Ternyata
aku salah bicara. Tadinya yang hanya ingin membuat Rapsan tenang,
malah merepotkan diriku. Tapi tidak apalah. Memang sejak awal ikut
Rapsan untuk bermusik, saat itu pula ada keinginan untuk bisa bermain
alat musik. “Lu harus ajarin gua ya? Kan ga mungkin tiba-tiba jago
main gitar.”
“Udah
gampang. Lu punya gitar? Beli dulu kalau gitu. Gitar yang biasa saja.
Nggak perlu yang mahal”
Beberapa
hari kemudian aku membeli gitar. Rapsan mengantarku mencari gitar
yang bagus. Setelah itu dia meminjamkan buku musik berisikan
lagu-lagu dan kunci gitarnya. “Lu belajar satu lagu ini dulu. Ini
kunci paling gampang. Cuma dua kunci doang.” lagu yang pertama dia
beritahu adalah lagu Virgiawan Listanto atau yang terkenal dengan
sebutan Iwan Fals dengan judul “Bongkar.”
Dia
juga mengajarkan cara membaca kunci dan mengocok gitar sesuai dengan
nada. Karena aku kurang begitu hapal lagu Iwan Fals, maka aku belajar
lagu lain. Saat itu aku sedang suka lagu Ungu “Laguku.” Lagu ini
memang menggunakan banyak kunci. Tapi aku tetap mencoba memainkannya
dan dalam waktu seminggu, aku sudah bisa memainkan lagu itu.
Sebulan
bermain musik, Rapsan mengajarkanku membaca kunci gitar di setiap
balok yang ada. “Kalau lu bisa baca ini, lu bisa stem (menyetting)
senar gitar. Ini fungsinya saat gitar lu ga enak dimainin, lu bisa
membenarkannya agar ga fals.” pembelajaran ini terkadang terjadi di
sela-sela jam kosong belajar atau bahkan sebelum berangkat sekolah.
Beberapa kali aku harus datang ke rumahnya dan berangkat bersama dia.
Bahkan
kami sampai telat datang ke sekolah karena terlalu semangat belajar.
Suatu hari aku datang sedikit telat di pelajaran fisika. Aku katakan
telat karena memang hanya lewat kurang dari lima menit. Karena telat
itu aku tidak boleh masuk pelajaran dan dianggap tidak hadir. Rapsan
berdebat dengan guru itu.
“Saya
ini cuma telat datang kurang dari lima menit pak.”
“Lalu
kenapa kalau lima menit? Itu tetap terlambat namanya.”
“Memang
ngga ada konsekuensi walaupun telat sebentar?” aku membantu Rapsan.
Selama sekolah aku belum pernah absen soalnya. Ketidakhadiranku
paling karena sakit saja. Oleh karena itu, absen karena keterangan
yang tidak jelas apalagi telat sebentar membuatku sedikit was-was.
“Kamu
pernah nonton MotoGP? Perbedaan di sana itu hanya sepersekian detik
saja. Walaupun kalah sekian detik, mereka tetap mengakui kekalahan.”
“Kita
kan sedang tidak balapan pak,” sanggah Rapsan. “Guru lain juga
biasa saja kalau telat. Bahkan sering yang tidak hadir.”
“Itu
kan guru lain. Beda sama bapak.”
“Yasudah
kalau misalnya nanti bapak telat, bagaimana? Saya tidak mau kami para
murid merasa terdiskriminasi. Harus ada keadilan di sini,” kataku.
“Kamu
boleh melakukan apapun ke Bapak.”
“Berarti
kalau Bapak telat datang ataupun tidak hadir, Bapak harus memberikan
kami poin. Poin itu untuk menambal jika nilai kami buruk. Gimana?”
Rapsan bertaruh.
“Baik.
Kalau kamu yang telat, berarti ada pengurangan poin ya. Dan ini
berlaku untuk semua siswa.”
“Ini
perjanjian antara kita bertiga Pak. Kalau mau melibatkan semuanya,
Bapak harus beri tahu yang lain juga.” Kenapa aku jadi ikut
bertaruh seperti ini? Seenaknya saja Rapsan membawaku dalam
perjudian. Guru fisika itu langsung masuk. Kami disuruh menunggu di
luar. Temanku yang lain juga setuju dengan perjanjian itu. Dari situ,
kami tidak pernah terlambat. Si guru pun demikian. Taruhan Rapsan
memberikan nilai positif untuk kami meskipun harus melakukan
perdebatan.
Bukan
hanya itu, dari belajar gitar Aku bisa mengenal keluarga Rapsan.
Ibunya sangat baik padaku. Tapi Rapsan seperti kurang mendapat
perlakuan bahagia dari orang tuanya. Beberapa kali dia sering cerita
padaku. Dia diberikan kebebasan dalam melakukan apapun, termaksud
merokok di kamar.
Tidak
pulang dan menginap di rumah teman tanpa ijin juga tak akan dicari.
Dia mengibaratkan kehidupannya seperti apa yang terjadi di Amerika.
Beda denganku. Pulang agak telat saja sudah membuat ibuku panik. Aku
hidup dengan keluarga yang melakukan sesuatu harus dengan ijin. Kedua
orang tuaku juga sangat memperhatikan betul kegiatan kedua anaknya
setiap hari.
Bukan
hanya aku yang mengenal orang tua Rapsan. Dia juga demikian, akrab
dengan ibuku. Itu karena kami terkadang bermain gitar di rumahku dan
juga suka belajar bersama jika memang ada tugas yang sulit.
Ibuku
bahkan ingin bertemu dengan orang tua Rapsan. Kesempatan itu baru
benar terjadi saat kami selesai di kelas 1. Saat mengambil rapor,
mereka berdua bertemu. Karena ini acara orang tua murid, para siswa
menunggu di luar. Sebelum bergegas kumpul dengan teman-teman, aku
mengintip ke jendela. Ternyata ibuku dan ibu Rapsan sedang mengobrol.
Mereka terlihat seperti sudah mengenal sebelumnya. Terkadang saling
melempat senyum. Beberapa saat kemudian mereka berbincang dengan wali
lainnya.
Aku
langsung menghampiri teman-teman yang lain. Rapsan terlihat semangat
sekali berbincang dengan yang lainnya. “Ada apa? Kaya seru,”
tanyaku. Rapsan berbalik arah menatapku. “Lu lama banget datangnya.
Barusan gua baca mading dan ada pemberitahuan. Nah, sebelum kakak
kelas lulus, sekolah mau ada perpisahan. Di situ bakal ada pentas
seni. Kita bakal mentas di acara itu.”
Bersambung......
0 Komentar