Kisah-kasih di Sekolah (Bagian 48)

Bacaan sebelumnya klik di sini


Tidak terasa satu jam sudah aku duduk di tempat les mengenang masa lalu. Adzan Isya pun mulai berkumandang dari berbagai arah. Musola di sini juga tidak mau kalah menyuarakan adzan. Kalau begitu aku solat dulu saja. Biar tenang di rumah. Kalau sudah di kamar, malas mengerjakan apa-apa. Paling nanti tinggal mengerjakan pekerjaan rumah yang di berikan sekolah.

Sebenarnya sih agak kurang semangat untuk mengelesaikan tugas dari sekolah. Tinggal menyontek saja kelar. Badan juga sudah ingin rebahan. Lelah sekali rasanya. Otak sudah penuh dengan materi-materi yang dikirim melalui pengajar. Kalau aku ulang di rumah, pasti bakal membutuhkan waktu lama. Paling aku ingat yang mudah diingat saja biar tidak lupa. Sayang-sayang kan sudah menghabiskan waktu banyak tapi tidak ada yang masuk di otak.

Tiba di rumah, aku langsung melempar badan ke kasur. Nikmat sekali rasanya. Tulang belakang rasanya terlepas dari beban tubuh yang sebenarnya kurus. Beberapa detik tatapanku ke plafon dengan tubuh yang tidak bisa digerakkan. Aku menarik nafas panjang sambil memejamkan mata. Pelan-pelan aku ambil udara memalui hidung hingga paru-paru tidak bisa menampungnya. Lalu aku keluarkan lewat mulut pelan-pelan. Beberapa kali aku lakukan dan otak terasa segar kembali.

Hanya saja badan tetap tidak bisa kemana-mana. Setelah otak segar aku lagi-lagi melihat plafon. Pikiran lalu pergi jauh tanpa arah. Aku tidak bisa menahannya. Menikmati dia pergi. Lima menit tidak melakukan apapun cukup melanjutkan aktifitas yang harus dilakukan. Lambung di perut bergetar. Aku baru ingat terakhir makan sebelum berangkat bimbingan belajar. Kalau begitu waktunya makan malam.

***

Waktu yang dinanti pun akhirnya tiba. Nanti malam adalah pelaksaan pentas seni yang Rapsan sudah tunggu-tunggu. Kami tidak perlu latihan lagi sesuai kesepekatan beberapa hari yang lalu. Intensitas melancarkan lagu yang akan dibawakan sudah terlalu sering. Saking hapalnya, tanpa mendengar suara musik masing-masing alat yang dipegang juga kami sudah tahu iramanya detik tiap detik.

Yang repot sekarang adalah kami akan mengenakan kostum apa. Meski jarang tampil di acara-acara yang besar, minimal penampilan kami menarik perhatian. Siapa tahu saja ada yang ingin berkenalan. Siapa tahu saja. “Pakai yang serba hitam saja yah,” usul Rapsan.

“Gua ngga punya celana hitam. Masa harus pake celana sekolah yang dari bahan. Roh metalnya hilang dong,” jawab Ihsan.

“Kalau tidak baju hitam wajib. Sisanya harus gelap jika memang tidak ada celana hitam,” Asep memberikan alternatif.

“Boleh juga. Jadi kalau mau aksesoris tambahan, warnanya harus yang seragam,” aku menambahkan yang sebenarnya juga sedang pusing akan menggunakan pakaian apa. Berbeda dengan teman yang lain, aku adalah yang paling jarang ikut acara seperti ini. Tampil di depan panggung sambil memainkan musik adalah yang kedua kalinya jika ini berhasil. Teman-temanku inilah yang mengajarkan aku mengenal musik.

Kalaupun ada baju hitam, aku mau menambahkan pemanis apa lagi di badan? Pakaian saja apa adanya, ini mau ditambahkan aksesoris lain. Segitu repotkah untuk tampil itu? Ini bukanlah diriku yang sebenarnya karena aku adalah orang yang tidak neko-neko dan memperhatikan gaya. Yang penting enak dilihat saja.

Jadi diri sendiri saja kalau begitu, yaitu penampilan yang enak dilihat. Aku meyakinkan pada diri sendiri. Kebetulan baju dan celana hitam aku ada. Ya sudah paling itu saja. Tidak perlu harus memaksakan jika tidak ada. Toh, ini hajatan ini hanya untuk senang-senang, bukan dinilai juri yang pada akhirnya akan direkrut tampil nasional.

Masalah kostum sudah selesai. Sekarang di mana kami akan bertemu. Ihsan menyarankan agar di rumahnya. Kebetulan tempat kami tampil tidak jauh dari tempat dia tinggal. Sebenarnya rumah Asep juga sama, tapi Ihsan lebih mengusulkan duluan. Terlebih rumahnya lebih nyaman jika dijadikan tempat kumpul. Ide ini tidak ada yang menolak.

“Nanti jemput gua ya Jef,” pinta Rapsan.

“Ogah ah,” aku berpura-pura sambil memasang wajah serius. “Lu naik angkot saja,” Asep menambahkan seperti tahu bahwa aku sedang berpura-pura. Dia makin membuat Rapsan panik. Rapsan selalu lupa ke rumah Ihsan. Aku juga baru hapal setelah berkali-kali main ke sana. Selain itu tidak ada kendaraan umum untuk masuk ke rumahnya. Pokoknya kalau tidak menggunakan kendaraan pribadi, malas rasanya ke rumah Ihsan.

“Aaaahhh, sempak!!! Ayo dong jemput gua. Gua kan ngga tahu jalan.”

“Usaha dong. Kan lu yang pengen banget untuk ikut acara ini,” kali ini Ihsan yang menimpali. Kalau untuk meledek Rapsan, kami selalu kompak dan tahu dimulai darimana meski tidak janjian. Dia selalu jadi korban. Tapi Rapsan selalu santai dan bisa membela diri. Pembelaannya selalu aneh-aneh. Itu pula yang membuat kami senang menjahilinya.

“Kalau ngga, lu ke rumah gua. Nanti kita jalan bareng,” aku memberikan opsi yang sebenarnya tidak memberikan solusi untuk Rapsan.

“Arah rumah lu kan lebih parah,” lalu Rapsan mengeluarkan bahasa Sunda yang kami tidak mengerti. Dia ngedumel karena tahu sedang dikerjai. Kami tertawa lepas. Hiburan sebelum nanti pentas. “Iya nanti gua jemput,” aku menutup candaan. “Nuhun pisan Gusti,” Rapsan menatap langit dan mengangkat kedua tangan ke atas.

Bersambung….
Previous
Next Post »
0 Komentar