Menyusuri Pulau Kalong hingga Komodo, Berlayar ala Titanic


Pagi-pagi kami sudah bangun. Tidur lumayan nyenyak meski ada sedikit insiden. Aku terbangun di antara mimpi saat teman sebelahku dihisap darahnya lagi oleh pacet. Dia terasa di sekitar kuping dan melemparnya ke arah kaki, bukan membunuhnya.
Aku cemas. Jantung langsung memompa cepat sehingga membuat Aku terus terjaga. Cemas hewan itu masuk ke dalam telinga. Membayangkannya saja sudah membuat Aku khawatir. Butuh setengah jam agar Aku bisa bermimpi kembali.
Kami pamitan dengan tetua. Berharap bisa kembali lagi ke sini. Satu hari yang menyenangkan. Sebelum itu, momen mengabadikan gambar tidak boleh luput. Masing-masing memiliki gayanya sendiri. Aku hanya memerhatikan. Tetap sedikit narsis meski tak banyak.
Setengah delapan kami melangkahkan kaki menuruni desa. Ya, karena tidak lagi menanjak, waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke Desa Dintor setengah dari keberangkatan. Hanya sejam.
Sebenarnya Aku sih yang cepat. Karena lari. Yang lain pada tidak sanggup. Hanya satu wanita yang sanggup mengikuti Aku. Beberapa kali Aku berhenti membiarkan wanita yang mengikuti ambil nafas dalam-dalam.
Boleh juga dalam pikir. Aku sengaja istirahat agar dia bisa mengimbangi. Sebelum sampai bawah terdengar suara air mengalir. Kami menduga ada air terjun. Benar saja. meski tidak tinggi tapi lumayan segar.
Kami mencuci muka dan membersihkan kaki dari pacet. Di kaki ada sekitar empat ekor. sudah sangat besar. Enak betul dia. Menang banyak hisap darahku. Tapi sungguh tak terasa. Benar-benar terasa linu di bagian yang tergigit keesokan harinya. Darah juga keluar deras di titik itu sejam kemudian. Efeknya tertunda.
Semua sudah sampai di mobil parkir. Sekitar jam 13.00 kami bergerak menuju pelabuhan. Jalan berliku dimulai kembali. Tapi bedanya sekarang kami sudah terbiasa. Yang muntah juga berkurang.

Sore kami sampai di pelabuhan. Kapal vinisi sudah menunggu. Cuaca bagus. Ombak juga tak terlalu besar. Kami bisa melanjutkan kegiatan sesuai rencana. Agenda selanjutnya adalah ke Pulau Kalong.
Kapalnya sungguh bagus. Tidak seperti Kapal Titanic sih. Tapi sedikit mirip lah. Dikitnya sangat. Meski begitu, fasilitas lengkap. Kamar tersedia banyak. Ada kamar tidur, pengatur suhu (AC), dan yang paling penting listrik. Sebagai generasi milenial, listrik dan sinyal lebih penting daripada tidur.
Perjalanan menuju Pulau Kalong memakan waktu 45 menit. Meski ombak tidak begitu besar, cukup membuat kapal naik turun. Lagi-lagi perut dikocok. Aku tidak mungkin bisa di kamar karena membuat semakin pusing. Katanya kalau kondisi seperti ini harus melihat kejauhan. Tapi bagiku tidak ada bedanya.
Aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam dan berbaring. Cara ini cukup menahan guncangan. Dan lagi-lagi ada yang muntah. Sepertinya tema perjalanan ini adalah keluarkan isi perut. Berat memang. Tapi Aku menilai sebanding dengan hasilnya.
Akhirnya kami sampai di lokasi. Tapi kapal tidak menyandar ke tepi. Mesin dimatikan. Ayunan ombak sudah berkurang. Lumayan untuk mengistirahatkan perut.
Langit mulai padam karena matahari segera terbenam. Di ujung barat sana terlihat semakin oranye. Kawanan kalong mulai beraktivitas. Mereka keluar dari sarang dan melewati kapal kami. Sudah seperti di film zombie.
Setelah itu kami bersantai. Memperkenalkan diri lebih dalam. Bincang-bincang santai. Bicara segala hal. Tertawa. Hingga kami terasa lelah dan akhirnya kembali ke kamar masing-masing. Sementara Aku tetap di ruang pertemuan yang ada di luar.
Kalau di dalam ruangan bawaannya pusing. Lagipula di sini juga nyaman. Juga ditemani bintang-bintang. Jumlahya sangat banyak karena tidak ada polusi cahaya. Sesuatu hal yang sangat jarang di Jakarta. Hingga akhirnya Aku terlelap.
***
Hari ini adalah terakhir perjalanan liburan. Agenda terakhir adalah ke Pulau Komodo. Di Nusa Tenggara Timur, ada dua pulau tempat populasi hewan purba tersebut. Pulau Komodo dan Pulai Rinca.

