Menyesal Dulu Kerjaannya Cuma Main PS

Skala pertemuan kami sejak lulus kuliah sudah mulai berkurang. Beberapa sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Bekerja mencari nafkah untuk masa depan. Tidak mungkin akan terus berharap uang dari orang tua menghidupi sehari-hari atau sekadar menyeruput kopi sambil menghisap sebatang rokok.

Di antara kami berempat, hanya Ilham yang belum lulus kuliah. Jangankan garap skripsi, judul pun belum ada dalam pikirannya. Padahal tahun depan merupakan batas akhir kuliah. Jika lewat, sudah tak ada maaf dari pihak univeritas. Meski begitu, pekerjaannya bisa dibilang yang paling enak di antara kami berempat.

Aku, Hilman, dan Ali yang sudah meninggalkan dunia kampus memutuskan untuk menjadi pencari berita sesuai dengan jurusan yang kami ambil ketika kuliah. Bedanya, aku menjadi buruh di majalah elektronik, Hilman dan Ali satu kantor di media yang bernafaskan Islam. Sedangkan Ilham, aku menyebutnya sebagai polisi laut.

Intensitas pertemuan menjadi sangat jarang ketika kami kecuali Ilham bekerja dan mulai ada yang dikirim ke luar kota. Kalau aku? Sepertinya tidak akan pernah dikirim ke luar kota sudah banyak kontributor di daerah. Jadi aku hanya “jalan-jalan” keliling Jakarta, Tangerang, dan Bekasi. Pertama kali yang dikirim adalah Ali ke daerah Tasikmalaya. Di sana dia menghabiskan waktu kurang dari enam bulan setelah dua bulan bekerja. Bulan november Ali kembali ke Jakarta. Tidak ada satupun dari kami yang kurang saat kumpul.

Kebersamaan itu hanya sebentar saja. Aku dapat kabar kalau Ilham sudah mendapat pekerjaan. Sebenarnya dia bekerja tidak jauh, di Jakarta Utara. Akan tetapi pekerjaan itu membuat dia lupa dengan kami. Aku bahkan sempat menyindirnya di media sosial karena susah sekali dihubungi. Hanya dia yang susah untuk diajak kumpul.

Kami benar-benar sulit bertemu karena Hilman yang memiliki kos strategis digeser ke daerah. Ini membuat kami tidak punya tempat kumpul. Ali sebenarnya juga ngekos, tapi kurang nyaman untuk ijadikan tempat kumpul. Dari situlah aku yang biasanya seminggu sekali mampir ke kosan bahkan hingga menginap, kini tidak pernah.

Sebulan tidak bertemu rasanya rindu juga. Aku bahkan tidak sempat menanyakan kabar kepada mereka walaupun lewat pesan instan. Sehari kemudian Hilman menanyakan kabar duluan. Ternyata dia merasakan hal yang sama denganku. Minggu lalu dia mengajak untuk kumpul bareng untuk temu kangen.

Terjadilah pembicaran di pesan grup. Hilman menyakan akan kumpul di mana. “Opus aja,” jawab Ali.  Opus itu sebutan untuk kosan Hilman. Itu sebenarnya nama sebuah kafe di salah satu mall di jakarta. Kalau mau tau lebih dalam tentang opud, cari saja di internet. “Bosen opus mulu,” balas Hilman. Tiba-tiba Ilham yang sedari tadi diam saja, nimbrung. “Ke PIM (Pondok Indah Mall).”

Aku tahu itu bukan jawaban serius. Aku jawab juga dengan bercanda. “Bosen ah. Ke Sensi (Senayan Citu) aja.” Seolah-olah ini jadi pembicaraan sosialita. “Ogah! Di sana parkirnya sepuluh rebu.” Timpal Ilham. “Ah lu pada banyak gaya. Yaudah di kosan gua aja. Nanti klo udah pada kumpul, kita omongin lagi,” Hilman sewot.

Jam 10 malam kita  kumpul semua. Terjadilah perbincangan tanpa topik. Semuanya kita bahas. Tentang liputan, kerjaan, apa yang sudah dilakukan selama ini. Pokoknya segala hal yang tidak penting pun kami bahas. Hingga akhirnya salah satu di antara kami bosan. Aku langsung mewacanakan untuk pijit.

“Ayolah kita mijit. Pegel nih badan.” Tiba-tiba pikiran Hilman dan Ilham beterbangan ke mana-mana. Ilham langsung mengecek teleponnya mencari tempat yang bisa dijadikan pijit dan ditemani wanita yang masih muda. Ternyata jauh dan mahal. Alternatif kedua adalah karokean. Tapi tetap yang ada wanitanya. Kalau nyanyi tidak ada yang menemani iseng juga.

