Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 49)

Bacaan sebelumnya klik di sini


Aku pulang lebih cepat. Kali ini tidak bersama adik karena dia ada tugas di sekolah. Jarang sekali aku bisa  ada di rumah secepat ini. Tapi sungguh nikmat. Tidur-tiduran di kamar sepertinya enak. Aku melihat jam dinding yang tepat lurus di pandangan. Saat ini jam satu siang. Tandanya masih ada tiga jam menuju waktu les. Perut masih belum lapar karena tadi makan siang di sekolah cukup banyak.

Masih dalam posisi rebahan di kasur ditemani hembusan kipas angin, aku memikirkan masa depan. Selalu saja aku belum punya pilihan lain bagaimana jika aku tidak berhasil kuliah di tempat yang aku inginkan. Sejak pertama kali menginjak SMA, aku hanya terpikirkan kuliah di Sekolah TInggi Akuntan Negara. Tidak mungkin aku kembali gagal.

Pasca melihat Charnia seperti itu, aku mulai terbiasa untuk fokus belajar. Tapi rasanya telat. Beberapa bulan lagi akan menghadapi ujian nasional. Tapi aku yakin tidak ada kata terlambat. Aku tetap mencoba menyemangati diri bahwa aku bisa mendapatkan nilai yang terbaik saat ujian nanti dan melanjutkan sekolah ternama di Tangerang.

Sekolah ini lumayan favorit dan terkenal seantero Tangerang. Bahkan ada siswa yang dari Jakarta juga tak segan memilih sekolah di sini. Sekolahnya juga tepat berada di sebelah lapangan sepakbola kebanggaan klub warga Tangerang. Kalau pulang sekolah dan ada pertandingan, aku membayangkan bisa menyempatkan diri menonton saat klub ini menerima tamu. Sepakbola di sekolah ini juga cukup terkenal. Pokoknya SMA ini adalah sekolah idaman.

Aku harus bisa sekolah di sana. Aku mengenang ucapanku dulu ketika masih SMP. Kualitas belajar kembali aku tingkatkan. Waktu bermain dengan teman dikurangi. Tapi hari minggu tetap aku gunakan untuk bersenang-senang. Aku manfaatkan agar otak tidak stres. Tidak mungkin aku menguras pikiran terlalu berlebihan.

Masalah percintaan juga sudah mulai lupa. Cinta monyet pada Charnia yang berlangsung selama satu tahun lebih perlahan sudah meredup. Kini aku biasa saja baik melihat, bertemu,  maupun bicara langsung dengannya. Hanya saja aku merasa kasihan melihat dia beberapa waktu silam. Kalaupun memang itu jalannya, aku tetap berdoa agar wanita yang sempat aku suka itu menemukan jalan yang benar kembali.

Jika saja aku salah karena hanya melihat peristiwa itu sekilas, aku tetap berterima kasih pada Tuhan karena telah mengingatkan kembali pada jalur yang tepat. Aku berpikir cara ini adalah yang terbaik untuk bisa fokus pada pelajaran. Karena aku ingin masuk di SMA negeri yang terbaik.

Hingga tinggal satu bulan lagi menuju ujian nasional. Materi yang diberikan kurikulim pun sudah habis. Yang tersisa hanya pengulangan dan pendalaman materi dari kelas satu sampat kelas tiga semester satu. Belajar tinggal berpusat pada tiga mata pelajaran yang diujikan oleh pemerintah. Sisa pelajaran lain akan dinilai pada ujian akhir sekolah.

Di saat upacara yang dilaksanakan hari Senin kepala sekolah bilang, “Baik ujian nasional maupun ujian akhir sekolah sama pentingnya. Jadi kalian harus fokus pada keduanya. Lulus ujian nasional tapi gagal di ujian akhir sekolah tidak akan memberikan kalian pada kelulusan walaupun nilanya 10 semua.”

Ucapan itu membuat siswa kelas tiga yang tadinya gaduh menjadi tenang. Kami makin tertunduk saat kepala sekolah meninggikan nadanya, “Sikap kalian juga menjadi penilaian para guru. Murid yang nakal, kemungkinan tidak lulusnya semakin besar.”

Aku yakin akan bisa lulus dari SMP lalu melanjutkan SMA impian itu. Kalau bertarung pengetahuan aku tidak akan kalah dengan mereka yang berasal dari SMP negeri. Aku bisa sekolah di sini pun bukan karena bodoh, tapi memang tidak berminat sekolah negeri pada saat itu. Penyebabnya lagi-lagi karena wanita. Kalau dipikir lebih jauh ke belakang, wanita telah membutakan aku. Betapa bodohnya aku ini.

Bersambung…

Previous
Next Post »
0 Komentar