Kedua pulau memiliki ciri khas masing-masing. Pulau Komodo banyak hutan dan hewannya lebih buas sementara Rinca padang savana dan sedikit buas. Sama-sama berbahaya sih.
Tapi kalau mau mengabadikan momen bagus, lebih baik ke Rinca. Efek kuning ditambah cahaya matahari akan terlihat menarik jika disebarkan ke media sosial.
Perjalanan kami hanya ke Rinca. Karena kami ke Wae Rebo, spot-spot lain seperti Pulau Padar dan Pantai Pink tidak dikunjungi. Buatku tidak masalah. Yang penting bisa lihat Komodo. Dan harus bisa foto bersamanya meski tidak menyentuhnya.
Akhirnya khayalan kecil terkabulkan. Komodo yang hanya bisa dijadikan bahan bincangan, Pulau yang dilihat dari buku pelajaran kini bisa kupandangi dengan mata kepala sendiri.

Perjalanan kami selesai. Sore menuju bandara. pengalaman yang menarik dan seru. Terima kasih JNE dan juga teman-teman yang ada di kegiatan ini. Semoga kita bisa bertemu lagi.

Telusur Labuan Bajo; Enek Enak ke Wae Rebo




Awal tahun 2019 seorang hubungan masyarakat PT JNE yang sudah lama tidak komunikasi dengan Aku tiba-tiba mengirim pesan instan. Awal pembicaraan dia menanyakan kabar. Tentu Aku jawab baik sembari menulis semoga dia juga demikian.

Kalimat pertama Aku kirim. Kiriman kedua Aku langsung bertanya tanpa basa-basi, "Ada yang bisa dibantu?" Biasanya orang yang jarang saling sapa lalu muncul dipastikan ada sesuatu.

Ternyata benar. Beruntung, kabar baik. Aku dapat kesempatan pergi ke Pulau Komodo, Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT) dari perusahaan tersebut. Ternyata tahun lalu Aku adalah salah satu orang yang sering memberitakan tentang korporasinya. Bagian dari sebuah apresiasi kata dia.

Sebenarnya itu hanya kebutuhan sendiri saja sih. Aku membutuhkan informasi dan menuliskannya menjadi sebuah berita. Dan juga tidak terlalu sering karena hanya setengah tahun Aku aktif di desk itu.

Sisanya Aku dipindah untuk mengurusi politik. Dan ternyata memang benar. Aku adalah orang cadangan. Ada teman satu kantor yang dapat. Tapi karena dia tidak bisa, akulah yang menggantikannya. Ya sudah. Rezeki.

Agendanya berlangsung pada 24-27 Januari 2019. Tentu itu adalah hari kerja. Aku harus izin terlebih dahulu kepada atasan. Siapa tahu saja bukan Aku yang ditugaskan. Tapi JNE meminta kalau bisa agar Aku saja yang berangkat. Iya lah Aku juga mau kok!

Pulau Komodo adalah salah satu yang Aku impikan bahkan sejak kecil. Aku ingin sekali bisa melihat Komodo, hewan purba yang hanya ada di Indonesia, bahkan dunia. Tapi kan ada kehendak lain. Ya tapi sesuai keinginan sih. Atasan mengizinkannya.


Agenda perjalanan tiba. Di hari pertama kami menengok kantor JNE di Labuan Bajo. Karena ini adalah agenda senang-senang, Aku tidak terlalu mengeksplorasi untuk dijadikan sebuah berita. Setelah itu kami bergeser ke rumah binaan perusahaan di bidang logistik itu.

