kisah-kasih di Sekolah (Bagian 53)

Bacaan sebelumnya klik di sini


Berantakan! Cuma itu yang ada dalam pikiranku. Sekarang aku hanya berharap pada nilai yang sangat pas-pasan ini. Semoga saja para siswa sekolah lain juga demikian. Karena setelah survei dengan teman-teman satu angkatan, hampir semua memiliki nilai yang sama. Yang bikin sakit hati adalah anak yang nakal dan tidak begitu pintar mendapat nilai yang lebih tinggi dariku.

Itu tidak mungkin. Pasti ada yang salah. Semua orang tahu apa itu. Nilai Ujian Nasional tidak sepenuhnya murni kerja keras pribadi. Ada beberapa kemungkinan yang terjadi. Mereka yang lulus adalah siswa yang bekerja sama menjawab jawaban atau ada bocoran kunci jawaban. Tapi aku tidak boleh berburuk sangka. Mau seperti apapun cara  kami lulus, kami tetap lulus.

Itulah sebabnya aku sangat kecewa dengan peraturan nilai UN yang dijadikan seleksi masuk siswa ke SMA. Lalu aku bisa apa kalau peraturan sudah dibuat? Aku tidak punya daya dan kuasa dengan sistem baru. Hanya pasrah yang bisa aku lakukan.

Di pendaftaran sekolah aku langsung menuju SMA yang sangat ingin aku daftar. Meski sudah berangkat sangat pagi, ternyata sudah ada yang lebih pagi. Antrean sudah mengular panjang. Panjang sekali sampai halaman sekolah yang luasnya dua kali lapangan bulutangkis padat. Bahkan hampir membuat barisan hingga keluar sekolah.

Ini membuat aku semakin tidak percaya diri. Aku tidak ikut mengantre barisan dan duduk di bangku dekat tempat guru piket menunggu ayah yang mencari info pendaftaran. Kabarnya penerimaan siswa baru berlangsung selama tiga hari. Sedangkan ini masih hari perdana.

Aku hanya termenung menunduk melihat tanah tidak yakin bisa masuk sekolah yang aku tunggu-tunggu sejak awal tahun SMP. Tanpa aku sadari ayah sudah duduk di sebelahku. Dia memulai pembicaraan dengan sangat hati-hati. Ada yang aneh rasanya. Tidak biasanya Ayah berkata dengan nada dan ucapan seperti ini.

“Abang yakin masih mau sekolah di sini?” aku bingung mau jawab apa. Hati sebenarnya sudah ingin pulang saja. Tapi aku tidak mau kehilangan muka. Di situasi seperti ini masih saja aku berpikir soal gengsi. Mau pilih mana, tetap mencoba daftar yang pasti akan gagal atau mencoba sekolah lain yang masih ada kemungkinan diterima? Karena peraturannya setiap siswa hanya boleh mendaftar dua sekolah.

Kepalaku mengangguk pelan dengan berat. Aku tidak tahu kenapa aku memberikan isarat tetap ingin mendaftar. Tidak ada percakapan setelah itu. Sepertinya Ayah ingin membiarkan aku tenang. Dan memang aku menyesal telah memaksakan diri. Aku berpikir keras bagaimana untuk bilang pada Ayah agar mencoba sekolah lain.

Beberapa saat kemudian Ayah berkata, “Memang kenapa Abang ingin sekali sekolah di sini? Kalau karena fasilitasnya bagus, nanti kita cari sekolah swasta yang punya sarana paling bagus di Tangerang. Jika ingin bisa belajar sepakbola, nanti Ayah daftarkan ke sekolah sepakbola.”

Aku masih terdiam. Memang dari awal aku menginginkan semua yang Ayah bilang. Aku hanya tidak bisa terima dengan sistem penerimaan siswa baru dengan nilai ujian nasional. Ayah menambahkan, “Abang harus terima ini. Tadi Ayah sudah keliling melihat nilai anak-anak yang mendaftar di sini. Nilai mereka tinggi semua. Abang hanya jadi pemanis saja kalau tetap memaksa mendaftar.”

Masih tidak keluar sepatah kata dariku. Berat sekali rasanya mengangkat mulut dan mengeluarkan suara bahwa aku ingin pulang. Aku terima kekalahan ini dan sadar bagaimanapun aku tidak akan bisa diterima di sini dengan nilai yang sangat pas-pasan. Tapi tetap aku hanya bisa diam tidak berani menatap Ayah.

“Kita pulang saja ya? Kita cari sekolah negeri lain kalau Abang memang ingin sekolah yang berada pada pengawasan dan tanggungan pemerintah.” Aku masih tetap tidak bisa berkata. Tapi kali ini aku berdiri dan berjalan pelan menuju parkir. Ayah mengejar sambil merangkul dan mengusap-usap kepalaku. Tindakan itu cukup membuat aku tenang.

Aku ingin menangis karena tidak bisa membahagiakan kedua orang tua dengan masuk di sekolah favorit. Sepanjang perjalanan aku hanya menatap jalan raya yang selalu ramai. Aku bingung kenapa selalu saja ada kendaraan yang lewat. Aku tahu ini pertanyaan bodoh. Tapi tetap aku biarkan kebodohan ini merasuki pikiran dan menguasai diriku.

Jalan menuju rumah terasa sangat lama. Aku berada pada kondisi sangat lemah. Akan sekolah di mana aku? Orang yang paling bodoh di sekolah saja nilainya sedikit lebih tinggi dibandingkan nilai aku. Bahkan sekolah yang anak muridnya selalu tawuran dan hanya punya pikiran senang-senang punya nilai rata-rata sangat tinggi.

Di rumah aku langsung menuju kamar. Tidak ada yang masuk mengganggu karena Ayah tahu aku hanya butuh ketenangan. Aku tertidur dalam kekesalan. Di dalam mimpi muncul adegan Ayah yang menyemangatiku bahwa aku bisa sukses meski sekolah di mana saja. Aku harus membuktikan bahwa aku bisa melakukan itu.

Aku terbangun dari mimpi itu. Tidur siang pulas nan berkualitas. Aku merasa tenang dan lega. Penyesalan dan kekesalan hilang karena Ayah kembali muncul memberi cahaya dalam mimpi. Baiklah aku harus melupakan sistem yang tidak masuk akal ini. Mari berpikir cerdas. Dan aku kembali menyusun strategi akan melangkah ke mana.

Bersambung....
Previous
Next Post »
0 Komentar