Kabar Baik Akbar Robbi

Bulan Desember lalu rasanya santai sekali. Meski masuk kerja, aku merasa tidak bekerja. Dapat jadwal malam dengan libur tiga hari sungguh nikmat. Apalagi jarang sekali kejadian yang ada di malam hari. Gaji pun tetap dibayar tanpa pengurangan. Indah sekali dunia. Meski begitu, tetap ada saja kekurangan. Aku jadi tidak bisa mengasah keahlian pekerjaan sesuai bidang karena jarang liputan.

Di tengah pekerjaan yang tidak ada kerjaannya ini tiba-tiba aku memikirkan teman sewaktu SMA. Terlebih teman ketika kelas satu. Sejak lulus sekolah aku berpikir sudah “memutus tali silaturahmi” dengan mereka. Beberapa kali diajak bertemu aku selalu tidak bisa. Bahkan terkadang aku malas bersama teman yang selalu mengisi hari-hari di sekolah. Mungkin di tulisan yang lain akan kuceritakan mengenai ini.

Aku hubungi teman-teman yang aku kenal dari kelas satu ini secara pribadi. Pada dasarnya mereka bersedia, tapi tidak ada kejelasan mau bertemu di mana dan kapan. Rencana pertemuan bulan Desember pun gagal. Padahal aku juga punya bayangan bahwa kami akan malam tahun baruan bersama.

Januari datang. Akbar Robbi salah satu sahabat SMA menghubungi melalui pesan instan. Dia memikirkan pesan yang aku buat. Kali ini dia mengajak ketemuan. Aku siap asal Sabtu malam. Bekerja di media sulit bisa mendapatkan libur di tanggal merah. Kami punya hari libur sendiri. Bahkan ada kalimat candaan, “Kalau kiamat datang pun kami tetap liputan memberitakan peristiwa itu.”

Hari yang ditentukan pun tiba. Seperti biasa mereka datang terlambat. Sepertinya masing-masing dari kami sudah tahu. Padahal aku sudah datang telat, masih mereka masih belum ada di lokasi pertemuan. Mau tidak mau aku yang harus menunggu. Setengah jam menunggu, mereka terlihat juga. Orang kedua datang setelahku ada Pega Anindar. Lalu Septio Panca Nugraha yang mengusulkan tempat, terakhir Akbar ijin telat karena harus ke rumah sakit.

(dari kiri ke kanan) Akbar, Jaffry, Tio, Pega saat selesai acara nongkrong ganteng

Tanpa ada pembuka, tiba-tiba Tio – panggilan Septio – membuka rumor. “Kabarnya lu mau nikah ya, Bar?” Bar yang dimaksud adalah Akbar. Aku tidak tahu dia dapat info darimana. Aku menebak media sosial adalah informannya. Wajar saja aku tidak tahu. Aku tidak punya media sosial ini yang banyak digunakan para anak kekinian. Buatku, media sosial yang digunakan itu terlalu norak karena mereka sangat sering mengunggah foto kegiatan mereka.

Para penggunggah ini meyakini bahwa media sosial yang sebelumnya sudah dimasuki orang-orang alay dan banyak pembobol akun yang menyebar tautan porno. Tapi aku tidak sependapat. Malah mereka yang alay karena terlalu sering pamer di wadah itu. Kalau tidak setuju pendapatku, tidak masalah. Kita hidup bukan untuk memaksakan pendapat kita diiyakan orang lain.

Tapi terkadang aku menyesal karena sudah berjanji pada teman-teman tidak akan menggunakan media sosial itu. Kenapa? Karena aku jadi tidak tahu perkembangan terkini soal mereka. Padahal itu adalah alat satu-satunya aku bisa mengetahui kabar mereka. Tapi janji tetap janji. Aku tetap tidak akan membuat akun. Nanti juga ada wadah lain lagi yang lebih digandrungi anak muda.

Akbar mengiyakan. Dia bilang, “Insya Allah bulan April.” Aku rasa kenapa dia ingin mengajak kami kumpul adalah salah satunya untuk itu. Dia ingin memberikan kabar baik pada kami. Aku senang mendengar kabarnya. Ini berarti Akbar adalah pria pertama yang menikah di antara sekumpulan kami. Itu berarti pula bahwa kami akan benar-benar sangat jarang bertemu.

Masih dalam suasana bahagia, kami kembali mengenang kenangan. Kenangan saat pertama kali kami menginjak bangku sekolah di SMA. Mengingat pertama kali kami kenal hingga kami terpencar karena harus berpisah kelas. Mereka memori kejadian konyol dan tolol yang pernah dilakukan selama kami kenal. Menertawakan kisah bodoh percintaan kami. Bahwa sungguh pecundangnya kami terhadap wanita.

Kami tertawa. Tertawa sekencang-kencangnya. Mengingat itu semua kami berasa muda. Aku merasakan bahwa usiaku mundur menjadi 16 tahun. Menjadi lebih muda delapan tahun. Tidak terasa hampir satu dekade aku kenal mereka. Kami melupakan masalah yang ada sekarang. Semuanya lepas. Tidak ada yang bisa mengganggu kami.

Makanan sudah habis sedangkan masih banyak yang ingin dibicarakan. Menu pun dipesan lagi. Meski besok masuk, pekerjaan harus dikorbankan walaupun dengan kantuk. Momen ini langka. Tugas negara tidak boleh menghalangi kebahagiaan kami. Cerita kembali dilanjutkan. Peristiwa yang aku lupa kembali terekam. Lalu kami tertawa. Cerita lagi, tawa lagi. Begitu terus sampai mulut tidak bisa bicara.

Tidak terasa kami sudah enam jam di tempat ini. Penjual pun sudah ingin tutup. Suara pengajian sebelum waktu solat subuh juga mulai terdengar. Akhirnya waktu menjadi jendral di antara kami. Dia memberi komando agar kami bubar. Kami berpisah dengan suka maupun duka yang dinikmati menjadi cita. Selamat menempuh hidup baru Akbar Robbi. Di tulisan selanjutnya akan kuceritakan pertama kali aku mengenal Akbar.

Di hari resepsi

Previous
Next Post »
0 Komentar