Rumah binaan tidak terlalu jauh dari bandara. 15 menit perjalanan sudah sampai. Ada banyak kerajinan yang dihasilkan di sana. Segala jenis cinderamata khas Nusa Tenggara Timur, khususnya Labuan Bajo ada di sini.

Ada juga taman bacaan. Kalau ada itu, mau tidak mau harus tersedia tempat buat menikmati buku. Rumah binaan menyediakan makanan dan minuman. Kami para rombongan menghabiskan siang di sini.

Tak terasa dua jam kami habiskan di rumah binaan. Waktu menunjukkan 15.30 WITA. Agen wisata yang memimpin kegiatan kemudian membawa kami ke pelabuhan. Melihat suasana di pinggir pantai.

Katanya besok perjalanan kami dimulai di sini. Berdasarkan jadwal, kami pergi ke Pulau Kalong sambil menyelam, Pulau Rinca melihat Komodo, Goa Kalong menikmati matahari terbenam sembari melihat kawanan kalelawar keluar kandang, dan Pulau Padar untuk bersandar yang diakhiri istirahat.

Meski begitu ada pengecualian. "Jika ombak tenang". Maklum, Januari akhir hingga beberapa minggu ke depan itu cuaca sedang tidak bagus di Indonesia. Begitu pula di Labuan Bajo. Ombak belakangan tinggi-tinggi. Bisa mencapai 3 meter katanya. Waaahh ngeri juga sih. Jika kondisi buruk itu terjadi, agenda perjalanan diganti.

Lalu ke mana kami? ke Wae Rebo. Yah lumayan lah. Alternatif yang tidak begitu buruk. Sebenarnya Aku juga mau ke sana selain liat Komodo. Kalau bisa dua-duanya kenapa tidak? Sayang dengan waktu yang hanya tiga hari tidak memungkinkan kami mendapatkan semua tempat wisata yang ada di Bajo.

Ada yang harus dikorbankan. Tapi dalam hati ingin sekali bisa mendapatkan keduanya. Terserah agenda lainnya jika memang dihapus. Aku tidak begitu peduli.

Setelah itu kami geser ke hotel. Lokasinya di pinggir pantai. Berhubung sudah sore, kami membersihkan diri dan bersantai menunggu datangnya malam. Tadinya kami ada agenda bakar jagung menikmati deburan ombak. Tapi agenda dibatalkan karena angin kencang. Ya sudah semua kembali ke kamar masing-masing dan bersiap perjalanan besok.

Kami diminta bangun jam pagi. Jam 07.30 sudah harus siap karena agenda padat. Sesuai jadwal kami sudah selesai sarapan dan mandi sebelum waktu yang ditentukan.

Ketua acara memberi kabar bahwa cuaca buruk. Ombak tinggi meski tidak sebesar sebelumnya. Tapi dia tidak mau ambil resiko. Ini masalah nyawa. Oleh karena itu kami memakai rencana cadangan. Ya, ke Wae Rebo.

Tempat ini cukup terkenal. Negeri di awas awan. Begitu julukannya. Tapi jalannya cukup jauh. Dari pelabuhan, kami bergerak ke arah tenggara melalui jalur darat. Waktu yang ditempuh memakan waktu 4 jam.

Jangan salah. Tidak ada kemacetan di sini. Kalau berdasarkan peta, kami menuju Desa Dintor yang berjarak sekitar 130 Km. Jalannya berliku. Sangat mengocok perut. Kalau tidak tahan, semua yang ada di dalamnya bisa keluar.

Beberapa rombongan jadi korban. Kami harus tiga kali mengambil nafas sebentar untuk menenangkan lambung. Aku melihat yang tidak sanggup berwajah pucat. Mau bagaimana lagi. Tidak ada jalur lain.


Masih ada halangan lainnya. Kami harus berjalan di pinggir pantai dengan rintangan bebatuan kecil. Sebenarnya rute tersebut bisa tidak dilewati asal jembatan yang tidak jauh dari situ selesai. Akan tetapi tak kunjung kelar.

