Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 21)

Bacaan sebelumnya klik di sini


“Kenapa memangnya lu ga mau ngeband lagi?” Tanya Rafsan.

“Gua mau fokus belajar saja karena mau kejar target kuliah negeri.” Wajah Michael tertunduk. sepertinya dia benar-benar kepikiran masalah ini. Sudah seminggu tingkah lakunya aneh. Wajah Rapsan yang paling merah di antara kami. sepertinya dia juga sangat terpukul dengan keputusan Michael.

Danu yang di sampingnya menenagkan agar tidak terjadi  sesuatu yang tidak diinginkan. “Gua ga tahu apakah itu alasan utama lu dan gua nggak masalah lu ga ikut ngeband lagi. Tapi gua nggak mau gara-gara ini lu jarang kumpul atau main bareng kita,” Danu menengahi. Di saat seperti ini omongan tuanya itu bisa diandalkan.

“Yaudah kita cabut saja. Kita nangkring di luar sekolah. Ga bosen apa di sini mulu?” aku memecah keheningan.

Kami semua bergegas ke warung depan sekolah. Teman-teman dari kelas lain sudah ramai dan ada pula yang berdatangan. Tempat ini jadi lokasi favorit kami. semua siswa yang pulang menggunakan kendaraan umum selalu lewat sini. Banyak wanita incaran melalui jalan ini pula. Mereka yang lewat selalu jadi perhatian.

Hal yang membuatku selalu tertawa sendiri adalah jika ada yang lewat, kepala mereka bergerak mengikuti si wanita idaman itu. yang kulihat kalau ada orang yang menarik perhatian adalah kondisi sekitar. Semua serentak melakukan itu. suasana yang tadinya ramai, seketika langsung hening.

Beberapa detik kemudian suara dari berbagai penjuru menyerang. Ada yang bersiul, memanggil wanita itu, ataupun hal lain yang menarik si wanita. Yang paling konyol dan ditakutkan para wanita jika ada pria yang menghampiri dan mengajak ngobrol tiba-tiba. Beberapa wanita ada yang histeris lalu lari, ada pula yang berjalan santai sambil tersenyum. Tipe ini menurutku yang suka digoda atau memang suka sama pria yang menggoda.

Rapsan tidak secerah biasa saat wanita lewat. Dia hanya menghisap sebatang rokok dan diam saja. Pandangannya tanpa arah. Aku mengerti perasaannya. Padahal nama band baru saja terbentuk dan sedang semangat-semangatnya untuk menciptakan lagu, tapi masalah baru muncul. Aku rasa ini adalah cobaan apakah Blink Reborn bisa tetap ada dengan rintangan yang masih awal ini.

Langit pun mulai menguning pekat. Sebentar lagi akan gelap. Kalau tidak segera pulang aku pasti dicari sama orang rumah. Aku mengajak Rapsan pulang baren. Di perjalanan harus mengajak dia mengobrol.

“Lu diam saja daritadi. Kenapa? Masih mikirin yang tadi?”

“Kagak. Gua ngerasa aneh. Kaya pernah ngalamin ini.”

“Lu itu kalau ada masalah ketahuan. Sebelum Michael bilang nggak mau ngeband lagi, lu masih biasa. Setelah itu mulai diam. Lu inget waktu pindah ke Tangerang karena harus ninggalin teman-teman di sana terutama kelompok musik?”

“Iya. Padahal gua berharap banget sama ini. Tapi kenapa secepat ini. Nama band kita kan baru dibuat.”

“Yasudah nggak usah dipikirin. Memangnya kenapa kalau kita bermusik Cuma berempat? Toh Blink 182 itu bertiga. Jangan lupa, Travis itu bisa dibilang pengganti drummer sebelumnya” kataku meyakinkan.

“Blink bisa bagus, dan tidak seperti dimainkan tiga orang kan karena efek juga. Sedangkan kita di Indonesia tidak punya alat seperti itu. kalaupun ada pasti mahal.”

“Ga usah beralasan tentang teknologi. Kalau band kita Cuma mengandalkan itu, apa bisa jadi profesional? Yang penting keahlian kita itu sebanding dengan mereka.”

“Memangnya suara lu bagus? Apa yang lu bisa selain bernyanyi?”

“hhhmm.... Nggak ada. Suara gua juga ga bagus banget.”

“Nah itu lu sadar.” Omongan Rapsan makin pesimis. Di saat seperti ini sebenarnya aku membutuhkan Danu. Omongannya bisa diandalakan di saat seperti ini.

“Kita masih baru. Dan gua baru belajar. kalau memang rajin, pasti gua bisa jago nyanyi ataupun bermusik.”

“Oke. Berarti lu harus belajar main gitar juga biar ada yang temanin juga saat bermelodi.” Aku terdiam mendengar Rapsan seperti itu.

Bersambung....
Previous
Next Post »
0 Komentar