Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 32)


Bacaan sebelumnya klik di sini


Asep yang mendengar percakapan seperti tertarik dengan acara yang diadakan sekolah setahun sekali ini. “Ayo Jeff kita buat band juga di kelas.”

“Siapa saja? Memang lu tahu orang-orang yang bisa main musik di kelas kita?” Rapsan diam saja mendengar ajakan Asep.

“Kan ada Ihsan yang bisa main drum. Kita bertiga biar kaya Blink 182.” pikiranku tiba-tiba melayang pada setahun lalu di mana Rapsan dan Danu terobsesi membuat band seperti Blink 182. Apakah ini de javu? Yang jelas sangat mirip. Sesekali aku melirik Rapsan. Aku melihat dia ingin bergabung dengan kami. Aku merasakan jiwa dia masih ingin bermusik dengan gaya rock n roll.

Jelas saja dia iri. Dengan band sekarang, aliran musik Rapsan ditentukan oleh Danu yang sangat tergila-gila dengan d'vast. Terlebih lagi terkadang Rapsan suka mengeluh jika bermain musik dengan Danu. Lagu yang mereka bawakan sungguh kekinian. Selera orang Indonesia banget.

Tujuan Danu sudah bukan lagi pada kepuasan batin, tapi keinginan orang lain meski membunuh jati diri. “Lagu yang gua ciptain diubah nadanya. Aransemennya mirip d'vast banget,” eluhnya ketika itu. Aku hanya mendengar saja curahannya.

“Jadi!” Aku menjawab ajakan Asep dengan pasti. Sekalian kubuktikan pada Rapsan bahwa kami membuat band karena memiliki selera yang sama bukan seperti dia yang terlanjur. Aku tidak bisa mengajak dia bergabung karena tidak enak jika harus memaksa. Yang ditakutkan persahabatan kami bisa pecah hanya karena acara yang tidak begitu penting.

Perbincangan kami menjadi fokus membahas soal pensi. “Kita mau bawain lagu apa ya?” tanya Asep.

“Lagu rock n roll dong. Kita guncang sekolah nanti,” aku makin bersemangat.

“Okeh nanti kita latihan. Deket rumah gua kan juga ada studio. Lumayan murah juga. Tapi ke rumah gua dulu. Kita obrolin mau latihan dan bawa lagu apa saat nanti seleksi.”

“Yang jelas lagunya enak didengar dan bukan lagu luar. Guru kita kan agak tua jadi pasti ngga terlalu mengikuti lagu baru.”

Pulang sekolah seperti biasa Asep tidak langsung pulang. Dia singgah ke tempat biasa anak-anak kumpul. Ihsan juga salah satu orang yang suka di sana. Hari ini aku tidak pulang bareng Rapsan. Dia sepertinya mau latihan juga untuk mempersiapkan lagu nanti.

Satu jam nongkrong, kami pulang ke rumah Asep. Baru kali ini aku ke rumahnya. Seperti yang sudah aku ceritakan dulu kalau keluarganya adalah seorang guru. Oleh karena itu tidak ada penghuni di siang hari kalau Asep sekolah. Dia juga punya adik yang masih SMP. Adiknya masuk siang jadi aku tidak sempat tahu seperti apa rupanya.

“Makan dulu lah,” tawar Asep. Dia salah basa-basi. Kami orang yang tidak kenal hal yang seperti itu. Kalau diajak sesuatu yang enak, tidak akan menolak. Ihsan langsung pergi ke dapur. “Apa-apaan nih? Nggak ada lauknya. Cuma nasi doang.”

“Gua juga ngga tahu. Yaudah beli mie instan saja. Kan ada nasi nih.” asep duduk di depan komputer. Dia melihat-lihat daftar lagu di perpustakaan musik yang ada di komputer. Mungkin ada lagu yang bagus dan keren untuk dibawakan audisi nanti.

“Sini gua mau beli mie. Mau nitip rokok gak?” tanya Ihsan yang sepertinya sudah kelaparan.

“Oh iya. Nih setengah bungkus saja. Lu tambahin biar banyak.” Masih mencari, Asep merogoh kantong celana sekolah yang masih dia pakai. Tak lama berselang dia memanggilku yang baru selesai solat. “Kalau lagu The Changcuters yang judulnya Hijrah ke London gimana?”

Dia menyetel lagu. Kami fokus mendengarkan. “Gua tahu kunci dan melodinya,” Asep memainkan musik di komputer sambil memetik gitar. Lumayan enak didengar dan tidak begitu norak seperti lagu sekarang yang selalu ada kata-kata cinta. “Mantab!” satu kata yang terlontar dariku.

“Kuncinya cuma A, C#, Bm, D. itu saja terus sampai habis. Pas bridge kuncinya C#, Bm. Reff sama kaya yang awal,” Asep mengajari sambil mempraktekkan pada gitar yang dipegang.

Latihan dimulai. Ada beberapa alat yang nganggur karena kami hanya bertiga. Aku memegang bass bersama mic. Asep gitar juga dengan mic. Ihsan hanya drum karena mic cuma ada dua. Asep menjadi penyanyi utama. Aku membantu suara tambahan. Satu jam penuh kami habiskan dengan lagu Hijrah ke London. Beberapa kali aku mencoba improvisasi kunci. Nyatanya makin lama, kami makin kompak.

Tahapan seleksi pertama dimulai. Semua band kumpul di ruangan tempat praktek anak IPA yang sengaja dikosongkan. Semua siswa yang sedang belajar diijinkan tidak mengikuti pelajaran. Kami pamit pada Guru Bahasa Inggis yang sedang menerangkan. Ada lima orang dari kelas yang ijin.

Di perjalanan menuju ruang audisi tiba-tiba Ihsan membuat pernyataan yang membuat kami panik. “Oh iya nama band kita apa?”

Bersambung......
Previous
Next Post »
0 Komentar