Menjaga Harkat Martabat Jurnalis


Salah wsatu pekerjaan yang bebas menurutku adalah seorang wartawan. Profesi itu tidak harus pergi ke kantor atau berangkat pagi dari rumah sehingga harus terbebani datang jam sembilan pagi. Tanpa harus duduk tanpa bergerak kemana-mana lalu pulang jam lima sore. ‎Pakaiannya pun tidak harus memakai kemeja, celana bahan, sepatu pantofel.

Kenapa seorang pencari berita bisa bebas seperti itu? Karena memang tugasnya memberitakan kabar pada orang banyak. Karena menceritakan peristiwa yang terjadi, tugasnya lebih sering ke lapangan, jalan-jalan bertemu orang baru. Tidak mungkin panas-panasan di bawah terik matahari mengenakan pakaian yang kusebutkan tadi.

Aku sendiri tidak pernah terbayangkan akan menggeluti profesi seperti ini. Sejak kecil aku kurang suka membaca ataupun menulis. Pemikiranku dulu sangat pragmatis, mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan uang banyak. ‎Sampai pada akhirnya aku mengambil kuliah jurusan jurnalistik di universitas yang lokasinya perbatasan antara tangerang dan jakarta.

Puncak kegelisahannku menentukan masa depan adalah saat menjelang lulus SMA. Aku sendiri memang punya keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat selanjutnya. Masalahnya aku belum tahu akan ke mana dan mengambil pendidikan apa? Pemahaman yang kurang membuatku hilang arah.

Yang jelas dulu aku tidak ingin mengambil kuliah yang jauh dari rumah. Selain itu aku harus mendapat universitas negeri. Dengan begitu, sebenarnya dari situ tujuanku sudah agak mengerucut. Ada tiga kampus negeri yang dekat di rumahku. Dari ketiga itu, aku mencari jurusan yang sekiranya memang aku minati.

Ketertarikanku jatuh pada universitas yang membentuk anak didiknya menjadi guru. Dari sekian jurusan yang ada aku tertarik pada jurusan guru olah raga. Mengajar bukan hal yang asing bagiku. Ketika itu, empat tahun sudah aku mendidik anak-anak kecil belajar agama. Walaupun kegiatan itu hanya datang pada bulan ramadhan, aku mulai memahami menghadapi anak kecil yang memiliki sifat berbeda-beda.

Pilihanku mantab untuk menjadi guru olah raga. Akan tetapi rasanya masih ada yang kurang. Aku harus punya pilihan lain selain menjadi seorang pengajar. Kulirik kampus lain yang bernafaskan islam. Di universitas ini sangat sulit untuk menentukan pilihan. 70% mata kuliahnya berjudul islam. Ada dirasat islamiyah, tarbiyah, ushuluddin, dakwah, dan lainnya.

Mataku tertuju pada jurusan jurnalistik. Aku tak menyangka ada jurusan seperti ini di universitas yang menjadi sarang orang islam dengan berbagai pemikiran. Mungkin cadangan ini sudah cukup untuk menentukan masa depanku. Sekarang tinggal proses bagaimana agar masuk di jurusan yang aku tentukan itu.

Berbagai tahap aku lewati. Jalur masuk ke universitas ada berbagai cara. Dari tingkat nasional, daerah, bahkan sekolah. Setelah semua cara kuikuti, akhirnya aku lulus di kampus islam itu. Mungkin ini sudah takdir. Takdir yang tak bisa dihindari.

Masuk di universitas ini membuatku harus terbiasa menyesuaikan diri. Yang paling ketara adalah cara penggunaan pakaian, apalagi untuk wanitanya. Seluruh wanita wajib mengenakan jilbab. Pemandangan yang selama ini jarang kulihat sebelumnya.

Untuk para pria, wajib berpakaian sopan yaitu mengenakan kemeja minimal kaos berkerah, cenala panjang tidak sobek, dan bersepatu. Yang paling penting tidak boleh berambut panjang. Peraturan terakhir ini yang membuatku heran. Aku kira hanya sampai sekolah saja kebebasan memelihara rambut dibatasi. Ternyata di sini juga.

Akan tetapi semua peraturan hanyalah peraturan. Bagi beberapa laki-laki, peraturan ada untuk dilanggar. Aku masuk pada laki-laki itu, tapi tidak pada tataran ekstrim. Hanya beberapa kali saja aku mengenakan celana sobek-sobek dan sandal ke kampus. Kalau rambut gondrong, itu konsisten aku lakukan.
Ini foto ketika dulu masih kuliah. Sekitar semester empat atau 2011





Lima tahun “nakal” di kampus sudah puas bagiku. Sudah saatnya berubah di dunia kerja. Meski menjadi seorang pewarta tidak dibatasi oleh peraturan, sepertinya aku tidak perlu mengikuti dengan yang lainnya. banyak dari teman-temanku yang mengenakan kaos saat bertemu dengan orang penting. Bahkan beberapa kali kulihat celananya sobek-sobek.

“Aku harus berubah.” Kata itu terus memenuhi otak. Memang tidak seperti pakaian orang kantoran. Minimal aku terlihat rapi di depan orang yang akan kutemui. Aku komitmen dengan janji itu. Pernah satu kali aku ke kantor mengenakan kaos. Melihat itu, redaktur langsung menegur. Ketika itu sedang deadline tulisan.

“Gua paling gak suka ngelihat wartawan yang penampilannya berantakan. Memang tidak ada aturan seperti itu. Minimal dia menghargai orang yang dia temui. Orang yang ditemui itu pasti memakai pakaian yang rapi karena ingin bertemu kita. Masa kita tidak menghormati mereka dengan memakai pakaian yang rapi? Seharusnya lu menjaga harkat dan martabat profesi,” katanya.

Sebenarnya aku membawa kemeja di tas. Kemeja itu aku kenakan saat bertemu dengan narasumber. Tapi entah kenapa saat ke kantor ingin sekali melepasnya. Aku memang setuju dengannya. Hanya ketika itu saja aku mengenakan kaos. Biasanya minimal aku memakai kaos berkerah.

Akan tetapi setiap orang memang memiliki pandangan yang berbeda. Temanku di kuliah yang menjadi wartawan juga mengomentari penampilanku. “Pakaian lu rapi banget. Kaya bukan wartawan aja.” Padahal aku hanya memakai kemeja, sepatu, dan tas ransel. Tapi aku tidak peduli. Selama tidak menganggu orang lain dan tidak melanggar norma, aku berhak berbuat apa.

Memakai pakaian seperti apa memang bebas oleh seorang wartawan. Tapi sebagai orang yang berada di pekerjaan ini, seharusnya aku menjaga nama baik profesiku. Karena kalau bukan diri sendiri yang menjaga nama baik seorang wartawan, tidak mungkin orang lain akan melindunginya.
Foto untuk kartu pers. Rambut ketika bulan Juni lalu. Sekarang sudah lebih ngeri rambutnya.












Previous
Next Post »
0 Komentar