Sampai Kapan Akan Terus Ingin ke Kampus?


Delapan bulan sudah aku resmi menjadi alumni di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta. Proses pemindahan tali toga dari kiri ke kenan bagiku terasa biasa saja. Semua huru-hara tak lebih spesial dari hari-hari lain. Bahkan tidak ada rencana memakai pakaian yang mewah atau aksesoris lainnya pada hari itu.

Pagi-pagi buta aku sudah terbangun untuk bersiap ke kampus bersama keluarga. Rencananya aku ingin membawa kendaraan sendiri saat pergi ke kampus. Tapi mamaku melarang. Katanya ia ingin menggiring anaknya wisuda dari rumah hingga tiba kampus sampai selamat.

Akhirnya aku mengalah menghormati alasan itu dengan sarat pulangnya aku sendiri.‎ Aku mau menghabiskan hari setelah wisuda bersama teman-teman yang lainnya. Seharian bersama mereka melewati setiap menit dengan tawa. Bercincang membahas apa saja. Membahas masa lalu. Merencanakan masa depan.

Biarlah aku membuat orang tuaku senang. Menurut mereka adalah sebuah kebanggaan melihat anaknya wisuda dan mengantarkan hingga tiba di kampus. Mungkin karena aku adalah anak pertama dan tidak mau menyia-nyiakan momen yang takkan pernah terulang ini.

Prosesi pelepasan mahasiswa berjalan agak membosankan bagiku. Acara dihabiskan hanya melihat orang-orang yang dipindahkan tali toga di kepalanya. Pikiranku melayang membayangkan apa yang selanjutnya akan kukerjakan setelah ini? Apakah aku bisa berguna bagi bangsa, minimal orang sekitar?

Masih kuingat perkataan dari salah satu dosenku. Ia mengatakan, kalau ingin lulus kuliah karena ingin bekerja, mending ambil D3. Seorang sarjana itu dibuat agar dia memiliki pemikiran yang dia didapat itu diaplikasikan di kehidupan nyata. Kalau hanya menjadi pegawai dan hanya disuruh-suruh, kuliah di kampus yang kaya ruko aja.

Dari perkataan itu, aku berpikir apa yang akan kulakukan dengan pendidikan ini? Rasanya aku belum siap untuk menghadapi dunia nyata. Aku ingin kembali ke awal dimana aku pertama kali masuk kuliah. Aku masih belum tahu apa-apa. Aku yang masih mencari jati diri. Aku yang menemukan organisasi di bidang tulis menulis dan membuat aku berpikir pentingnya belajar.

Sambil menunggu kawan-kawan dari fakultas lain dipanggil dan mengambil ijazah, aku mengenang sejak awal kali masuk UIN Jakarta. ‎

Perjalanku mengambil mata kuliah di UIN mengorbankan beberapa barang. Dua telepon genggam hilang dalam waktu satu bulan. Pertama kali hilang di hari perdana tes ujian masuk. Kedua saat daftar ulang penerimaan mahasiswa baru.

Setelah itu hari-hari biasa saja. Berkenalan dengan teman baru, kuliah, main playstation, pulang. Kegiatan yang seperti itu rutin selama setahun. Mengambil mata kuliah jurnalistik di UIN ternyata tidak memberi pengetahuan seperti yang aku harapkan. Aku lebih banyak belajar tentang agama.

Sebenarnya aku tidak mempermasalahkan dengan pelajaran agama. Tapi aku juga menuntut pelajaran yang sesuai dengan jurusanku. Aku juga masih belum paham dengan agamaku sampai saat ini. Masih banyak ilmu yang belum aku ketahui tentang Islam. Mengaitkan agama dengan jurnalistik kan bisa menjadi bahan ajar yang digunakan.

Sampai akhirnya aku mengalami kejenuhan dengan kegiatan kuliah. Sebenarnya aku punya kegiatan lain setelah kuliah. Aku bergabung dengan Unit Kegiatan Mahasiswa yang bergerak di bidang olahraga. Sejak kecil ayah menginginkanku ikut bela diri agar aku bisa menjaga orang orang sekitar saat terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Aku pun gabung karate.
‎‎
Aku nyaman dengan kegiatan ini. Orang yang bergabung di sana juga ramah. Mereka mengayomi adik-adiknya. Pelatihnya juga kredibel. Dia tahu apa yang harus diberikan pada anak didiknya. Setiap latihan, beban pikiran rasanya hilang. Olahraga memang obat terbaik menghilang stress.

Tapi masih saja ada yang kurang. Akhirnya aku memilih bergabung dengan LPM INSTITUT. Ini adalah UKM yang sesuai dengan jurusanku. Kegiatan sehari-hari mereka adalah menulis. Tidak hanya menulis, tapi kami juga harus berdiskusi agar tidak terlihat bodoh. Karena apa yang ditulis mencerminkan isi dalam otak.

Di UKM itu aku menemukan jati diri. Apa yang aku harapkan dari kuliah jurnalistik didapat di sini. Aku jadi suka membaca. Aku jadi tahu betapa bodohnya aku karena malas membaca. Aku menyesali kenapa telat suka membaca. Tapi aku tak larut dalam penyesalan. Masih belum terlambat. Lebih baik telat daripada tidak sama sekali.

Yang paling terpenting aku punya keluarga baru di sini. Suka duka aku habiskan bersama mereka. Kami bercanda bersama. Kami bahkan tidur bersama dalam satu tenda. Tidak ada sekat antara pria dan wanita. Tidak ada yang punya berpikiran macam-macam mencari kesempatan dalam kesempitan.

Semester akhir aku masih menjadi pengurus di organisasi. Di antara kegiatan yang padat, aku harus mengambil sedikit waktu untuk mengerjakan tugas akhir. Tahun itu diisi dengan hari yang berat. Beban harus ditambah saat organisasi sedang rapuh.

Masa-masa berat itu akhirnya berhasil kami lewati. Masa sulit mengerjakan tugas akhir juga kulalui tanpa masalah. Di awal tahun ini aku mempersentasikan penelitianku. Aku berhasil tanpa kesulitan. Di bulan itu pula pengabdianku di organisasi selesai.

Meski sudah bekerja sebagai wartawan, aku masih ingin tetap ke kampus. Banyak sekali kenangan yang aku tinggal di sini. Tidak pernah aku merasa ingin datang terus ke tempat menempuh pendidikan selain di sini. Terlebih masih banyak keluarga di UIN. Sekertariat UKM LPM INSTITUT juga masih masih terbuka lebar untukku.

Memang sampai saat ini orang-orang yang dekat denganku masih ada di UIN. Itu salah satu kenapa aku masih ingin datang dan kembali ke sana. Aku tak tahu sampai kapan akan terus seperti ini. Yang ada dibenakku, aku tidak akan membuang kesempatan ketika aku masih ingin berkunjung ke kampus agar tidak ada penyesalan seperti yang sudah-sudah.

Keluarga Besar LPM INSTITUT. Sebenarnya masih banyak lagi teman seangkatan dan juniorku.
Tapi karena beberapa ada kegiatan, salah satunya masih harus liputan, jadi mereka tidak bisa ikut foto bersama















Previous
Next Post »
0 Komentar