Ikut Diskusi Buka Hati




Pertemuan pengurus Remaja Masjid At-Taqwa (REMATA) mulai lebih awal. Acara yang seharusnya dibuka jam 22.00 sudah dimulai setengah jam lebih cepat. Pertimbangan lebih awal karena sudah larut. Yang datang juga sudah mewakili kuorum meski jika ditanya berapa jumlah panitia aktif pasti tidak ada yang tahu.

Rapat perdana di awal tahun ini merupakan pembahasan lanjutan setelah ketua terpilih baru dipilih. Bisa dikatakan perkumpulan ini sangat telat karena ketua baru sudah ada di pertengahan bulan Desember lalu. Aku sendiri memaklumi karena kesibukan masing-masing. Tapi seharusnya ketua baru yang menentukan jadwal, bukan ketua sebelumnya.

Ketua ini memang belum matang untuk menjadi pemimpin jadi masih harus didampingi. Semoga saja pendampingannya tidak lama sehingga organisasi ini bisa berjalan sendiri tanpa harus didorong yang lebih tua. Regenerasi pemimpin itu penting. Seperti itulah kata para politikus yang partainya sedang mengalami pergantian beberapa bulan ini.

Aku sendiri sebenarnya sudah tidak ingin lebih jauh masuk ke dalam kepengurusan. Dua tahun ini aku berpikir harus ada yang melanjutkan kegiatan ini. Karena kalau terus berharap sama satu orang dan orang itu tidak ada, pasti mati REMATA. Itulah sebabnya aku mulai melepas diri dari rapat-rapat. Tapi masih ikut bergabung jika diperlukan. Hanya sekadar jadi peran pembantu.

Rapat selesai satu jam. Pertemuan hari itu hanya membentuk struktur organisasi. Seperti biasa ketua lama mendominasi dibandingkan yang lain. Memang kalau diam saja pasti kaku. Ketua baru masih belum bisa mengambil peran.

Suasana diskusi santai
Setelah rapat terjadi diskusi “ringan.” Mau ringan atau berat, diskusi tetaplah menarik bagiku. Apalagi kalau ada yang pro dan kontra. Salah satu senior membuka wacana tentang hukum yang dipakai orang indonesia memiliki dua pandangan.

Ini sebenarnya pengalaman pribadinya. Aku tidak tahu inti masalahnya. Dia mengatakan kalau istrinya yang bisa dikatakan sangat menjunjung tinggi nilai islam, tapi di saat menghadapi warisan memakai pengadilan negara bukan pengadilan islam.

Si suami padahal sudah menyarankan agar tetap memakai pengadilan agama walaupun kalau memakai itu hak waris jadi berkurang. Tapi karena nafsu lebih besar, sang istri tetap memakai hukum negara karena lebih menguntungkan.

Diskusi jadi melebar. Salah satu temanku yang anak pesantren mengatakan, “Kita ini negara plural, bukan negara Islam. Jadi seharusnya jangan apa-apa membawa agama.” temanku ini memang tidak seperti anak pesantren lainnya yang selalu ingin menerapkan hukum Islam.

Memang tidak semuanya ingin seperti itu. Semua tergantung pergaulan. Jika bermain dan punya guru yang sedikit berwawasan terbuka, Al-quran dan hadis pasti disesuaikan dengan keadaan sekarang. Kalau yang sedikit kolot, mereka saklek pada arti yang benar-benar dikatakan oleh dua pedoman itu.

Misalnya saja menikah beda agama. Ada ustad yang bilang itu boleh tanpa sarat, boleh dengan sarat, dan tidak boleh. Mereka semua punya dasar sendiri. Jika ini dibahas, pasti panjang. Tulisan ini habis hanya untuk menjelaskan alasannya. Belum lagi kalau yang berbeda pendapat. Intinya adalah ketiga yang kujelaskan di atas.

