Menyesal Tidak Gila Sebelumnya

Matahari sudah beristirahat setelah seharian menghangatkan Jakarta dan sekitarnya. Ini berarti tanda sudah saatnya aku bergegas menuju kantor karena sekarang adalah tenggat terakhir penugasan. Aku telah menyelesaikan semua pekerjaan sejak awal pekan lalu jadi tidak ada yang perlu dikejar lagi. Meski begitu aku tetap siaga jika ada sesuatu yang penting.

Sedari pagi aku menunggu kabar apakah ada yang kurang dari senior. Hingga gelap ternyata tidak ada apa-apa. Berarti aku aman dan bisa tenang. Karena ini masih hari kerja, aku tetap berangkat ke kantor meski sudah ada apa-apa. Siapa tahu saja nanti dibutuhkan untuk menelepon seseorang. Tanggung jawab profesi harus dijaga baik dengan seprofesional mungkin. Jangan sampai ada yang dikecewakan atas apa yang aku lakukan.

Hal yang penting tidak boleh dilupakan yaitu membawa laptop. Perangkat itu tidak boleh luput untuk menghilangkan kepenatan. Karena tidak ada yang bisa aku lakukan di saat para senior sibuk dengan pekerjaannya. Internet di kantor juga cepat jadi bisa aku manfaatkan untuk mengunduh film yang sedang aku ingin tonton.

Aku langsung membuka tas setibanya di kantor. Sebelumnya aku melihat sekeliling. Sejauh mata memandang orang-orang menatap laptop. Mereka sibuk dengan tugasnya. Ada yang sedikit senggang tapi aku canggung. Aku adalah anak baru dan paling muda di sini. Tidak mudah buatku untuk akrab dan dekat dengan orang lain. Apalagi mereka jauh umurnya. Apa yang dibahas dalam percakapan di antara kami pasti berbeda.

Kalaupun bicara, pasti sangat sebentar. Jika panjang, aku hanya jadi pendengar untuk mereka yang berbagi pengalaman. Apa boleh buat, ini memang kelemahan yang sebenarnya sangat tidak mengenakkan. Aku ingin mengobrol tapi terhalang oleh rasa segan karena aku adalah orang yang terlalu banyak berpikir.

Berbagai hal aku pertimbangkan sebelum ingin kenal dekat dengan orang lain. Aku musti tahu sifat, kelakukan, tingkah laku orang yang diajak bicara. Jangan sampai aku salah ucap sehingga membuat lawan bicara ini tersinggung. Aku terkadang suka berlebihan kalau sudah kenal dekat. Aku takut berbuat berlebihan itu pada orang baru. Takut dibilang sok akrab atau malah dianggap berperilaku buruk.

Itulah yang membuat aku sulit erat dengan orang baru. Aku lakukan rutinitas itu berhari-hari, terus-terusan hingga Nobita dapat nilai 100. Sesuatu hal yang mungkin. Sampai dipindahtugas, aku tidak mengeluarkan sifat asli. Apakah itu munafik? Aku rasa tidak karena aku hanya jaga sikap. Kalau dibilang jaim, ya terserah. Yang jelas aku punya pertimbangan sendiri.

Setengah tahun menikmati profesi, ada anak baru yang seumuran dengan aku. Senang karena akhirnya aku bisa punya teman mengobrol. Cerita sesuai dengan usianya dan berbagi pengalaman baru dengan yang sama-sama nol itu lebih seru. Percayalah itu. Meski begitu aku masih tetap tidak bisa bertindak aku yang benar-benar aku.

Kami adalah anak baru

Belum sempat mengeluarkan semua isi, aku dapat penugasan untuk pindah pekerjaan dengan profesi yang sama dalam satu perusahaan. Jika ditanya apa aku senang atau tidak, jawabannya sangat. Andai seminggu kemudian itu tidak terjadi, bisa dipastikan aku sudah berada pada perusahaan yang berbeda. Tapi kalau mau tahu kenapa aku sangat ingin pindah, aku tidak akan menulisnya dalam waktu dekat ini karena itu sangat rahasia.

Aku benar-benar bahagia bisa dipindah. Tapi aku harus menyesuaikan diri lagi. Apalagi dengan pendekatan sosial. Sekali lagi aku adalah orang yang susah sekali akrab dengan orang baru. Meski begitu sejak kecil aku selalu mengalami hal ini. Jadi seharusnya aku sudah terbiasa bertemu individu yang pertama bertemu.

Di tempat baru aku harus beradaptasi lagi dengan pekerjaan. Sejak kuliah aku tidak terlalu mendalami profesi ini. Alasan utamanya adalah aku tidak pandai bicara dengan lancar. Pasti ada saja satu kata yang tidak terucap dengan benar setiap kali bicara. Aku berpikir tidak akan mempermalukan diri sendiri di depan umum. Tapi aku menikmatinya pekerjaan baru ini.

Untuk masalah sosial, tidak berbeda pada umumnya. Aku lebih banyak diam dan menyendiri. Bahkan kalau ada yang belum kenal dan menanyakan siapa aku, pasti dijawab, “Yang suka menyendiri.” Tidak masalah, sebab memang seperti itu adanya.

Lama kelamaan aku mulai akrab. Lumayan lama memang. Tapi tak apa, lebih baik telat daripada tidak sama sekali. Di antara mereka ada yang kelakuannya “separoh”. Tapi dialah yang menjadikan suasana menjadi hidup.

Aku terpikir, seandainya saja bisa seperti dia. Pada dasarnya aku tidak jauh berbeda dengannya. Tapi aku berpikir tidak bisa karena ini hal yang memalukan. Sudah bukan saatnya aku seperti dulu. Harus ada yang diubah tapi tidak mengganti yang sudah ada. Agak susah memang. Aku harus membuat diriku senyaman mungkin dengan keadaan.

Kemudian aku menyesal kenapa tidak gila dari awal. Mungkin saja aku lebih ceria walaupun setiap hari sangat bahagia. Tetap saja tidak perlu ada yang perlu disayangkan karena itu sudah jalannya. Cukup bersukur pasti semuanya ceria.

Previous
Next Post »
0 Komentar