Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 17)

Bacaan sebelumnya klik di sini


Rapsan semakin mendekati Citra. Rapsan berjalan, terus berjalan, jalan, jalan, hingga akhirnya dia melewati Citra. Ternyata Rapsan hanya berlagak sok keren dari awal. Pada akhirnya memang dia tidak berani. Dia terus berjalan hingga keluar kelas. Cukup lama dia di luar.


Aku melihat Citra. Dia sibuk berbincang dengan teman sebangkunya. Sepertinya sejak awal mereka tidak mempedulikan kegaduhan kami dari awal. Sebenarnya aku bertanya-tanya apakah Citra juga memiliki rasa pada Rapsan. Tapi kurasa dia biasa saja.


Aku sering meledeknya di beberapa kesempatan saat kami berbincang bersama. Dia selalu mengalihkan pembicaraan atau bahkan tidak menjawab. Tidak ada jawaban pasti darinya. Tapi aku tidak patah arang. Karena ini masalah perasaan, butuh perjuangan yang keras. Setidaknya aku selalu mendokrin dalam pikirannya bahwa Rapsan menyukainya. Siapa tahu saja ada mukjizat sehingga dia juga memiliki perasaan yang sama. Sekarang semuanya ada pada Rapsan apakah dia bisa meneruskannya atau tidak.


Tapi hingga saat ini dia masih belum bisa meluluhkan hati Citra. Sudah tiga tahun berlalu tidak ada perubahan yang berarti. Yang berubah Rapsan sudah berani tatap mata Citra. Tapi taruhan kami sudah berakhir. Kini, Rapsan pun sudah memiliki pacar.


Kalau dibilang, dari semua teman baikku, hanya aku saja yang belum memiliki kekasih. Entah tidak berminat atau tidak suka lawan jenis, bagiku tidak ada hal yang “wah” dari memiliki pacar. Apakah memang tidak berminat untuk mencari, aku hanya masih berharap pada Vini. Tapi teman-temanku tidak peduli. Mereka terus menganggap aku homo, tidak suka pada wanita.


Hanya Rapsan teman kelas yang mengetahui wanita kusuka. Rapsan yang merupakan orang pindahan dan belum mengenal siapapun di Tangerang, pernah kuperlihatkan Vini. Aku yang sama-sama pulang sekolah mencari jam yang tepat agar bisa bertemu Vini di tengah jalan. Aku bergegas saat jamnya sudah pas.


Menjelang sampai di depan sekolahnya, aku jalan pelan. Sekolahnya salah satu titik kemacetan di Ciledug karena angkutan umum suka berhenti menunggu penumpang. Mataku bergerak cepat memindai wanita yang kukira adalah Vini. Ternyata dia ada di depanku. Kira-kira 200 meter.


“Itu di antara cewe yang jalan bertiga, Vini yang pakai bando warna biru,” kataku pada Rapsan setelah yakin kalau wanita di depan itu adalah dia. Aku bilang sama Rapsan tidak akan berhenti untuk memperkenalkannya. Aku memang dari dulu tidak berani mengajak dia ngobrol. Aku pun sebenarnya sama pecundangnya dengan Rapsan karena tidak berani menatap wanita yang disuka.


“Berhenti dong! Kenalin gua sama dia,” desaknya.


“Gua kagak berani. Yang penting lu tau Vini itu kaya gimana.”


“Fak. Lu ngeledek gua sama Citra, tapi sendirinya ngga berani sama cewe.”


“Biarin. Teman-teman ngga ada yang tahu ini kalau gua suka sama Vini. Cuma lu yang tahu.” Saat itu Rapsan belum kenal dengan Dimas.


“Aduuh!!! Tuhan kenapa engkau mengumpulkanku dengan pria-pria pecundang di sekolah yang baru. Gimana mau jadi playboy nih kalau sama cewe saja aku tidak berani.”


“Bacot lu!”


Akhirnya sampai pada aku satu jajar dengan Vini. Keseimbanganku goyah. Ternyata Rapsan membalikkan badannya agar bisa melihat Vini dengan jelas.


“Lu ngapain dah? Lagi macet ini. Jangan gerak yang macem-macem. Nanti gua nyerempet angkot. Lu mau kejadian beberapa hari yang lalu kejadian lagi?”


“Ampuunn.... Gua cuma penasaran saja. Dia manis juga. Gua pindah berpaling lah dari Citra ke Vini.”


Bersambung......
Previous
Next Post »
0 Komentar