Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 54)

Bacaan sebelumnya klik di sini


Sekarang aku menyusun rencana baru dan merelakan sekolah negeri yang sudah aku impikan sejak lama. Berpikir realistis adalah solusi terbaik. Mencari sekolah negeri di daerah CIledug tidak begitu sulit karena hanya sedikit. Akan tetapi sekolah yang minim ini membuat pendaftar membludak. Semua orang menginginkan sekolah itu meski dengan bangunan, fasilitas, dan kualitas yang tidak begitu mewah.

Sudah menjadi pengetahuan umum kalau sekolah di negeri itu lebih murah. Ada tanggungan dan pengawasan dari pemerintah sehingga para siswa siswa yang tidak mampus bisa mengenyam pendidikan. Tapi dengan sarat punya otak yang cemerlang juga.

Tiga tahun yang lalu hanya ada satu SMA negeri di Ciledug sehingga membuat sekolah ini menjadi incaran di kotaku. Tapi kini pemerintah membuat dua sekolah baru. Tentu adanya dua sekolah baru ini bisa jadi alternatif lain. Meski begitu namanya juga sekolah baru masih banyak yang perlu disiapkan. Salah satu yang paling vital adalah bagunan. Dan keduanya sekolah ini masih belum punya gedung.

Parah! Lalu kami sekolah di mana kalau tidak ada bangunannya? Kepala sekolah pun tidak mau kehilangan akal. Sebagai opsi lain, para murid yang sudah mendaftar, belajar di gedung yang sudah di sewa apakah itu di sekolah lain atau tempat yang mendukung.

Aku sudah memutuskan untuk masuk di sekolah negeri bagaimanapun caranya, sekolahnya, dan masalah lainnya. Aku ihlaskan sekolah cita-cita. Sekarang aku harus membuat impian baru dan tidak berlarut-larut dalam kekesalan.

Tuhan memang sudah merencanakan semuanya. Meski sekolah ini masih baru dan dipandang sebelah mata karena tidak terkenal, aku bisa bertemu dengan Rapsan dan teman lainnya. Aku mengenal bagaimana asiknya bermain musik, kenal dengan teman yang baik, dan tentunya selalu ceria kapanpun dimanapun. Belum tentu berkah ini aku dapatkan di sekolah lain.

Seperti saat SMP dulu, aku juga sudah punya rencana ke mana akan berlabuh. Dalam bayangan, aku masih tetap ingin menempuh pendidikan yang ada kaitannya dengan pemerintah. Kali ini aku memutuskan akan melanjutkan kuliah di instansi yang bekerja sama dengan dinas. Aku pilih Sekolah TInggi Akuntansi Negara. Orang biasa menyebutnya STAN karena memang itu kalau disingkat.

Inilah faktor utama yang membuat aku memilih jurusan sosial saat penjurusan. Sekolah sebenarnya juga membuat tes psikologi untuk menentukan di mana para siswa cocok untuk belajar. Akan tetapi tes ini bukan sesuatu yang harus diikuti. Ini hanya pemberitahuan bahwa kami lebih cocok belajar di jurusan tersebut. Selanjutnya ada pada pilihan kami.

Tes ini berlangsung sangat cepat. Hanya dalam waktu kurang dari dua jam kami sudah bisa menyelesaikan soal tes. Yang membuat lama hanya pada hasilnya. Aku tidak sabar lebih cocok di jurusan apa meski sudah memastikan akan pilih IPS saat kelas dua nanti. Ya, hanya sekadar ingin tahu saja. Apapun hasilnya tetap tidak akan mengubah keyakinanku.

Sebelum hasil dibagikan pada murid, Guru Bimbingan dan Konseling yang pernah menghukum teman-teman sekelas ketika tidak mengerjakan PR itu mengumpulkan kami. Pak Guru membagi kami dalam beberapa kelompok dengan masing-masing 10 orang. Proses pemanggilan berada pada jam kosong. Kalau tidak ada jam kosong, dia merelakan jam belajarnya dijadikan waku konseling.

Kebetulan pada saat itu ada mata pelajarannya. Meski memanfaatkan jam tersebut, kami tetap diberikan materi yang harus ditulis. Sembari mencatat pembahasan, kami dipanggil perkelompok. Kami saat itu tidak tahu ada maksud apa Pak Guru memanggil kami ke ruangan. “Nanti orang-orang yang Bapak panggil, ke ruangan BK ya,” Hanya itu yang dia katakan, tak lebih.

Berbagai asumsi muncul pada saat itu. Apa pemanggilan ini karena ada masalah dengan kelas kami? Atau ada salah satu siswa yang berbuat kenakalan berat sehingga kami semua diintrogasi? Aku melihat beberapa anak tampak gelisah mengenai ini. Semua berpikir apa yang telah dilakukannya beberapa hari ini. Aku juga ikut berpikir. Tapi aku yakin tidak melakukan kesalahan apapun.

Saat kelompok pertama selesai dengan pemanggilan, kami semua mengerumuni mereka. “Soal apa?” salah satu dari kami bertanya penasaran. Akan tetapi semua kompak tidak menjawab. “Sudah santai saja,” Kata ketua kelas yang ikut dipanggil juga dengan wajah tersenyum. Meski tetap dibilang santai, kami tetap penasaran.

Giliran kelompokku dipanggil. Orang-orangnya adalah yang sering kumpul bersama. Kami semua terdiam duduk di kursi yang sudah disediakan Guru BK. Kursi tersebut dibuat setengah melingkar dengan pak guru di tengahnya. “Bapak di sini cuma mau bertanya kalau sudah lulus nanti kalian mau jadi apa. Karena ini menyangkut pada jurusan kalian,” katanya memecah ketegangan beberapa di antara kami.

Michael orang pertama yang ditunjuk. “Saya ingin jadi pengacara, Pak,” katanya mantab. Dia memang orang Batak asli. Ini membuat aku yakin suku itu cocok dengan pekerjaan ini. Michael mantab menjawab IPS sebagai jurusan yang akan dipilihnya. Sedangkan Rapsan dan Danu bisa dikatakan masih bingung mau menjadi apa setelah lulus nanti.

Jelas saja, karena kami masih terbawa euforia masa muda. Memikirkan jangka panjang masih lama. Mungkin akan dipikirkan dua hingga tiga tahun lagi. Yang jelas, mereka tidak mau belajar pusing. IPS adalah pilihan jurusan yang tepat. Aku mengikuti jejak teman satu band ini. Hanya saja aku sudah memiliki rencana ke depan.

Hari pembagian hasil tes tiba. Masing-masing siswa dibagikan amplop yang isinya keterangan kami cocok ditempatkan pada jurusan mana. Apapun hasilnya aku tidak peduli. “Akan lebih baik kalau kalian mengikuti hasil ini karena ini berdasarkan kecerdasan setiap individu,” Guru BK langsung memberikan surat itu pada kami. Di tempat itu juga para siswa membuka amplop secara bersamaan.

Aku melihat tulisan secara umum. Ada kalimat yang tertera dengan tanda hitam tebal di sana. “Anda disarankan masuk jurusan IPA.” Begitu yang tertulis dalam surat itu.

Bersambung….
Previous
Next Post »
0 Komentar