Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 51)

Bacaan sebelumnya klik di sini


“Terima kasih ya Kak,” itu kata pertamanya yang tanpa aku mulai bicara padanya. Putri mengatakan itu sambil tersenyum. Senyum yang sampai sekarang masih aku ingat. Wajahnya bersinar dengan gigi seri yang tanggal satu. Dan itu sangat lucu. Keinginan untuk terus naik jemputan semakin besar jika melihat perkembangan seperti ini.

Setiap pulang sekolah aku menghampari Putri. Sampai muncul perbincangan teman sekelas membahas setelah lulus sekolah nanti. Memang masih satu tahun lagi dan aku juga belum memikirkan itu. Tapi melihat teman yang sudah ramai membicarakan ini, mau tidak mau aku terbawa suasana. Yang aku pikirkan hanya bagaimana meski aku beranjak ke sekolah baru tapi tetap bisa bertemu Putri.

Sepengetahuanku, hanya ada empat Sekolah Menengah Pertama di sini. Satu sekolah negeri, tiga lainnya swasta. Umumnya siswa kelas satu SMP masuk siang. Setelah itu masuk pagi sampai lulus. Hanya ada satu sekolah yang selang-seling, yakni di sekolah yang aku pilih ini.

Aku lalu menganalisa bagaimana Putri sekolah nanti. Sekarang dia masuk pagi karena masih kelas dua. Hanya di kelas lima dia akan masuk siang. Kalau mau mengikuti jadwalnya, hanya sekolah yang masuknya seling itulah aku bisa satu jam pulang. Sudah aku putuskan untuk memilih sekolah itu.

Aku semakin yakin karena banyak teman terdekat memilih sekolah itu. Aku juga tahu itu karena diajak mereka. Keinginan masuk sekolah negeri pun hilang dan sangat tidak pernah terbayang olehku. Ya, itu karena wanita. Aku sangat dibutakan oleh cinta monyet ingusan. Bodoh sekali memang karena aku sampai berpikiran yang sangat jauh.

Kelas enam menjadi tahun terakhir aku menduduki Sekolah Dasar. Akan ada perpisahan di sini setelah enam tahun bersama teman-teman. Banyak suka duka yang kami lalui bersama. Aku masih belum sangat siap dengan perpisahan ini. Seandainya doraemon itu benar ada, aku akan meminta dia memutar waktu kembali tepat di mana aku berusia lima tahun.

Aku tahu itu hayalan yang tidak akan pernah mungkin. Bagaimanapun ini harus dilewati. Aku musti bisa menerima ini. Bukankah hidup ini selalu ada dengan berpasangan? Susah atau bahagia itu akan datang gantian. Begitu pula perjumpaan, pasti diakhiri dengan perpisahan. Hidup ini adil, Jef. Kamu harus menerima itu. Perpisahan ini bukan akhir dari segalanya.

Percakapan dengan diri sendiri ini membuat aku sadar. Aku paham ini adalah pijakan pertama untuk melangkah ke tangga berikutnya. Perjalananku masih jauh. Aku masih punya cita-cita dan keinginan yang harus dicapai. Lagipula aku masih bisa komunikasi dengan mereka apa itu bertemu di jalan atau komunikasi via telepon. Toh kami tetap tinggal di kota yang sama.

Hingga akhirnya ujian nasional tiba. Perpisahan dengan teman yang sudah menemani hidup selama enam tahun ini akan tiba. Aku makin gelisah dengan kedatangan itu. Akan tetapi kecemasa itu membuat aku kuat untuk menghadapinya. Bagaimanapun juga aku sudah siap meski tidak tahu seperti apa teman di sekolah baru nanti. Semoga saja aku dikelilingi oleh orang yang baik.

Ujian masuk SMP negeri juga akan dilaksanakan setelah pengumuman kelulusan tiba. Ujian dilakukan pasca kelulusan agar siswa yang tidak lulus tak perlu pusing-pusing memikirkan tes masuk. Meski aku tahu kemungkinan yang tidak lulus adalah sangat kecil, bahkan 0% karena sekolah tidak mau kehilangan muka gara-gara ada anak didiknya yang tidak lulus.

Aku sudah memantabkan diri tidak akan ikut ujian itu. Keinginan untuk sekolah yang satu waktu dengan Putri sangat besar. Di hari yang aku sudah tidak melakukan apa-apa karena sudah lulus sekolah, Ayah bertanya, “Ujian masuk SMP negeri kapan?” entah kenapa ayah bertanya seperti itu. Padahal aku sudah bilang pada orang tua bahwa aku ingin masuk di sekolah swasta.

“Ujiannya minggu depan.” Aku melihat seperti ada wajah kecewa dari Ayah. Mungkin dia ingin anaknya sekali saja mencoba ikut ujian. Mau diterima atau tidak urusan belakangan karena Ayah ingin mengetahui sejauh mana kualitas aku dibandingkan warga Ciledug yang seumuran denganku.

Tapi nasi sudah menjadi bubur. Memang sudah tidak ada niat dan ingin tahu. Dan akhirnya aku masuk di sekolah yang sudah aku dambakan. Kedua orang tua menerima karena sekolah ini memiliki peraturan yang cukup ketat. Bahkan dibandingkan dengan sekolah negeri yang ada di Ciledug, tempat belajar ini mampu menyainginya.

Masa orientasi siswa dimulai. Tidak ada perpeloncoan di sini. Sekolah menganggap hal itu tidak ada gunanya dan hanya menciptakan dendam. Terlepas dari itu semua, rencana yang aku ciptakan jauh-jauh hari dengan matang tidak berjalan dengan sempurna. Tidak mudah ternyata bertemu Putri setiap pulang sekolah. Pada akhirnya hubunganku dengan dia lepas begitu saja tanpa kata perpisahan.
Previous
Next Post »
0 Komentar