Salah satu kegiatan yang tak boleh ditinggalkan saat pulang kampung ke Sumatera Barat adalah berenang di sungai. Hobi ini sudah aku lakukan sejak SMP atau pada tahun 2005. Berarti sudah delapan tahun tindakan rutin ini berlangsung.
Masih ingat saat pertama kali berenang di sungai. Saat itu, pamanku mengajak mandi di luar. Aku kira ia mau mengajak mandi di air terjun. Itu karena rumah kakek-nenekku juga dekat dengan air terjun. Kebetulan juga aku belum pernah mandi di sana dan sampai saat ini aku belum pernah melampiaskan penasaranku. Tapi sekarang aku sudah tidak berminat lagi mandi di sana, karena tempat itu sudah ramai dan menjadi lingkungan komersial.
Pamanku mengajak ke tempat yang tak kalah bagus dengan air terjun. Awalnya aku agak malas saat ia mengajak mandi di sungai, tapi ia meyakinkan bahwa aku tidak akan menyesal jika sudah di lokasi. Tidak hanya kami berdua yang ke sana, tapi juga dengan saudara-saudaraku. Kami berjalan kaki menuju sungai karena jaraknya hanya sekitar dua kilometer.
Di perjalanan, kami melewati rel kereta api. Sebenarnya kondisi rel masih baik dan tak ada bagian rel yang terlepas. Sungguh sayang pemerintah di sini tak memanfaatkan transportasi massa ini. Pamanku bercerita bahwa dulu saat kecil, rel ini masih dilewati oleh kereta. Saat ia ingin mandi dan terdengar kereta lewat, ia dan teman kecilnya berlari ke pinggir agar tak tertabrak. Saat ingin bepergian jauh juga ia menunggu kereta lewat dan langsung menaikinya.
Aku tidak pernah tahu kenapa kerepa api di sini tidak berfungsi. Tiba-tiba aku berpikir, seandanya saja lintasan ini berfungsi seperti dulu. Jika itu terjadi pasti transportasi massa di Sumatera dapat berkembang seperti Jawa. Aku tidak perlu menaiki pesawat atau membawa mobil pribadi jika pulang kampung. Tinggal naik dari Bakauheni, Lampung, kemudian turun di Bukit Tinggi atau kalau memang ada, turun di Sicincin, tempat kakek-nenekku tinggal.
tak terasa kami tiba di sungai. Aku terkesima saat melihat air sungai yang sangat jernih. Di Jakarta, tidak ada sungai seperti ini. Selain airnya yang jernih, banyak sekali ikannya. Ikannya terlihat jinak dan mendekati setiap orang yang ada. Kata mamaku, ikan di sini sudah dibacakan doa. Oleh karena itu ikan di sini tidak boleh ditangkap apalagi dimakan.
Jika saja ikan tersebut tidak dibacakan doa, mereka tidak akan sejinak ini. Mereka juga tidak akan menetap di sungai dan akan hidup berpindah-pindah. Sebenarnya aku kurang percaya, tapi mama pernah melihat saat orang “tua” di daerah ini mencabut doanya, ikan itu tidak jinak dan sungai tidak dipenuhi dengan ikan lagi. Spiritual di daerah memang masih kental.
Berenang di sungai sungguh membuatku merasa nyaman. Saat pulang kampung pada hari idul fitri kemarin, aku juga menyempatkan diri untuk mandi di sungai. Meski tempatnya sudah tak seindah dan sedalam yang dulu, sungai ini masih jauh lebih baik dari sungai yang ada di Jakarta.
0 Komentar