Aku Jaffry Prabu Prakoso, teman kecil sampai SMA biasa manggil jefri (baca: jepri). Berbeda dengan teman organisasi di kuliah, mereka menggunakan namaku sesuai dengan akte kelahiran, yaitu jafri (baca: japri). Pengucapan seperti itu karena orang Indonesia sulit sekali menyebutkan kata ‘f’, makanya huruf ‘f’ terkadang suka diganti dengan ‘p’. Sudah tiga tahun aku kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, jurusan jurnalistik.
Aku tidak tahu kenapa bisa memilih jurusan ini. Saat sekolah aku berpendirian labil memilih universitas. tapi biarlah yang penting aku kuliah dan jangan pernah menyesal dengan apa yang sudah aku pilih. Karena kalau kita tidak menikmati apa yang sudah berikan, Tuhan akan kapok untuk memberikan kita nikmat lagi.
Seperti biasa, di awal kuliah aku masih belum punya teman yang bisa kupercayakan sepenuhnya. Itulah aku. Mencari teman yang benar-benar bisa dipercaya memang sulit. Tidak semudah memesan menu makanan di warung nasi.
Mungkin rasa trauma karena dikhianati yang membuat aku seperti ini. Tapi sekadar untuk tahu siapa namanya tak masalah bagiku, karena aku juga bukan tipe orang yang tidak mau berteman. Tapi masalah terbesarku, aku sangat sulit menghapal nama orang.
Di hari perkenalan dunia kampus pun sama. Saat orang disebelahku asik berkenalan dengan teman barunya, aku hanya diam dan asik dengan duniaku saja. Diam, pandangan kosong, pikiran jauh bermain di tempat yang tak jelas juntrungannya.
Bagiku, hal seperti itu sangat mengasikkan. Daripada aku bermuka dua, menunjukkan perilaku baik dan berlagak akrab dengan teman baru. Tapi setiap orang memiliki sikap yang berbeda-beda. Mungkin mereka memang mudah bergaul, tidak sepertiku. Terlebih tidak ada teman sekolahku yang masuk di jurusan ini, membuatku sulit berkenalan dengan teman baru.
Di semester awal kuliah aku masih belum beradaptasi sepenuhnya dengan dunia kampus. Terlebih lagi mata kuliah yang diberikan tentang pelajaran agama semua. Aku tercengang. Mana mata kuliah tentang jurnalistik? Aku baru menerima pelajaran jurnalistik setahun kemudian.
Pelajaran jurnalistik yang diberikan kuliah, tak sebanding dengan apa yang aku dapatkan di organisasi. Bukan bermaksud membanggakan satu pihak, tapi benar kata orang. Kalau kuliah hanya mengharapkan apa yang dosen berikan, maka ilmu yang kita dapatkan tidak akan maksimal. Dan kita tidak akan bisa menemukan jati diri kita hanya dengan kuliah di kelas.
Aku tak tahu kenapa banyak orang mengharapkan nilai yang tinggi. Ini semua karena sistem indonesia yang memang kacau. Dari dunia kerja pun mereka mencari para pekerjanya dengan nilai yang dikriteriakan. Jauh dari itu semua, mereka membatasi para pekerjanya dengan standar pendidikan sesuai dengan standar yang ada. Sebenarnya yang mereka inginkan itu pendidikan dan nilai para pekerjanya atau keahlian yang mereka miliki?
Seniorku menceritakan tentang kakeknya. Saat Indonesia dijajah, para pejuang dapat berbahasa lebih dari dua bahasa asing, walaupun mereka tidak berpendidikan. Kita lihat jaman sekarang. Sejak Sekolah Dasar kita dicecer dengan bahasa inggris, tapi apakah kita dapat menggunakan bahasa internasional itu secara fasih? Apa sebenarnya yang salah dengan sistem pendidikan ini? Kenapa aku terdampar di dunia yang kacau seperti ini?
Semua itu berdampak jelas di kuliah. Bagus atau tidaknya mahasiswa dalam memahami pelajaran kuliah diukur dengan nilai yang diberikan dosen. Padahal nilai yang dosen berikan itu adalah subjektif. Kalau dosen itu suka dengan seseorang pasti mahasiswa itu mendapat nilai yang bagus. Dan sebaliknya. Jika dosen tidak suka dengan seorang mahasiswa, pasti ia mendapat nilai yang tidak memuaskan.
Bagiku nilai bukan segalanya. Walaupun aku memiliki nilai yang standar, tapi aku tidak menyesalinya. Yang aku fokuskan adalah apa yang kudapat dengan kegiatan yang positif. Karena aku percaya, dengan kegiatan yang positif akan menciptakan hasil yang positif.
0 Komentar