkan. Tapi tidak ada karena ini masih hari pertama dan tentunya kondisi kelas masih bersih.

Aku semakin salah tingkah saat Charnia semakin dekat. Kebetulan meja tepat di depanku kosong. Setelah meja itu adalah tempat guru. Itulah sebabnya sampai saat ini bangku itu tanpa penghuni. Aku berharap dia duduk di depan agar aku bisa mendekatkan diri dengannya. Charnia semakin dekat. Jaraknya hanya 10 meter dariku. Sebentar lagi dia akan dekat dan aku bisa mencium aroma tubuhnya.

Aku tidak sabar membayangkan selama setahun akan terus berbincang dengan Charnia. Tuhan sangat tahu isi hatiku. Setahun lalu aku menyia-nyiakan kesempatan ini. Kali ini beda. Aku benar-benar bisa memperhatikan seluruh kegiatannya selama sekolah tanpa harus melirik jauh. Sungguh senangnya hari pertama aku sekolah.

Agar tak ketahuan sedang memperhatian Charnia, aku mencari kegiatan lain agar tidak dicurigai. Alih-alih sembunyi dari pemantauan, aku malah semakin salah tingkah. Kembali kurogoh laci meja yang sudah tahu kosong. Bukan hanya memasukkan tangan dalam-dalam ke laci, aku bahkan menundukkan kepala memastikan akan menemukan sesuatu.

Bodoh sekali aktingku ini. Selama SMP, baru kali ini aku bertindak sangat konyol dan memalukan diri sendiri. Charnia terus berjalan semakin erat. Dia seperti tahu bahwa aku ingin sekali berjarak sangat rapat. Aku mencoba berbicara pada hati Charnia agar dia duduk di depanku meski tahu hal itu takkan pernah berhasil.

Meski tahu tidak akan pernah bicara langsung melalui hati, aku tetap mencoba. Aku terus berusaha menarik Charnia menggunakan aura agar terus mendekat. Dia melirik sekilas padaku. Sepertinya Charnia sadar bahwa dia sedang aku amati. Aku makin salah tingkah. Muka terasa panas dan badan terasa gerah. Keningku mulai basah karena terlalu panik. Aku sudah mati gaya karena ketahuan sedang memperhatikannya.

Aku hanya bisa memalingkan pandangan sambil sesekali mirik Charnia. Kepala aku miringkan sambil berpangku pada tangan kanan. Muka aku arahkan ke depan dan tetap mencoba santai. Tapi keringat di kening membentuk biji jagung dan makin membesar. Aku sangat panik meski mencoba untuk tenang. Aku jajal melirik lagi padanya. Charnia sudah tidak melihatku.

Aku bernafas lega karena mungkin dia tidak curiga. Aku kembali mengawasinya. Ternyata aku salah. Dia kembali melihatku meyakinkan diri bahwa sedang aku perhatikan. Aduuhhh!!! Bodoh sangat aku ini. Kalau saja aku sedikit sabar, pasti Charnia tidak akan menyadarinya. Dia sudah tepat di depanku. Charnia duduk di bangku depan baris kedua. Bukan di depanku.

Bersambung…

Previous
Next Post »
0 Komentar