Akhirnya kami harus melewatinya. Semua penumpang harus turun. Karena kalau kelebihan beban, ban bisa tenggelam oleh batu. Benar saja. Satu mobil selip. Beberapa kali digas tidak mau bergerak. Kesalahan fatal supir adalah tidak sabar dan menginjak gas terlalu dalam.

Karena putaran roda terlalu cepat, batu-batu kecil yang tertumpuk tidak sanggup menahan dan buyar. Kami mencari bantalan seperti batu yang lebih besar dan kayu. Sambil dibantu dorongan manusia agar bisa memiliki daya tolak cukup kuat.

"Satu...dua...tigaaa..." Kami mendorong. Setelah berjibaku akhirnya mobil keluar dari kubangan batu. Satu kendaraan akhirnya berhasil melewatinya. Masih ada dua lagi. Supir berikutnya kami wanti, "Jangan tekan gas cukup kuat ya Pak. Santai saja biar tidak tenggelam." Benar saja. mobil ini tidak memiliki halangan yang berarti. Begitu juga kloter terakhir.

Akhirnya kami sampai di Desa Dintor. Mobil hanya bisa sampai di sini. Selanjutnya adalah menggunakan sepeda motor. Tidak terlalu jauh sih karena hanya memakan waktu 10 menit. Tapi kan dibayarin, jadi tidak apa-apa. Sisanya kami harus jalan.

Rintangan selanjutnya. Bagi yang tidak biasa menanjak, berjalan kaki menuju Wae Rebo sangat berat. Jalannya sedikit miring dengan kondisi jalan yang licin. Habis hujan sepertinya. Dan akan terjadi lagi karena langit sangat pekat.

Setapak demi setapak kami berjalan pelan. Beberapa kali harus ada yang memegang lutut dan mengambil nafas. Belum lagi Pacet menempel di kaki. Tiba-tiba sudah membengkak sebesar sedotan dari awal seperti benang saking enaknya menyedot darah. Aku juga jadi korban. Sangat tidak terasa. Setelah dilepas, baru terasa nyeri jika ditekan.

Tiba-tiba hujan turun deras. Untung kami sudah siap dengan jas hujan jadi bisa terus melanjutkan perjalanan. Padahal, sudah mau sampai. Benar saja, 10 menit kemudian bangunan khas Wae Rebo terlihat setelah menempuh dua jam perjalanan.

Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 WITA. Tak terasa sudah sore. Perjalanan yang sangat panjang dan rintangan yang menghadang membuat kami lupa dengan waktu

Pemandu jalan saat masih di bawah mewanti agar tidak mengabadikan gambar di sekitar lingkungan termasuk Mbaru Niang, rumah adat Wae Rebo. Kami harus diterima oleh kepala adat dan melakukan ritual kecil-kecilan terlebih dahulu agar bisa diterima oleh roh leluhur. Kalau tidak, "mereka" bisa bertanya-tanya.

Pertemuan dimulai. Salah satu tetua menyambut kami. Dia bercerita tentang sejarah Wae Rebo. Mulai dari fungsi Mbaru Niang hingga ke mana anak cucu mereka setelah besar. Kebanyakan tidak lagi berada di sini demi menjaga populasi.

Wae Rebo terdapat 5 bangunan. Setiap rumah berisi delapan kepala keluarga. Rumah setinggi 15 meter dan terdapat lima lantai. Masing-masing memiliki fungsi seperti ruang kumpul hingga menaruh hasil alam yang dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-hari. Hanya ada satu dapur dan ruang tengah untuk digunakan bersama-sama.

Upacara adat selesai. Tetua adat mengucapkan kalimat berbahasa yang tidak kami mengerti. Tak lama seorang penghubung tetua atau pemandu mengatakan bahwa kami sudah diterima dan bisa mengabadikan gambar.

Wae Rebo cukup dingin saat matahari terbenam. Maklum, Berada di ketinggian 1.200 di atas permukaan laut. Lokasinya tepat di puncak bukit dan tidak ada pepohonan yang mengelilingi. Angin bisa bebas menerabas kulit.


Akan tetapi berbeda jika masuk Mbaru Niang. Meski sederhana karena tertutupi daun lontar yang dianyam, kondisi di dalamnya sangat hangat. Betah sekali berlama-lama di sana.

