Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 74)


Asep baru-baru ini digosipkan dengan Mega. Kalau tidak salah menjelang akhir kelas dua. Saat itu dia sering terlihat pulang bersama Mega. Kebetulan Mega sering mampir ke rumah kakeknya yang ada dekat sekolah. Biasanya, Asep mengantarkannya ke sana baru setelah itu merokok bareng bersama kami.

Jika ada janji pulang bareng, setiap bel pulang berbunyi, Asep buru-buru keluar kelas dan menghilang. Tak lama terlihat, dia kedapatan bersama Mega ke tempat parkir motor. Yang membuat sakit saat itu adalah ketika Mega duduk di belakang Asep bersama motornya. Pertama kali ketahuan, Rapsan yang masih suka dengan Mega meski sudah punya pacar menjadi paling gaduh. “Itu kan Asep. Wadaaawww!!!”

Kami melanjutkan perbicaraan di warung sebelah sekolah biasa kami merokok. Rapsan masih saja penasaran. Dia sepertinya kesal karena Mega adalah orang yang dia suka. Padahal Rapsan sudah punya Dara, kenapa juga dia yang sebal. Tapi kesalnya itu lucu. Aku hanya tertawa saja melihatnya.

Tak lama Asep datang. Aku kira dia tidak akan merokok bareng karena sudah pulang lebih dulu. Ini adalah kesempatan Rapsan mengintrogasinya. “Cuma nganterin saja kok,” jawab Asep sembari membakar rokoknya. Aku melihat Asep mencoba untuk tenang agar tidak mencurigakan dan tidak ditanya-tanya lebih jauh.

Sejak saat itu Asep suka terlihat pulang mengantar Mega ke rumah kakeknya. Info itu kami tahu saat teman sekelas membicarakan Asep dengan Mega. Teman sekelas yang kemarin kami belajar kelompok. Memang saat pertama kali sangat heboh. Setelah sering terlihat meski tidak setiap hari, kami jadi biasa saja. Tidak ada pembicaraan Asep-Mega.

Kehebohan kembali dimulai saat Asep nyatanya pindah kelas. Padahal berdasarkan peraturan, tidak ada pengacakan siswa di kelas tiga. Rapsan lagi-lagi menjadi paling heboh ketika tahu Asep ternyata pindah ke kelas Mega. “Biar makin dengan sama Mega lu ya,” tembak Rapsan.

Pastinya Asep mengelak. “Nama gua tidak ada di sini.”

“Terus kenapa bisa pindah ke kelas Mega? Kenapa tidak di kelas yang lain.”

“Mana gua tahu. Tanya sama guru yang buat pindahin gua.” Jawaban itu membuat Rapsan tidak berkutik. Dia diam saja. Kami meledek Rapsan karena tidak tidak bisa memberondong pertanyaan lagi pada Asep. Topik pembicaraan berubah. Asep pemenangnya.

Terkadang di saat kami akan nge-band, Asep lebih mendahulukan mengantar Mega dibanding kami. Tidak masalah sih. Tapi dari situ terlihat bahwa Asep memang benar memiliki perasaan dengan Mega. Tapi aku belum mendengar langsung dari ucapannya. Kami hanya meledek dia terus yang selalu berdua dengan Mega.

Bagiku, dengan Rapsan sepertinya sudah tidak masalah. Yang harus dipastikan apakah benar Asep tidak punya perasaan dengan Mega? Aku belum pernah menanyakan ini secara serius. Aku yakin ada perasaan, tapi masih belum percaya.

Nyatanya meski bingung dengan jawaban ini, aku tetap menjalin komunikasi dengan Mega. Selain karena kami sering menanyakan tugas sekolah bareng, pertama kali aku mencoba hubungi Mega adalah akibat bonus pesan singkat dari kartu telepon saat bulan Ramadhan kemarin. Bingung mau diapakan bonus ini, aku manfaatkan menghubungi Mega.

Aku juga tidak tahu kenapa Mega, bukan yang lain. Sebenarnya ada beberapa kontak yang menjadi sasaran. Mungkin karena belum pernah berbincang panjang dengan Mega, aku putuskan menghubungi dia. Tidak ada kegiatan di bulan Puasa semakin membuat aku sering mengirim pesan padanya. Berawal dari keisengan itulah kami lanjut.

Kami sempat dua minggu tidak saling berkabar. Itu terjadi ketika aktvitas sekolah kembali dimulai. Aku menjadi sibuk, begitu juga Mega. Di sekolah kami juga biasa saja. Aku lebih sering di kelas bercanda dengan teman-teman. Selesai sekolah langsung pulang. Tidak ada komunikasi secara langsung dengannya.

Libur panjang menjelang lebaran membuat kami intens kembali berkirim pesan. Masih tidak ada perasaan yang aku miliki saat itu. Rasanya biasa saja. Itu karena aku berada di antara pilihan lanjut atau tidak. Meski kenyataannya, dalam perbuatan aku tidak pernah berhenti menghubunginya.

Ada satu pertanyaan Mega yang membuat aku termenung, “Kenapa kalau di sekolah Jefri tidak pernah menyapa Mega?” pertanyaan ini sulit aku jawab. Butuh beberapa jam hingga aku yakin bahwa jawaban ini tepat.

“Jefri malu.” Cuma itu saja jawaban aku. Singkat tapi tidak jelas. Tentunya tidak memuaskan Mega. Dia bertanya kenapa harus malu. Aku yakin pasti dia akan bertanya seperti ini. Aku kembali bingung. Jawab apa ya? Masa aku harus bilang kalau aku pecundang?

Bersambung…

Previous
Next Post »
0 Komentar