Teman Wanita yang Paling Ingin Kutemui



“Siapa cinta pertama lu?” itu pertanyaan yang selalu aku bingung untuk dijawab. Memang apa pentingnya cinta pertama? Sampai sekarang aku masih belum bisa membedakan mana cinta, mana suka. Kalau ada yang bilang cinta itu bertahan lama, berarti semua orang yang kusuka adalah yang kucinta.

Dari beberapa teman yang kutanya, aku mendapat kesimpulan bahwa pacar pertama bukan berarti cinta pertama. Lepas dari itu, toh dia sekarang bukan sama kita lagi. Buatku masa lalu adalah sesuatu yang sudah berlalu. Tidak perlu dikenang berlebihan.

Meski begitu, terkadang memang ada masanya aku ingin mengenang masa lalu. Bukan masa lalu yang bahagia atau sedih, tapi sekadar ingin tahu bagaimana kabar orang-orang yang dulu pernah aku kenal? Seperti apa sekarang dia? Pasti sudah berubah.

Jika ada pertanyaan siapa teman wanitamu yang ingin sekali ditemui, aku akan menjawab Lala. Aku benar-benar sangat ingin bertemu dengannya. Di kala sendiri, pikiran melayang entah ke mana, terlintas bayang-bayang dia. Orang yang bahkan aku tidak tahu nama lengkapnya.

Aku hanya memanggil dia Lala. Tapi beberapa orang lain panggil dia Putri. Sampai sekarang itu yang menjadi pertanyaanku kenapa sebutan dia berbeda-beda. Siapa sebenarnya nama lengkapnya? Dia anak ke berapa? Punya adik atau kakak? Apa cita-citanya? Masih banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan padanya.

Pertama kali kenal dengannya itu saat aku berusia 10 tahun atau kelas lima SD tepatnya. Kami satu sekolah, akan tetapi dia tiga tahun lebih muda dariku. Aku bisa kenal dengannya karena kami satu mobil jemputan. Entah kenapa pula bisa dekat dengannya hingga sekarang aku lupa

Yang aku ingat saat ini adalah aku pernah memberikan suatu barang padanya. Memang tidak terlalu berharga dan mahal. Barang itu dibawakan ayahku pulang dari kantor. Hanya sebuah gantungan kunci. Gantungan kunci yang kurasa yang hanya bisa dikenakan oleh seorang wanita. Tapi aku menggantungkannya di tas sebagai tanda bahwa ini adalah gantungan pasangan.

Gantungan ini sebenarnya ada dua warna. Warna putih dan satunya ungu. Sebelum menunjukkan padanya aku ragu. Apakah akan kuberikan pilihan padanya atau langsung kasih salah satu warna. Karena jujur aku kurang suka dengan warna ungu. Ungu dengan sedikit manik-manik. Hati kecilku menjawab kalau pilihan pertama yang akan dipilih.

Kalau langsung memberi tanpa ada pilihan seakan-akan aku adalah pria yang otoriter. Sebenarnya sih ngga nyambung, tapi bagiku ini berkaitan. Seorang yang ototriter adalah mereka yang langsung memberikan sesuatu, tugas atau apapun tanpa ada pilihan bahkan kebebasan pada orang yang dituju.

Akhirnya aku bertemu dia. Saat pulang sekolah, aku mengajak dia ke suatu tempat yang kiranya bisa berbicara berdua tanpa ada yang mengganggu. Di situ ada sebuah pohon yang mirip pinus tapi tidak tumbuh dengan tinggi. Aku dan teman yang lain sering bermain di situ. Kami suka manjat dan gelantungan di sana.

Di sana aku menunjukkan pilihan itu. “Aku punya gantungan. Kamu mau yang mana?” tanyaku padanya. Sebenarnya aku berharap dia mengambil warna ungu itu. Ternyata salah. Dia malah mengambil apa yang aku inginkan juga. Tapi tak apa. Aku tetap memakai itu.

Di hari berbeda saat pulang sekolah, seperti biasa kami yang ikut jemputan menunggu teman lain. Kebetulan masih ada belum keluar kelas. Sambil menunggu, kami jajan bersama lalu membeli beberapa permen. Di mobil, teman Lala meminta permen padanya. Aku lupa apakah waktu itu dia menolak atau kehabisan permen.

Yang aku ingat adalah dengan sok seperti pahlawan, aku memberikan permen milikku pada teman Lala. Agar bisa terus ketemu dengan dia, aku bahkan punya pandangan lebih jauh. Karena ingin selalu bersama dengannya, aku pilih sekolah swasta karena jam sekolahnya sama dengan Lala. Karena kalau ambil sekolah negeri, kemungkinan untuk selalu bertemu dengannya kecil.

Suatu hari kuberanikan diri untuk mencium pipinya. Itu kulakukan pada saat di perjalanan pulang, sebelum sampai pada tempatku turun. Aku mendekatinya dan kutempel bibir mengenai pipi kirinya. Pada saat itu dia diam tanpa perlawanan. Sampai sekarang aku tak menyangka aku melakukan tindakan bodoh seperti itu. Tapi sudahlah, bukan bibir ini yang kucium.

Hingga pada hari dimana kedekatanku dengannya melonggar. Aku juga tidak tahu apa sebabnya. Mungkin ketika itu dia diledek sama teman seangkatanku. Aku tidak tahu dia sedang dijahili karena sedang di luar. Saat masuk ke dalam mobil, temanku ini juga tidak menghilangkan kesempatan. Dia pun ikut meledekku. Dia juga mencibir atas tindakanku mencium Lala. Sepertinya beberapa orang melihat tindakan bodohku itu.

Beberapa tahun berlalu. Hingga suatu hari, saat SMA kelas dua tiba-tiba aku teringat padanya. Sampai sekarang keinginan itu masih tetap ada. Aku juga mempertanyakan apakah hadiahku itu masih ada. Tapi kurasa bukan sudah tidak ada karena milikku pun sudah hilang entah ke mana.

Hal yang paling sulit untuk bertemu dengannya adalah aku sudah lupa dengan rupanya. Jadi bagaimana bisa bertemu dengannya? Aku masih percaya Tuhan punya cara tak terduga pada umatnya. Kalau memang jodoh, kami pasti bertemu.
Previous
Next Post »
0 Komentar