Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 22)



Ternyata aku salah bicara. Tadinya yang hanya ingin membuat Rapsan tenang, malah merepotkan diriku. Tapi tidak apalah. Memang sejak awal ikut Rapsan untuk bermusik, saat itu pula ada keinginan untuk bisa bermain alat musik. “Lu harus ajarin gua ya? Kan ga mungkin tiba-tiba jago main gitar.”



“Udah gampang. Lu punya gitar? Beli dulu kalau gitu. Gitar yang biasa saja. Nggak perlu yang mahal”



Beberapa hari kemudian aku membeli gitar. Rapsan mengantarku mencari gitar yang bagus. Setelah itu dia meminjamkan buku musik berisikan lagu-lagu dan kunci gitarnya. “Lu belajar satu lagu ini dulu. Ini kunci paling gampang. Cuma dua kunci doang.” lagu yang pertama dia beritahu adalah lagu Virgiawan Listanto atau yang terkenal dengan sebutan Iwan Fals dengan judul “Bongkar.”



Dia juga mengajarkan cara membaca kunci dan mengocok gitar sesuai dengan nada. Karena aku kurang begitu hapal lagu Iwan Fals, maka aku belajar lagu lain. Saat itu aku sedang suka lagu Ungu “Laguku.” Lagu ini memang menggunakan banyak kunci. Tapi aku tetap mencoba memainkannya dan dalam waktu seminggu, aku sudah bisa memainkan lagu itu.



Sebulan bermain musik, Rapsan mengajarkanku membaca kunci gitar di setiap balok yang ada. “Kalau lu bisa baca ini, lu bisa stem (menyetting) senar gitar. Ini fungsinya saat gitar lu ga enak dimainin, lu bisa membenarkannya agar ga fals.” pembelajaran ini terkadang terjadi di sela-sela jam kosong belajar atau bahkan sebelum berangkat sekolah. Beberapa kali aku harus datang ke rumahnya dan berangkat bersama dia.



Bahkan kami sampai telat datang ke sekolah karena terlalu semangat belajar. Suatu hari aku datang sedikit telat di pelajaran fisika. Aku katakan telat karena memang hanya lewat kurang dari lima menit. Karena telat itu aku tidak boleh masuk pelajaran dan dianggap tidak hadir. Rapsan berdebat dengan guru itu.



“Saya ini cuma telat datang kurang dari lima menit pak.”



“Lalu kenapa kalau lima menit? Itu tetap terlambat namanya.”



“Memang ngga ada konsekuensi walaupun telat sebentar?” aku membantu Rapsan. Selama sekolah aku belum pernah absen soalnya. Ketidakhadiranku paling karena sakit saja. Oleh karena itu, absen karena keterangan yang tidak jelas apalagi telat sebentar membuatku sedikit was-was.



“Kamu pernah nonton MotoGP? Perbedaan di sana itu hanya sepersekian detik saja. Walaupun kalah sekian detik, mereka tetap mengakui kekalahan.”



“Kita kan sedang tidak balapan pak,” sanggah Rapsan. “Guru lain juga biasa saja kalau telat. Bahkan sering yang tidak hadir.”



“Itu kan guru lain. Beda sama bapak.”



“Yasudah kalau misalnya nanti bapak telat, bagaimana? Saya tidak mau kami para murid merasa terdiskriminasi. Harus ada keadilan di sini,” kataku.



“Kamu boleh melakukan apapun ke Bapak.”



“Berarti kalau Bapak telat datang ataupun tidak hadir, Bapak harus memberikan kami poin. Poin itu untuk menambal jika nilai kami buruk. Gimana?” Rapsan bertaruh.



“Baik. Kalau kamu yang telat, berarti ada pengurangan poin ya. Dan ini berlaku untuk semua siswa.”



“Ini perjanjian antara kita bertiga Pak. Kalau mau melibatkan semuanya, Bapak harus beri tahu yang lain juga.” Kenapa aku jadi ikut bertaruh seperti ini? Seenaknya saja Rapsan membawaku dalam perjudian. Guru fisika itu langsung masuk. Kami disuruh menunggu di luar. Temanku yang lain juga setuju dengan perjanjian itu. Dari situ, kami tidak pernah terlambat. Si guru pun demikian. Taruhan Rapsan memberikan nilai positif untuk kami meskipun harus melakukan perdebatan.



Bukan hanya itu, dari belajar gitar Aku bisa mengenal keluarga Rapsan. Ibunya sangat baik padaku. Tapi Rapsan seperti kurang mendapat perlakuan bahagia dari orang tuanya. Beberapa kali dia sering cerita padaku. Dia diberikan kebebasan dalam melakukan apapun, termaksud merokok di kamar.



Tidak pulang dan menginap di rumah teman tanpa ijin juga tak akan dicari. Dia mengibaratkan kehidupannya seperti apa yang terjadi di Amerika. Beda denganku. Pulang agak telat saja sudah membuat ibuku panik. Aku hidup dengan keluarga yang melakukan sesuatu harus dengan ijin. Kedua orang tuaku juga sangat memperhatikan betul kegiatan kedua anaknya setiap hari.



Bukan hanya aku yang mengenal orang tua Rapsan. Dia juga demikian, akrab dengan ibuku. Itu karena kami terkadang bermain gitar di rumahku dan juga suka belajar bersama jika memang ada tugas yang sulit.



Ibuku bahkan ingin bertemu dengan orang tua Rapsan. Kesempatan itu baru benar terjadi saat kami selesai di kelas 1. Saat mengambil rapor, mereka berdua bertemu. Karena ini acara orang tua murid, para siswa menunggu di luar. Sebelum bergegas kumpul dengan teman-teman, aku mengintip ke jendela. Ternyata ibuku dan ibu Rapsan sedang mengobrol. Mereka terlihat seperti sudah mengenal sebelumnya. Terkadang saling melempat senyum. Beberapa saat kemudian mereka berbincang dengan wali lainnya.



Aku langsung menghampiri teman-teman yang lain. Rapsan terlihat semangat sekali berbincang dengan yang lainnya. “Ada apa? Kaya seru,” tanyaku. Rapsan berbalik arah menatapku. “Lu lama banget datangnya. Barusan gua baca mading dan ada pemberitahuan. Nah, sebelum kakak kelas lulus, sekolah mau ada perpisahan. Di situ bakal ada pentas seni. Kita bakal mentas di acara itu.”



Bersambung......

Previous
Next Post »
0 Komentar