Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 55)

Bacaan sebelumnya klik di sini


Entah kenapa tiba-tiba keyakinanku untuk tetap di IPS goyah. Bagaimana mungkin aku menjadi ragu dengan niat awal hanya karena saran dari tes psikologi ini. Aku kembali mencari informasi lagi mengetahui untung dan rugi masuk IPA dan IPS. Pendidikan atau pekerjaan apa yang bisa didapatkan jika aku benar-benar memilih IPA.

“Kalau masuk IPA, lu bisa juga ambil jurusan IPS ketika nanti kuliah. Tapi kalau IPS ngga bisa ke IPA,” begitu kata Aldy. Tapi jawaban itu saja kurang cukup. Karena aku ingin menjadi seorang akuntan. Aku ingin sesuatu yang lebih, bukan hanya di IPA bisa ke mana saja atau berdasarkan tulisan yang hanya berisi satu kalimat dalam secarik kertas.

Lalu apa? Terus kenapa aku bisa ragu seperti ini? Hingga bel pulang berbunyi aku hanya terdiam di tempat duduk. Rapsan, Danu, dan teman lainnya sudah keluar kelas. Mereka tidak sabar ingin merokok di warung dekat sekolah. “Gua ngudut dulu ya,” Rapsan teriak dari depan pintu. Hanya kepalanya saja yang terlihat. Dia pasti akan menungguku karena akulah yang mengantarkannya pulang.

“Nanti gua menyusul. Ada sesuatu yang mau dikerjain,” aku menyahut agar dia tidak tahu apa yang akan aku lakukan. Kelas sudah kosong. Bunyi jarum jam yang bergerak pun terdengar karena terlalu sepi. Aku masih tidak beranjak dari tempat duduk. Buku pelajaran masih berserakan di meja dan aku masih memutar-mutar kertas pengumuman yang tergeletak di meja dengan jari telunjuk.

Aku bergerak dari tempat duduk setelah beberapa menit dalam keraguan. Aku putuskan untuk datang ke ruang guru BK dan mengonsultasikan masalah ini kembali. Jujur saat ini masih belum yakin. Setidaknya ada satu orang yang memberikan pencerahan. Dan aku berharap konsultasi ini bisa memberikan jawabannya.

Suara dari seberang menyilakan aku masuk saat aku mengetuk pintu. Aku membuka pintu dan sedikit terkejut saat melihat sudah ada satu pasien yang mengalami kebimbangan seperti aku. Aku duduk di sofa yang memang khusus untuk para tamu. Sambil melihat setangkai bunga hias plastik yang diletakkan di meja, aku menguping pembicaraan.

Sebenarnya tanpa menguping pun sudah terdengar. Suara guru BK menggema ke seluruh ruangan. Jelas menggema karena tidak ada suara lain di sini selain percakapan orang berbicara. Aku ingin tahu apa yang pelajar itu sedang bingung. Akan tetapi pembicaraan sudah usai. “Sekarang pilihannya ada pada kamu karena kamu yang menjalaninya,” itu adalah kalimat terakhir sebelum ditutup.

Murid itu langsung keluar kelas. Aku masih belum tahu siapa dia. Masih banyak murid yang belum aku kenal. Maklum ini masih satu semester lebih satu bulan sejak aku menginjak SMA. Aku menduga dia adalah anak yang jarang keluar kelas karena jika tidak, aku pasti pernah melihatnya meski sekali dan sekilas.

“Silakan,” kata Pak Guru. Aku duduk dan mencari posisi yang enak. Pak Guru tersenyum lalu menanyakan apa yang terjadi. Kali ini suaranya lebih lembut dibanding biasanya. Suaranya yang ini membuatku nyaman. Sangat berbeda dibandingkan saat di kelas. Aku langsung mengutarakan apa yang terjadi.

“Memang ini selalu terjadi untuk anak-anak yang sudah memiliki keinginan di masa depan. Akan tetapi kamu harus tahu bahwa dalam hidup ini kamu harus memilih. Dan pilihan itu ada baik dan buruknya. Sekarang tinggal kamu pilih mana yang lebih sedikit minusnya.”

Aku hanya diam. Aku tidak butuh nasehat sebenarnya. Hanya keyakinan yang aku cari. Jawaban dari Guru BK masih belum memberikan cahaya dalam kebingunganku. Aku paham kalau aku harus memilih salah satunya. Tapi yang mana?

“Tadi kamu bilang mau kuliah di STAN. Sebenarnya itu jawabannya. Kamu tidak perlu ragu lagi dengan omongan orang lain, apalagi isi yang ada dalam hasil psikotes. Itu kan hanya saran saja. Saran itu bisa diterima atau ditolak, tergantung apakah itu saran yang baik atau buruk.”

Benar apa yang dikatakan Pak Guru. Aku sudah punya keyakinan untuk masuk STAN. Memang kalau aku mengambil IPA masih bisa daftar di sekolah yang mempelajari soal ekonomi terapan ini. Akan tetapi dengan mengambil IPS aku bisa mengetahui lebih dalam soal itu. Jadi tidak perlu pusing lagi kalau memang aku diterima di sana.

Akhirnya aku mengambil jurusan IPS. Begitu juga dengan teman yang lain. Hanya Aldy saja pria di kelas yang mengambil jurusan IPA. Di kelas dua aku satu kelas lagi dengan Rapsan. Sedangkan Riski ada di kelas sebelah dengan teman yang lain. Hanya Danu saja yang tidak satu kelas dengan kami meski memilih jurusan IPS.

Kelas tiga tidak ada perubahan. Hanya Asep yang pindah kelas. Saat itu nama dia tidak ada di kelas kami. Saat mengurus ke tata usaha, Asep dipersilakan memilih kelas sendiri. Dia pilih satu kelas dengan Riski. Meski begitu kami tidak pernah berhenti bermain musik dan tertawa bersama. Sama halnya yang aku lakukan dengan Riski dengan yang lainnya.

Seperti itulah ceritaku kenapa bisa memilih IPS. Kali ini aku sudah kelas tiga. Sebentar lagi apa yang sudah aku rencanakan akan tiba, yaitu pendaftaran masuk STAN. Itulah sebabnya aku menambah waktu belajar dengan les.

Sedang asik melamun di ruang les yang sudah sepi karena jam telah habis, aku mendengar suara Lia. “Jef, lu ngga pulang?” Aku tersentak lalu mencari sumber suara. Lia ada di depan pintu kelas. “Iya ini mau pulang.” Aku mengambil tas lalu bersiap menjemput Rapsan. Beberapa jam lagi kami akan tampil.

Bersambung….

Previous
Next Post »
0 Komentar