Saatnya makan malam. Menunya sederhana. Telur, sambal, dan sayuran. Entah mengapa rasanya begitu enak. Aku nambah karena lapar juga.

Lambung sudah penuh. Malam juga semakin larut. Kami tidak bisa berlama-lama atau sampai siang karena masih ada perjalanan lain. Pagi sekali harus sudah pergi. Perjalanan enek tapi enak.

Bersambung...

Main Salju di India; Total Biaya ke Tiga Tempat Plus Singgah di Malaysia

Para pekerja sedang membersihkan kolam di Taj Mahal

Akhirnya perjalanan seminggu liburan ke India usai juga. Ini adalah pengalaman pertama yang sangat berkesan. Bahkan salah satu yang terbaik dalam hidup. Dari sini, Aku tertarik untuk berkelana ke tempat lain lagi.

Semua perjalanan sudah Aku tulis mulai dari rencana sampai terbang menuju Indonesia. Kalau kamu belum sempat, ini adalah tautannya:


Wah ternyata banyak juga yah. Ini adalah tulisan yang terakhir. Aku akan membahas soal biaya yang Aku keluarkan mulai dari tiket hingga hal remeh temeh.

Tiket pesawat pergi-pulang Rp3.656.402

Transit di Malaysia (RM1 = Rp3.500):

Bus bandara ke KL Sentral RM10 atau Rp35.000 x 2 (PP) = Rp70.000
LRT dari KL Sentral ke KLCC RM3 atau Rp11.000 x 2 (PP) = Rp22.000
- Makan siang beli nasi lemak RM5 atau Rp17.000

Perjalanan di India (Rs1 = Rp 200)

MRT ke Khasmere Gate (dua kali bayar): Rs60+Rs20 = Rs80 atau Rp16.000
Bus dari Khasmere Gate ke New Stand Bus, Shimla Rs919 atau Rp183.800
Bus New Stand Bus ke Old Stand Bus Rs18 atau Rp3.600 x 2 = Rp7.200
Kartu telepon lokal Rs350 atau Rp70.000 dibagi dua jadi Rp35.000
Bus dari New Bus Stand ke Old Manali Rs640 atau Rp128.000
Taksi dari stasiun ke hotel Rs300 atau Rp60.000 dibagi dua jadi Rp30.000
Hotel 2 malam Rp450.000 dibagi dua jadi Rp225.000
Motor 2 hari Rp480.000 dibagi dua jadi Rp240.000
Foto bersama Yak dan baju adat Rs100 atau Rp20.000
Sewa mobil sehari Rs1.500 atau Rp300.000 dibagi dua jadi Rp150.000
Bus dari Old Manali ke Khasmere Gate Rs800 atau Rp160.000
MRT dari Khasmere ke Hazrat Nizamuddin Rs40 atau Rp8.000
Kereta jarak jauh dari Nizamuddin ke Agra Rs85 atau Rp17.000
Kena tilang kereta Rs620 atau Rp124.000 dibagi dua jadi Rp62.000
Bajaj dari stasiun ke hotel Rs150 atau Rp30.000 dibagi dua jadi Rp15.000
Hotel satu malam Rs900 atau Rp180.000 dibagi dua jadi Rp90.000
Pasar malam Rs5 atau Rp1.000
Tiket Taj Mahal Rs1.250 atau 250.000
Bajaj ke stasiun Rs150 atau Rp30.000 dibagi dua jadi Rp15.000
Taksi dari stasiun ke pool bus Rs350 atau Rp70.000 dibagi dua jadi Rp35.000
Bus ke New Delhi Rs500 atau Rp100.000
MRT ke bandara (dua kali bayar) Rs60+Rs20 = Rs80 atau Rp16.000.
Makan Rp120.000 perhari x 6 = Rp720.000

catatan: karena Aku dan Ali bocah laperan, jadi agak boros. Harusnya bisa lebih irit lagi

Total 6.289.402

Kira-kira segitu total kami mengeluarkan dana selama seminggu. Murah atau mahal?

