“Allahumma laka sumtu wa bika aamantu wa ‘alaa rizqika aftartu birahmatika ya arhamarrohimin,”
Sukri menegak segelas air mineral yang didapatnya setelah mengatre barisan di sebuah masjid tempat ia sehabis memulung. Antrean hari ini lebih ramai dari biasanya, entah kenapa semakin hari Sukri semakin enggan berdiri hanya untuk mendapatkan segelas air dan segenggam camilan. Tapi apa daya, tak ada cara untuk berbuka selain berdiri lama
“Alhamdulillah hari ini bisa makan risol, nanti sahur mau makan apa ya? Di At-Taqwa nggak pernah nyediain makanan kalau buat sahur,” pikirnya mencari cara untuk melanjutkan puasa esok hari. Karena pekerjaannya yang berat Sukri harus bisa mendapatkan asupan yang banyak untuk menyusuri barang yang dianggap orang borjuis tak berguna apa-apa.
“Ah gampang itu mah, yang penting sekarang gue shalat dulu aja. Nanti gue cari di jalan aja, semoga aja ada makanan sisa yang dibuang di jalan,” doanya menghibur diri agar tak menganggu saat itu bertemu dengan Sang Khalik. Dililit sarung lusuh ke lehernya. Dijinjing karung yang selalu menemaninya setiap saat. Disimpan belahan jiwanya itu agar tak seorangpun yang berniat jahat untuk mengutil barang berharga di dalamnya.
***
Hidup seorang diri tak membuat ia kesepian. Sejak kecil ia sudah tidak memiliki orang tua, terdengar kabar bahwa ia ditemukan di jalan saat balita, orang yang menemukannya saat itu hendak menjualnya. Beruntung seorang pemulung berbaik hati merebut dan merawatnya, walaupun pada akhirnya peri miskin itu pergi selamanya saat Sukri berusia 6 tahun.
Sukri pun tak mengutuki diri karena sudah terlahir seperti ini, hidup di jalan mengajarkan ia sejak dini betapa kerasnya hidup di dunia. Berkelahi mendapatkan nasi basi, caci maki karena berebut sepotong roti adalah hal biasa ia temui. Terlintas dalam pikiran apakah ini cara manusia bertahan hidup? Apa guna berkelahi mendapatkan yang tak pasti?
***
“Mau mulung bareng ga Kri?” ajak Indah dengan wajah memerah.
“nggak dulu deh, lagi enak nyari sampah sendiri. Kapan-kapan aja ya,” tuturnya tanpa menoleh
Sukri telah berteman sejak kecil dengan Indah. Ia mengetahui Indah memiliki perasaan suka kepadanya, tapi Sukri tak menggubrisnya. Rasa cinta sepertinya tak ada dalam dirinya. Semuanya terlupakan hanya untuk makan.
“Kerennya….” Puji Indah melihat Sukri dari kejauhan yang fokus melihat selokan
***
Dua jam lagi puasa dimulai, walaupun sampah yang didapat tak banyak ia masih dapat tersenyum karena sahur hari ini ia mendapatkan nasi kotak yang ditemukan di tempat sampah, nasinya masih setengah, dagingnya secuil tapi cukup untuk menemani sang nasi.
Perjalanan pulang menikmati nasi Sukri melihat Indah berjalan gontai. Indah tak seperti biasanya yang selalu semangat menjalani hari. Sukri menyambangi Indah yang tak menyadari Sukri menghampirinya.
“Kenapa Ndah? Lu ga kaya biasanya?” Tanya Sukri heran
“Ah… nggak kenapa-kenapa ko,” jawabnya lesu
“tampang lu pucet,” simpulan Sukri tak percaya memegang kening Indah. “Badan lu panas tuh,” terlihat panik dalam diri Sukri.
Indah hanya menganggukkan kepalanya.
“Nih makan,” Sukri memberikan nasi kotak yang ia temukan untuk sahurnya. “Tunggu sebentar,” Sukri berlari tanpa memberi tahu Indah. Indah terpaku melihat Sukri berlari.
Tak lama Sukri kembali membawa kantong plastik hitam. “Abis makan, lu minum obat,” tunjuknya obat penurun panas beserta teh hangat.
“Nah lu ga makan?”
“ngga, tadi gue udah sahur ko,” bohong Sukri agar Indah menghabiskan makanan dan tak memberikan kepadanya. Dan Indah melanjutkan makannya lalu meminum obat.
“gue minta airnya ya sedikit aja, haus tadi lari”
Indah memberikan teh pembelian Sukri. Sukri meminum teh sisa Indah dan berkata dalam hati
“Nawaitu souma godhin ‘an adaa i, fardhi syahri ramadhaana haadzihis sanati lillahi ta’aala”
0 Komentar