Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 13)




"Selamat sore semuanya. Sudah pada kenal kakak kan? Kalau ngga kenal, makan batu yah." Kami membalas canda Ka Arif dengan tawa.



Ternyata Ka Arif mengajar bahasa Inggris. Padahal dia lulusan sastra Perancis universitas negeri ternama di Bandung. Akupun bingung dengan itu. Ka Arif menceritakan semuanya. Dia seperti punya indra keenam yang mampu membaca hati orang lain.



Dia memang dulu menghabiskan waktu kuliah dengan belajar bahasa Perancis, tapi dia juga aktif dengan kegiatan yang lainnya. Salah satunya belajar otodidak bahasa Inggris. Baginya belajar bahasa Perancis tidak jauh berbeda dengan bahasa Inggris. Kalau sudah menguasai salah satu dari bahasa itu, bahasa setelahnya akan mengikuti dengan mudah.



"‎Bahasa Inggris, Jerman, dan Perancis itu hampir sama. Tapi kalian harus kuasai dulu salah satu. Kalau langsung belajar sekaligus, malah akan berantakan," katanya menyemangati kami yang pasti bisa menguasai lebih dua bahasa juga.



Sejak awal aku sudah mengira bahwa pola pikir Ka Arif itu sangat ekstrim. Dalam artian dia selalu berpikir yang tidak diduga oleh orang-orang seumuranku. ‎Ia menantang kami untuk menunjukkan uang seribu rupiah saja padanya. Tapi uang itu berdasarkan keringat sendiri. Uang yang bukan hasil ngamen atau meminta pada orang tua.



Aku yang selalu mendapat uang jajan dari orang tua tak pernah terbayangkan untuk mendapat uang sendiri. Ka Arif ingin kami semua menghargai pemberian orang tua meski uang jajan kami lebih sedikit dari teman seumuran. Saat itu aku menyadari bahwa aku kurang bersyukur atas nikmat Tuhan yang telah diberi padaku melalui orang tua.



"Pertemuan selanjutnya tunjukkin ke kakak ya," tantangnya‎. Aku bingung mendapat uang seribu darimana. Tiba-tiba teringat teman yang punya usaha juga sebagai penjual nasi padang. Mungkin besok di sekolah aku minta pekerjaan sehari padanya. Cuci piring atau mengantar makanan juga boleh, yang penting dapat uang seribu hasil keringat sendiri.



"Kita mulai saja ‎pelajaran kita yah. Kakak mau tau permasalahan kalian di bahasa Inggris itu apa saja. Mulai dari kamu!" Ka Arif menunjuk Lia.



“Pelafalan saya dalam bahasa Inggris masih jelek ka. Kalau bicara tidak seperti orang bule,” jawabnya langsung tanpa pikir panjang. Sepertinya dia pandai salah satu bahasa internasional itu. Aku bingung harus jawab apa. Sampai akhirnya giliranku.



“Kosakata ka. Saya suka bingung harus balas apa kalau mau bicara. Padahal di otak sudah ada yang ingin dikatakan, tapi bingung menyampaikannya harus kaya gimana.”



“Nah itu sebenarnya yang dimasalahkan kita. Jadi otak untuk bicara bahasa Indonesia sama bahasa Inggrisnya tidak seiringan. Itu karena kita terlalu sering bicara bahasa Indonesia. Saat ingin bicara bahasa Inggris, otak kita bingung mengolah kata-katanya. Kalau begitu kita mulai coba bicara bahasa Inggris yah. Tapi setiap kalimat harus ada to be (is, am, are, dan be).” pas sekali jawabanku dengan pelajaran awal karena aku menjadi orang yang terakhir ditanya.



Ka Arif menjelaskan sekilas tentang to be. To be digunakan pada kalimat selain kata kerja. Contohnya I am beautiful. Beautiful itu kata sifat. It is cat. Cat merupakan hewan yang bisa dikategorikan benda. Bisa digunakan untuk kata kerja, tapi menjadi kalimat pasif. Contohnya I am kissed by cat yang artiya aku dicium kucing. Dicium itu kata pasif.”



Semuanya memperhatikan Ka Arif. Aku mencoba untuk mencuri pandang ke yang lain. Semua mata tertuju pada Ka Arif. Kulihat bola mata teman-teman yang belum kukenal ini mengikuti gerak Ka Arif.



Barusan kalimat sederhananya. Kalau sudah lebih jago lagi, nanti kalian bisa menggunakan to be menjadi lebih panjang dan terlihat lebih keren. My observation for five years in Bandung, West Java when I graduated from master degree is about citizen journalism. To be memang sederhana, tapi kalau digunakan secara mendalam sangat indah.



Satu persatu setiap siswa maju mempersentasikan keahliannya dalam menggunakan to be. Semua terlihat fasih berbicara bahasa Inggris, tapi selalu terjebak dalam penggunaan to be. Mereka selalu memakai kata kerja dalam kalimat yang digunakan. Hampir semuanya gagal. Saat maju, aku hampir juga gagal. Meski begitu, apa yang aku bicarakan di depan didengar sampai habis. Karena kalau gagal, Ka Arif langsung menyuruh duduk. “6,5” katanya.



Akhirnya selesai juga tambahan belajar. Aku pulang paling terakhir sambil memperhatikan teman yang lain. Bagaimana aku bisa berteman dengan mereka kalau aku tidak aktif untuk berkenalan. Yang lainnya sudah terlihat akrab. “Nama lu siapa?” tanya salah satu teman sebelahku. Akhirnya ada yang menyapaku. Sedari tadi aku diam saja karena fokus mendengar Ka Arif.



Jefri.”



Ahmad. Gua anak SMAN 9 Tangerang. Lu sekolah di mana?”



SMAN 12.” perbincangan kami berlanjut sampai ke luar kelas. Ahmad saat belajar tadi agak berisik. Dia mengobrol dengan teman yang ada di belakangnya. Saat aku tanya, ternyata yang dia ajak bicara itu adalah teman satu sekolah tapi beda kelas. Akhirnya kami berpisah. Mega pun sudah pulang. Tiba-tiba handphone-ku bergetar.



Sudah pulang ka lesnya? Ini aku Tia.”



Bersabung....
Previous
Next Post »
0 Komentar