"Selamat
sore semuanya. Sudah pada kenal kakak kan? Kalau ngga kenal, makan
batu yah." Kami membalas canda Ka Arif dengan tawa.
Ternyata
Ka Arif mengajar bahasa Inggris. Padahal dia lulusan sastra Perancis
universitas negeri ternama di Bandung. Akupun bingung dengan itu. Ka
Arif menceritakan semuanya. Dia seperti punya indra keenam yang mampu
membaca hati orang lain.
Dia
memang dulu menghabiskan waktu kuliah dengan belajar bahasa Perancis,
tapi dia juga aktif dengan kegiatan yang lainnya. Salah satunya
belajar otodidak bahasa Inggris. Baginya belajar bahasa Perancis
tidak jauh berbeda dengan bahasa Inggris. Kalau sudah menguasai salah
satu dari bahasa itu, bahasa setelahnya akan mengikuti dengan mudah.
"Bahasa
Inggris, Jerman, dan Perancis itu hampir sama. Tapi kalian harus
kuasai dulu salah satu. Kalau langsung belajar sekaligus, malah akan
berantakan," katanya menyemangati kami yang pasti bisa menguasai
lebih dua bahasa juga.
Sejak
awal aku sudah mengira bahwa pola pikir Ka Arif itu sangat ekstrim.
Dalam artian dia selalu berpikir yang tidak diduga oleh orang-orang
seumuranku. Ia menantang kami untuk menunjukkan uang seribu
rupiah saja padanya. Tapi uang itu berdasarkan keringat sendiri. Uang
yang bukan hasil ngamen atau meminta pada orang tua.
Aku
yang selalu mendapat uang jajan dari orang tua tak pernah
terbayangkan untuk mendapat uang sendiri. Ka Arif ingin kami semua
menghargai pemberian orang tua meski uang jajan kami lebih sedikit
dari teman seumuran. Saat itu aku menyadari bahwa aku kurang
bersyukur atas nikmat Tuhan yang telah diberi padaku melalui orang
tua.
"Pertemuan
selanjutnya tunjukkin ke kakak ya," tantangnya. Aku bingung
mendapat uang seribu darimana. Tiba-tiba teringat teman yang punya
usaha juga sebagai penjual nasi padang. Mungkin besok di sekolah aku
minta pekerjaan sehari padanya. Cuci piring atau mengantar makanan
juga boleh, yang penting dapat uang seribu hasil keringat sendiri.
"Kita
mulai saja pelajaran kita yah. Kakak mau tau permasalahan kalian
di bahasa Inggris itu apa saja. Mulai dari kamu!" Ka Arif
menunjuk Lia.
“Pelafalan
saya dalam bahasa Inggris masih jelek ka. Kalau bicara tidak seperti
orang bule,” jawabnya langsung tanpa pikir panjang. Sepertinya dia
pandai salah satu bahasa internasional itu. Aku bingung harus jawab
apa. Sampai akhirnya giliranku.
“Kosakata
ka. Saya suka bingung harus balas apa kalau mau bicara. Padahal di
otak sudah ada yang ingin dikatakan, tapi bingung menyampaikannya
harus kaya gimana.”
“Nah
itu sebenarnya yang dimasalahkan kita. Jadi otak untuk bicara bahasa
Indonesia sama bahasa Inggrisnya tidak seiringan. Itu karena kita
terlalu sering bicara bahasa Indonesia. Saat ingin bicara bahasa
Inggris, otak kita bingung mengolah kata-katanya. Kalau begitu kita
mulai coba bicara bahasa Inggris yah. Tapi setiap kalimat harus ada
to be (is, am, are,
dan be).”
pas sekali jawabanku dengan
pelajaran awal karena aku
menjadi orang yang terakhir ditanya.
Ka
Arif menjelaskan sekilas tentang to be. “To
be digunakan pada kalimat selain
kata kerja. Contohnya I am beautiful. Beautiful itu
kata sifat. It is cat. Cat merupakan
hewan yang bisa dikategorikan benda.
Bisa digunakan untuk kata kerja, tapi menjadi kalimat pasif.
Contohnya I am
kissed by cat yang artiya aku
dicium kucing. Dicium itu kata pasif.”
Semuanya
memperhatikan Ka Arif. Aku mencoba untuk mencuri pandang ke yang
lain. Semua mata tertuju pada Ka Arif. Kulihat bola mata teman-teman
yang belum kukenal ini mengikuti gerak Ka Arif.
“Barusan
kalimat sederhananya. Kalau sudah lebih jago lagi, nanti kalian bisa
menggunakan to be menjadi
lebih panjang dan terlihat lebih keren. My observation
for five years in Bandung, West Java when I graduated from
master degree is about citizen
journalism. To be memang
sederhana, tapi kalau digunakan secara mendalam sangat
indah.
Satu
persatu setiap siswa maju mempersentasikan keahliannya dalam
menggunakan to be. Semua
terlihat fasih berbicara bahasa Inggris, tapi selalu terjebak dalam
penggunaan to be. Mereka
selalu memakai kata kerja dalam kalimat yang digunakan. Hampir
semuanya gagal. Saat maju, aku hampir juga
gagal. Meski begitu, apa yang
aku bicarakan di depan didengar sampai habis. Karena
kalau gagal, Ka Arif langsung menyuruh duduk. “6,5” katanya.
Akhirnya
selesai juga tambahan belajar. Aku
pulang paling terakhir sambil memperhatikan teman yang lain.
Bagaimana aku bisa berteman dengan mereka kalau
aku tidak aktif untuk berkenalan.
Yang lainnya sudah terlihat akrab. “Nama lu siapa?” tanya salah
satu teman sebelahku. Akhirnya
ada yang menyapaku. Sedari
tadi aku diam saja karena fokus mendengar Ka Arif.
“Jefri.”
“Ahmad.
Gua anak SMAN 9 Tangerang. Lu sekolah di mana?”
“SMAN
12.” perbincangan kami berlanjut sampai ke luar kelas. Ahmad saat
belajar tadi agak berisik. Dia mengobrol dengan teman yang ada di
belakangnya. Saat aku tanya, ternyata yang
dia ajak bicara itu adalah teman satu sekolah tapi beda kelas.
Akhirnya kami berpisah. Mega pun sudah pulang. Tiba-tiba handphone-ku
bergetar.
“Sudah
pulang ka lesnya? Ini aku Tia.”
Bersabung....
0 Komentar