Kembali ke temanku yang anak pesantren ini. Dia menganalogikan dengan ganja dan minuman keras. Ganja itu tidak memabukkan seperti minuman keras dan tidak berbahaya. Kenapa harus dilarang? “Bukannya di aceh ganja itu dimasak? Jadi kenapa ciptaan Tuhan ini dilarang di Indonesia?” katanya meninggi. Suaranya memang nyaring. “Apa ada orang membunuh karena memakai ganja? Teman saya di kampus malah ketawa-ketawa sendiri setelah menggunakan ganja. Dia juga ngga rusuh kok,” tambahnya meyakinkan.

Senior membalas. Jadilah adu pikiran mereka berdua. Teman-teman yang lain hanya mendengar. Aku yang tahu kasus pernah ada geng motor yang menggunakan ganja sebelum merampok ingin sedikit membantah. Tapi aku cari data lebih dulu mengenai ganja.

Ternyata tulisan tentang ganja ketemu dan ini bisa mematahkan ucapan temanku tadi. Di saat keadaan lebih rumit dan tidak ada jawaban, aku memotong pembicaraan. “Sebenarnya kalau mau diskusi seperti ini kita harus punya data. Nih gua kasih data yang bisa jadi penambahan buat kita semua.”

Aku bilang pada teman-teman kalau beberapa bulan lalu di Kabupaten Bekasi ada geng motor yang punya ritual menggunakan ganja agar lebih beringas sebelum beraksi. Ini mematahkan perkataanya temanku itu yang bilang “tidak ada yang merugikan orang lain gara-gara ganja.”

“Nih ada blog dari orang aceh. Di sini ditulis kalau ada orang yang bilang ganja itu buat sayur di Aceh itu bohong besar. Masakan apa yang ada bahan ganjanya? Yang bilang ganja itu dimasak kan kata orang lain. Terus orang lain itu dari orang lain lagi. Itu cuma omongan dari mulut ke mulut tanpa bukti.” jelasku. Semua teman yang lain fokus menatapku.

Penulis itu juga tidak hanya berdasarkan pengamatan sendiri. Dia suka menggunakan waktu luang ketika pergi ke daerah terpencil lalu menanyakan sama orang asli sana mengenai ganja yang dimasak. Ternyata memang tidak ada masakan yang memakai ganja di Aceh.

Aku memang suka diskusi tentang Islam karena banyak sekali ilmu yang belum aku pahami. Tapi di setiap diskusi aku hanya bisa diam saja karena aku tidak mau sok tahu membahas Islam. Apalagi hapalanku tentang Al-quran dan hadis sangat minim. Aku hanya bisa bertanya dan menimpal kalau memang disangkut paut dengan hukum negara.

Keinginan tahu ini sudah kumulai sejak pertama kali kuliah. Aku bingung kenapa orang suka solat tapi masih melakukan maksiat. Beberapa kali aku tanya teman tapi jawabannya kurang maksimal. Akhirnya jawaban itu terjawab saat kutemui buku di perpustakaan. “Buat Apa Sholat?! Kecuali Jika Anda Hendak Mendapatkan Kebahagiaan dan Ketenangan Hidup.” 



Diskusi bagiku sangat penting untuk membuka cara pandang. Dengan diskusi kita mengetahui suatu kasus dilihat dari sisi yang berbeda. Dunia ini sangat luas. Rugi sekali kalau hanya duduk diam tidak kemana-mana. Kalau di alam kubur malaikat menanyakan ke mana saja kamu di dunia dan kamu jawab, “Tidak ke mana-mana.” aku sendiri malu untuk menjawabnya.

Di akhir obrolah ringan dengan REMATA, senior bilang, “Kalau masih bisa sesuatu diikuti dengan cara Islam, jangan coba dicari jalan lain karena lebih menguntungkan. Nafsu itu kalau diikuti tidak akan ada puasnya.”
Previous
Next Post »
0 Komentar