Bacaan sebelumnya klik di sini
Asep yang mendengar percakapan seperti tertarik dengan acara yang diadakan sekolah setahun sekali ini. “Ayo Jeff kita buat band juga di kelas.”
Asep yang mendengar percakapan seperti tertarik dengan acara yang diadakan sekolah setahun sekali ini. “Ayo Jeff kita buat band juga di kelas.”
“Siapa
saja? Memang lu tahu orang-orang yang bisa main musik di kelas kita?”
Rapsan diam saja mendengar ajakan Asep.
“Kan
ada Ihsan yang bisa main drum. Kita bertiga biar kaya Blink 182.”
pikiranku tiba-tiba melayang pada setahun lalu di mana Rapsan dan
Danu terobsesi membuat band seperti Blink 182. Apakah ini de javu?
Yang jelas sangat mirip. Sesekali aku melirik Rapsan. Aku melihat dia
ingin bergabung dengan kami. Aku merasakan jiwa dia masih ingin
bermusik dengan gaya rock n roll.
Jelas
saja dia iri. Dengan band sekarang, aliran musik Rapsan ditentukan
oleh Danu yang sangat tergila-gila dengan d'vast. Terlebih lagi
terkadang Rapsan suka mengeluh jika bermain musik dengan Danu. Lagu
yang mereka bawakan sungguh kekinian. Selera orang Indonesia banget.
Tujuan
Danu sudah bukan lagi pada kepuasan batin, tapi keinginan orang lain
meski membunuh jati diri. “Lagu yang gua ciptain diubah nadanya.
Aransemennya mirip d'vast banget,” eluhnya ketika itu. Aku hanya
mendengar saja curahannya.
“Jadi!”
Aku menjawab ajakan Asep dengan pasti. Sekalian kubuktikan pada
Rapsan bahwa kami membuat band karena memiliki selera yang sama bukan
seperti dia yang terlanjur. Aku tidak bisa mengajak dia bergabung
karena tidak enak jika harus memaksa. Yang ditakutkan persahabatan
kami bisa pecah hanya karena acara yang tidak begitu penting.
Perbincangan
kami menjadi fokus membahas soal pensi. “Kita mau bawain lagu apa
ya?” tanya Asep.
“Lagu
rock n roll dong. Kita guncang sekolah nanti,” aku makin
bersemangat.
“Okeh
nanti kita latihan. Deket rumah gua kan juga ada studio. Lumayan
murah juga. Tapi ke rumah gua dulu. Kita obrolin mau latihan dan bawa
lagu apa saat nanti seleksi.”
“Yang
jelas lagunya enak didengar dan bukan lagu luar. Guru kita kan agak
tua jadi pasti ngga terlalu mengikuti lagu baru.”
Pulang
sekolah seperti biasa Asep tidak langsung pulang. Dia singgah ke
tempat biasa anak-anak kumpul. Ihsan juga salah satu orang yang suka
di sana. Hari ini aku tidak pulang bareng Rapsan. Dia sepertinya mau
latihan juga untuk mempersiapkan lagu nanti.
Satu
jam nongkrong, kami pulang ke rumah Asep. Baru kali ini aku ke
rumahnya. Seperti yang sudah aku ceritakan dulu kalau keluarganya
adalah seorang guru. Oleh karena itu tidak ada penghuni di siang hari
kalau Asep sekolah. Dia juga punya adik yang masih SMP. Adiknya masuk
siang jadi aku tidak sempat tahu seperti apa rupanya.
“Makan
dulu lah,” tawar Asep. Dia salah basa-basi. Kami orang yang tidak
kenal hal yang seperti itu. Kalau diajak sesuatu yang enak, tidak
akan menolak. Ihsan langsung pergi ke dapur. “Apa-apaan nih? Nggak
ada lauknya. Cuma nasi doang.”
“Gua
juga ngga tahu. Yaudah beli mie instan saja. Kan ada nasi nih.”
asep duduk di depan komputer. Dia melihat-lihat daftar lagu di
perpustakaan musik yang ada di komputer. Mungkin ada lagu yang bagus
dan keren untuk dibawakan audisi nanti.
“Sini
gua mau beli mie. Mau nitip rokok gak?” tanya Ihsan yang sepertinya
sudah kelaparan.
“Oh
iya. Nih setengah bungkus saja. Lu tambahin biar banyak.” Masih
mencari, Asep merogoh kantong celana sekolah yang masih dia pakai.
Tak lama berselang dia memanggilku yang baru selesai solat. “Kalau
lagu The Changcuters yang judulnya Hijrah ke London gimana?”
Dia
menyetel lagu. Kami fokus mendengarkan. “Gua tahu kunci dan
melodinya,” Asep memainkan musik di komputer sambil memetik gitar.
Lumayan enak didengar dan tidak begitu norak seperti lagu sekarang
yang selalu ada kata-kata cinta. “Mantab!” satu kata yang
terlontar dariku.
“Kuncinya
cuma A, C#, Bm, D. itu saja terus sampai habis. Pas bridge kuncinya
C#, Bm. Reff sama kaya yang awal,” Asep mengajari sambil
mempraktekkan pada gitar yang dipegang.
Latihan
dimulai. Ada beberapa alat yang nganggur karena kami hanya bertiga.
Aku memegang bass bersama mic. Asep gitar juga dengan mic. Ihsan
hanya drum karena mic cuma ada dua. Asep menjadi penyanyi utama. Aku
membantu suara tambahan. Satu jam penuh kami habiskan dengan lagu
Hijrah ke London. Beberapa kali aku mencoba improvisasi kunci.
Nyatanya makin lama, kami makin kompak.
Tahapan
seleksi pertama dimulai. Semua band kumpul di ruangan tempat praktek
anak IPA yang sengaja dikosongkan. Semua siswa yang sedang belajar
diijinkan tidak mengikuti pelajaran. Kami pamit pada Guru Bahasa
Inggis yang sedang menerangkan. Ada lima orang dari kelas yang ijin.
Di
perjalanan menuju ruang audisi tiba-tiba Ihsan membuat pernyataan
yang membuat kami panik. “Oh iya nama band kita apa?”
Bersambung......
0 Komentar