Menghadapi
dunia kerja membuatku memikirkan matang-matang apakah harus membawa
almamater di mana asal-usul kuliah. Bisa saja aku membanggakan tempat
menimbah ilmu pada kawan kantor. Terlebih bekerja sebagai seorang
wartawan majalah di media konvergensi yang membutuhkan seorang
pengamat aku bisa langsung menyambangi dosenku.
Dosen
rekomendasiku dijamin tidak kalah jauh hebat analisisnya dengan dosen
di Jakarta yang selalu dibanggakan tempat dia mengajar oleh orang
lain. Meski tidak semua dosenku kompeten, tapi ada beberapa yang
masih bisa dibanggakan.
Alasanku
melakukan seperti itu agar aki tidak terlihat primordialisme pada
kampusku. Aku tidak peduli sebenarnya dengan cap orang karena mereka
tidak pernah tahu apa yang aku pikirkan. Alasan utama tetap melakukan
ini agar aku terlihat profesional dalam bekerja.
Sudah
empat bulan aku bekerja di sana. Setiap edisi selalu membutuhkan
pengamat untuk menganalisis sebuah kasus. Selalu saja terpikir untuk
memanggil dosenku via telepon. Akan tetapi ego itu terkalahkan dengan
janji. Aku adalah orang yang selalu mencoba untuk menepati janji.
Lelaki sejati itu tidak pernah mengingkari janjinya. Itulah
prinsipku.
Akhirnya
prinsipku terkalahkan saat
editor memintaku menghubungi dosen UIN Jakarta mengenai pendapat
mereka tentang pernikahan beda agama. Isu ini jadi ramai setelah tiga
alumni Fakultas Hukum UI dan satu mahasiswa yang aktif mengajukan uji
materi tentang pernikahan beda agama. Ini
bukan keinginanku, tapi seorang atasan yang membutuhkan pendapat
seorang profesional.
Dalam
laporannya mereka mengatakan bahwa UU nomor
1 tahun 1974 tentang pernikahan
pasal 2
ayat 1
itu bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin setiap warga negara
untuk beragama dan
berkeyakinan. Mereka
menyayangkan saat orang yang jatuh cinta terhalangi oleh peraturan
seperti ini. Padahal perasaan itu merupakan anugerah Tuhan yang
diberikan pada umatnya.
Dari
situ banyak kalangan yang mengutarakan pendapatnya. Menteri Agama
mengatakan pernikahan beda agama tidak cocok di Indonesia karena
negeri ini bukan negara sekuler. Agama tidak
bisa dilepaskan di sini. Bahkan setiap orang harus memiliki agama
saat dia lahir.
Kalangan
yang setuju (orang yang kuwawancara) berpendapat bahwa orang yang
sudah jatuh cinta harus segera dinikahkan agar tidak menjadi sebuah
perzinahan. Perzinahan sendiri menurutnya sebuah hubungan intim yang
tidak didahului oleh pernikahan. Setiap agama melarang sebuah
perzinahan.
Oleh
sebab itu lebih baik mereka dinikahkan dibandingkan harus kumpul
kebo. Melihat kondisi masyarakat Indonesia yang seperti sekarang,
hubungan seks itu bisa saja dilakukan dimana-mana. Orang sekarang
sudah tidak peduli lagi dengan keadaan sekitar. Yang punya banyak
uang dapat menyewa sebuah hotel lalu berhubungan badan melepaskan
hasratnya.
Saat
editor memintaku untuk mencari dosen UIN Jakarta yang bisa bicara
masalah ini, aku bingung. Aku tahu betul seperti apa dosen-dosen UIN.
Pendapat mereka bisa dikatakan hampir sama dengan pendapat yang di
atas. Ada dosen yang setuju
dengan pernikahan beda agama, ada pula yang tidak.
Setiap orang memiliki pemahamannya masing-masing tentang menafsirkan
sebuah ayat Al-Quran.
Setelah
berpikir panjang, kupilih Guru Besar UIN yang mengajar saat aku
kuliah dulu. Aku yakin dia orang yang netral membicarakan masalah
ini. Dia orang yang akademis, membawa segala hal berdasarkan
pengetahuan. Al-Quran itu
turun ada asbabul nuzul (sebab turunya). Ayat mengenai pernikahan pun
ada faktor sosiologisnya.
Dosenku
ini orang sibuk. Bagaimana tidak, saat mengajar Komunikasi Antaragama
dan Budaya saja kehadirannya bisa dihitung jari. Saat
mengajar, dosen yang menikah dengan orang perancis ini selalu
ditemani asistennya. Asisten ini menggantikannya
yang juga penguji skripsiku
saat berhalangan hadir. Dosenku sangat sibuk di musim panas karena
harus mengajar di Amerika dan
beberapa negara di Eropa.
Dia
selalu membedakan fasilitas dan sistem pengajaran Amerika dengan
Indonesia. Hal yang paling dia tonjolkan adalah haramnya melakukan
plagiat. Plagiasi sama seperti kejahatan pencurian. Budaya itu yang
selalu ditularkan di sini.
Saat
meminta pendapat dosen yang hapal lebih dari empat bahasa ini, dia
menjawab dengan santai. Dia bilang juga habis membahas masalah
menikah beda agama dengan akademisi lain. Dia
membagi
jawaban dari masalah ini
menjadi dua
aspek, yaitu
teologis dan sosiologis.
Dalam
agama memang diperbolehkan menikah dengan nonmuslim dengan catatan
pria itu islam dan wanita ahli kitab. Ahlul kitab di sini disebutkan
agama nasrani, yahudi, dan majusi. Tapi ada kalangan juga yang
menganggap budha dan agama lain merupakan ahlul kitab. Akan tetapi
jelas Al-Quran tidak membahas mengenai jika perempuannya muslim dan
prianya nonmuslim. Hal itu
tidak disarankan karena seorang laki-laki itu adalah pemimpin. Yang
ditakutkan yakni si
istri ini akan pindah agama sehingga menjadi murtad
Dilihat
dari faktor sosiologisnya lebih
disarankan sesama agama karena nanti anaknya
akan dibawa ke mana. Selain itu apa yang akan diajarkan oleh anaknya
jika berbeda agama nanti kedua orang tuanya.
Di
Indonesia sendiri pernikahan beda agama sudah terjadi sejak Islam
belum ada. Saudagar dulu sengaja menikahi wanita yang saat itu banyak
beragama hindu atau budha. Mereka dinikahi agar memeluk agama Islam.
Dan melihat masyarakat yang beragam seperti sekarang, agama sudah
tidak lagi dipegang teguh karena sudah rapuh.
Saran
dia terhadap pemerintah adalah menyelesaikan masalah ini dengan
segera. Agama memang urusan pribadi, tapi itu perlu diatur oleh
pemerintah agar tidak menimbulkan perpecahan antarbangsa. Semoga
editorku puas dengan pernyataan guru besar UIN ini yang menurutku
jawabannya berada di tengah.
0 Komentar