Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 16)

Bacaan sebelumnya klik di sini


“Yang lain gimana? Udah pada setuju?” tanyaku memastikan. Rapsan memang selalu suka mengabarkan hal yang tidak diduga-duga tanpa konfirmasi terlebih dahulu.

“Belum. Tapi pasti bakal mau kok,” katanya yakin. Sifat optimis Rapsan selalu aku kagumi sejak pertama kali kenal. Dia orang yang pantang menyerah. Aku kenal dengan dia sejak tahun pertama masuk sekolah. Kami selalu bersama sejak itu hingga sekarang.

Namanya Rapsan Sufarman, tapi dia selalu mengenalkan diri kepada orang yang baru dikenal dengan nama “Rafsan.” Setelah aku mencari silsilahnya, kedua orang tuanya berasal dari suku Sunda. Memang seharusnya namanya menggunakan “f” tapi karena kebanyakan dari orang itu sulit membedakan huruf “f” dan “p,” maka di akte tertulis “Rapsan Sufarman.”

Meski berbeda bangku dengannya, kami cukup dekat. Rapsan duduk di pojok belakang sebelah kanan belakang, sedangkan aku dua baris dan satu kolom di depannya. Dari tempat dudukku sampai ke belakang tempatnya diisi oleh para lelaki. Di depanku ada dua orang wanita. Kebetulan dia orang yang Rapsan suka. Namanya Citra.

Para lelaki suka menggoda Citra dengan Rapsan. Rapsan selalu salah tingkah setiap kali kami goda. Sayang, Citra tidak memiliki respon apapun padanya. Rapsan pun tidak berani untuk mendekati Citra. Dia hanya berani membicarakan Citra dari belakang. Katanya mau menjadikan Citra sebagai pasangan hidupnya hingga akhir hayat. Tapi omongan itu hanyalah lontaran tanpa makna.

Seperti itulah tingkah laku para lelaki di lingkungan kami. Tidak ada yang berani berbincang langsung dengan wanita yang disuka. Kami menyebutnya pecundang. Bahkan kami pernah bertaruh kalau Rapsan tidak bisa menatap mata Citra lebih dari 10 detik.

“Gua bakal telanjang dada kalau lu berani,” kata Danu.

“Gua ikutan temenin Danu deh. Plus lari di lapangan,” aku nimbrung menggembori. Sebenarnya agak ragu juga mengatakan itu. tapi aku yakin Rapsan tidak akan berani melakukannya.

“Ah ngga ada untungnya buat gua,” Rapsan menimpali. “Kalau emang gua berani, gua nge-band gratis selama setahun ya!” tambahnya.

Aku dan Danu terdiam. Lumayan juga kalau dia berhasil. Suasana hening seketika. Tiba-tiba ada suara muncul.

“Jadi. Gua yang tanggung nanti,” Michael terbawa suasana. Kondisi semakin ramai. Kelas menjadi ricuh di sisi kanan. Kami semua teriak.

“Ayo! Ayo! Ayo!”  “Jangan jadi pecundang. Gua udah korbankan harga diri gua,” Danu menimpali. “Gua juga,” aku ikut-ikutan.

“Gua relain duit buat bayarin lu,” Michael tak mau kalah.

Rapsan akhirnya berdiri dari singgasananya. Dia menggerak-gerakkan badan agar sedikit agar lebih rileks. Matanya melirik kami semua hingga tertuju pada satu target. Butuh beberapa detik bagi Rapsan untuk fokus dan berpaling pandangan dari Citra. Akhirnya dia sadar kalau teman-temannya sudah tidak sabar menunggu.

Rapsan pun bergerak dari posisinya. Suasana makin gaduh. Aku melihat air muka Danu dan Michael berubah. Sepertinya mereka takut jika Rapsan benar-benar bisa menyelesaikan taruhan ini. Aku pun demikian. Aku malah berjanji bakal lari keliling lapangan telanjang dada.

Rapsan makin mendekat ke arah Citra. Aku berdiam tidak ikut keramaian. Dada mulai berdegup cepat. Aku berharap pada Tuhan agar keberanian Rapsan benar-benar hilang. Mata kami bergerak mengikuti arah Rapsan. Sepertinya rasa takut Rapsan benar-benar telah hilang.

Bersambung..........

Previous
Next Post »
0 Komentar