Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 12)

Bacaan sebelumnya klik di sini


Tidak terasa satu jam duduk mendengarkan Ka Arif ceramah. Kegiatan hari ini hanya mendengar ceramah dan perkenalan dengan kakak-kakak pengajar. Setelah itu aku dikumpulkan bersama teman lain yang seumuran denganku. Masih saja mereka asing bagiku. Ada yang gerombolan.

"Jefri!" Seperti ada yang memanggilku. Tapi siapa? Itu suara perempuan. Rasanya pernah mendengar suara ini. Bahuku ditepuknya.

"Mega. Kirain siapa. Lu les di sini juga?"

"Iya. Soalnya dekat sama rumah gua."

Ternyata rumah Mega tidak jauh dari rumah Tia. Aku baru tahu karena memang jarang sekali berbincang dengannya. Tidak pernah sekelas juga sama Mega. Entah kenapa penampilan Mega saat mengenakan pakaian bebas, sangat berbeda. Sudah dua orang teman sekolah yang kutemui dengan memakai pakaian bebas. Keduanya benar-benar membuatku terpana.

Aku hanya sekadar menikmati penampilan yang berbeda saja. Sama seperti memiliki mainan baru, pasti senang memainkannya. Begitu pula dengan kondisi sekarang. Aku menikmati suasana yang berbeda antara Mega dan Tia. Tidak ada yang menyalahkan siapapun jika kita menikmati karunia Tuhan. Selama disukuri, aku percaya nikmat yang diberikannya akan bertambah.

 "Lu ikut program apa?" tanyaku yang tak mau berlama-lama terdiam menikmati Mega.

"Program reguler. Lu apa?

"Berarti kita ngga sekelas. Gua Exelent."

"Wah ngga enak banget. Exelent kan siswanya sedikit. Gua ngga betah kalau orangnya sedikit. Bikin ngantuk. Hehee"

Wah jawab apa nih? Jangan menceramahi karena terlihat bahwa Mega tidak niat. "Iya sih setiap orang punya pola belajar yang beda-beda. Mungkin lu bisa masuk ke otak kalau sambil bercanda. Kalau gua sih ngga bisa karena harus fokus. Enak ya jadi lu karena bisa belajar di kondisi mana saja." Kalau didengar ualng, bijak juga kata-kataku ini.

"Ah berlebihan. Gua ikut les malah karena kurang belajar. Sebentar lagi kan hari yang menentukan buat kita, jadi harus lebih giat belajar lagi.”

Wah jawaban Mega malah lebih bijak dariku. Mega termaksud salah satu murid terpintar di sekolah. Dia menjadi beberapa murid kesayangan guru. Dia selalu menjadi perwakilan cerdas cermat antar sekolah baik itu antardaerah atau provinsi. Selain itu dia juga aktif di ekstra kulikuler sekolah. Wanita yang sangat aktif.

Berbeda denganku yang lebih senang bermain dan kumpul dengan teman-teman. Di tahun pertama SMA pernah ditawari senior untuk bergabung OSIS dan mengikuti acara latihan dasar kepemimpinan sebagai langkah awal bergabung di OSIS. Akan tetapi salah satu temanku menyarankan agar jangan ikut karena akan mengganggu belajar dan waktu bermain jadi berkurang. Entah kenapa aku pun ikut terpengaruh oleh bujuk rayu dia.

“Ayo kita masuk kelas,” Mega menyambung percakapan karena aku terlalu banyak diam memandanginya yang benar-benar berbeda saat aku lihat tadi di sekolah.

“Memang kita satu kelas? Kan beda program?”

“Lu ngga dengar di awal pembukaan? Untuk hari ini kelas masih digabung dulu karena belum ada jam yang pasti. Nanti akan dikasih saat materi berlangsung.”

“Oh gitu ya? Tadi gua telat soalnya.” Aku timpali dengan senyuman.

“Dasar. Hari pertama saja sudah telat. Bagaimana di hari selanjutnya.”

“Banyak cing-cong lu. Ayo kita masuk. Ruangnya di mana?” Aku mencoba untuk membuat percakapan ini mengalir agar tidak terkesan kaku.

Mega menunjukkan ruang kami berkumpul dengan kawan yang lain. Dia sudah memiliki teman saja di sini. Saat aku kenalan, ternyata mereka teman saat adu cerdas cermat, ada pula teman Paskibra dari sekolah lain.

Yang tidak aku lupa saat berkenalan dengan teman Mega dari lomba cerdas cermat. Orangnya cukup jutek terhadap pria. Mungkin karena dia menutupi mahkota kepalanya. Terlintas orangnya cukup religius. Saat mengulurkan tangan untuk berjabat tangan, dia hanya menyatukan kedua tangan seperti memohon lalu memajukan kedua tangan itu. Sebelum menyentuh ujung jariku, dia menarik tangannya kembali. Itu yang biasa dilakukan orang Islam jika bersalaman dengan yang bukan muhrim atau lawan jenis.

Dia Lia Lailia. Nama seperti khas orang Sunda. Tapi aku belum mau bertanya jauh melihat wajahnya yang masam sama lelaki. Wajah jelek itu tidak diperlihatkan pada Mega. Aku sebut wajah jelek karena wanita hilang aura kecantikannya saat cemberut atau mengeluarkan muka masam. Tapi aku mengakui kalau dia wanita yang manis karena wajahnya mirip artis ibu kota, Marshanda.

Kami masuk kelas dan menunggu kakak pengajar datang. Aku duduk di pojok depan karena kursi kosong tinggal di depan. Sialnya datang terlambat seperti ini. Sialnya lagi mereka sudah saling kenalan saat datang tadi. Lengkap sudah sialku! Beberapa menit terdiam dan menunggu, akhirnya kakak mentor datang. Dia adalah orang yang aku ingin tahu cara mengajarnya. Iya, dia Ka Arif.

Bersambung....
Previous
Next Post »
0 Komentar