Akhirnya kami berempat mengelilingi Ciputat yang ada tempat seperti itu. Tempat pertama yaitu sebelum Gaplek. Ada dua lokasi di sana, tapi tutup. Ali yang pernah survei tempat karoke menyarankan tempat lain di bawah jembatan layang Ciputat. Tiba di sana, seperti biasa Hilman dan Ilham tidak berani bertanya. Akhirnya Ali yang dianggap sudah berpengalaman maju.

Aku yang membawa motor mengantarkannya hingga depan gedung. Di depan tempat itu banyak sekali preman yang berjaga. Aku memarkirkan motor sedikit jauh dari sana walaupun Ali menyuruhku untuk berhenti di depan. Salah satu preman itu menyambangi kami. Ternyata dia orang yang berjaga. Aku kira cuma orang iseng.

“Ada tempat kosong ga?” tanya Ali. “Sebentar yah,” kata preman itu. Kurang dari lima menit preman yang kelihatannya jauh lebih muda dariku keluar dari dalam. “Wah penuh bang.” Aku melihat tampang Hilman dan Ilham masih penasaran. Sudah kepalang tanggung mencari-cari tempat untuk karokean.

“Udah tanggung. Kita ke puncak saja,” kata Ilham. Ternyata Hilman juga mengiyakan. Aku menyarankan agar ke vila DPR saja karena harganya 150ribu permalam jika punya kartu pers DPR. aku nanti yang pesan tempat karena biasa liputan di sana. Hilman dan Ilham makin semangat ke puncak. Ya sudah kita ke puncaknya sambil bawa cewe. Lalu masing-masing dari kami harus bisa membawa wanita di hari yang ditentukan.

“Nanti gua bawa nyamuk (nama wanita disamarkan),” kataku. Ilham mengangguk. “Wah boleh tuh. Dia kan mantab. Rumahnya juga di bogor lagi. Tinggal jemput saja di sana nanti,” katanya. Aku memupus harapannya. “Tapi BBM gua sudah dihapus sama dia.” “Pinta lagi sama laler (nama disamarkan),” Ilham memaksa. Nyamuk dulu minta dikenalin sama cowo ke Laler. Laler memperkenalkannya padaku karena aku sedang tidak punya pasangan.

“Lu juga cari teman wanita dong!” pintaku ke Ilham dan Hilman. Biar tidak hanya aku yang mencari. Wajah mereka kebingungan. Keduanya mencari-cari sesuatu di telepon pintar mereka berharap mendapat sesuatu yang berharga.

“Yasudah kita pulang saja dulu. Kaya orang nggak jelas diam di pom bensin,” kataku. Akhirnya kami bergegas ke kosan. Tiba di kosan Hilman dan Ilham masih saja tetap membicarakan wanita yang akan dibawa nanti ke puncak.

“Lu ada teman yang bisa diajak muncak ga,” tanya Ilham ke Hilman. “Haduuuhh siapa ya?” Hilman balik bertanya. “Nyesel gua dulu kuliah cuma main PS doang kerjaannya.” “Di sini kan yang masih kuliah lu doang. Coba dong cari ade-adean yang bisa dilobi. Dimanfaatkan dong status lu yang masih mahasiswa ini.”

Aku pun akhirnya ikut-ikutan menyesali apa yang sudah dilakukan saat masih di kampus dulu. Kenapa tidak ada yang bisa dideketin untuk jaga-jaga seperti ini. Tapi memang aku sudah tidak berminat untuk seperti itu. “Lu mah enak udah pernah nelanjangin anak orang. Makanya sekarang udah bosan main cewe,” Ilham iri padaku. Tapi entah kenapa sampai bilang seperti itu. padahal aku sendiri tidak pernah melakukan itu.

Mungkin karena dulu aku pernah sampai membuat anak orang menerorku ditelepon. Mereka  curiga karena si wanita mencariku terus, aku sudah melakukan hal yang nggak-nggak. Buka-buka kelakuan tak terelakkan. “Foto yang di laptop sama kodok (nama disamarkan) masih ada?” Tanya Hilman ke Ilham. Aku yang mengetahui langsung menerima umpan Hilman untuk memperpanas suasana. Obrolan tak jelas terus bergulir hingga dini hari. kami pun terlelap lelah tanpa mendapat solusi.


Suasana setelah kelelahan membicarakan wanita

Previous
Next Post »
0 Komentar