Main Salju di India, Detik-Detik Terakhir di Negeri Bollywood


 

Sabtu, 2 Maret 2019 adalah hari terakhir Aku dan Ali di India. Tepat seminggu kami berlibur. Perjalanan terakhir dihabiskan untuk mengunjungi Taj Mahal. Karena kemarin tidak bisa, kami sudah siap sejak pukul 05.00.

Jam buka bangunan salah satu keajaiban dunia ini sejak subuh. Estimasi kami adalah 05.30 sudah jalan dari hotel karena harus menyiapkan mental. Maklum, harus bangun pagi.

Hotel yang kami tempati berada di sekitaran Taj Mahal. 1 Km berjalan sudah langsung sampai pintu masuk. Ternyata harganya lumayan mahal untuk turis seperti kami. Rs1.250 atau Rp250.000 (Rs1=Rp200).

Di sini tersedia juga pemandu. Tentu harus bayar lagi. Mereka menawar antara Rs1.000-Rs2.000. Aku tidak mau menyarankan apakah harus menggunakannya atau tidak. Tapi keuntungannya adalah kalian bisa tahu seluk-beluk Taj Mahal.

Aku sendiri memilih tidak memakai jasa tersebut. Namanya juga pelancong kere. Lagipula kalau informasi bisa didapat dari Google. Simpel.

Di sini, Aku saran agar datang lebih pagi. Karena kalau sudah lewan jam 07.00, orang-orang sudah mulai berdatangan dan banyak sekali. Aku yang sampai jam 06.00 saja sudah ramai. Aku lalu mencoba hitung-hitungan dengan Ali. Kalau ada 10.000 pengunjung dalam seminggu, itu artinya omset dari pariwisata ini saja sudah Rp3,7 miliar.

Di sini ya kami cuma foto-foto saja. Karena tidak ada apa-apa lagi. Tapi yang pasti bangunannya sangat megah. Memasuki Taj Mahal, sepatu kami harus dilapisi seperti penutup kepala untuk mandi. Tujuannya agar tidak mengotori bangunan.


Taj Mahal memang dijaga betul kebersihannya. Akan tetapi tidak di luar. Beberapa kali Aku melihat kotoran kuda tergeletak begitu saja. Aneh. Padahal merokok tidak boleh sembarangan, tapi buang kotoran bebas. Begitu pula buang air kecil.

Kami tidak berlama-lama. Sore hari sudah harus ada di New Delhi untuk terbang ke Tanah Air. Antara bahagia dan sedih. Senang karena akan makan enak. Sedihnya kalian pasti tahu. Aku kembali ke kehidupan normal.

Jam 09.00 kami sudah keluar hotel. Lagi-lagi memilih bajaj ke stasiun. Masalah kembali datang. Ternyata jadwal kereta sudah tidak ada. Jam selanjutnya adalah sore hari atau besok.

Tidak mungkin Aku gunakan. Jadwal pesawat kami malam hari. Aku mencoba cari informasi. Sebenarnya agak kesal juga dengan sopir bajaj. Dia tahu tidak ada kereta tapi diam saja dan enggan memberikan saran. Sial!

Informasi akhirnya didapat. Seorang sopir taksi menyarankan agar naik bus. Bus tercepat jam 13.00 dan bisa sampai Delhi sore hari.

Sopir ini sangat ramah karena tahu Aku muslim. Selama di India, Aku selalu memakai peci yang dibeli di alun-alun Old Manali. Fotonya ada di dua tulisan sebelum ini.

Di sini, warga India yang beragama Islam sangat menganggap saudara jika tahu lawannya sama. Sopir itu lalu menunjukkan foto setelah menjadi pemandu untuk pelancong dari Malaysia.

Kami harus membayar Rs350 untuk diantarkan ke travel. Tiket bus pun didapat. Harganya Rs500. Perjalanan memakan waktu sekitar tiga jam.

Karena masih ada sejam lagi, kami mencari makan siang. Tapi Aku hanya makan prata. Sudah malas rasanya makan masakan India. Aku seperti trauma makan bawang mentah dan rempah. Ali mau makan sayur lodeh. Kalau Aku sayur asam dengan ikan teri. Memikirkannya saja sudah membuat banjir air liur.

Setelah itu cari jajanan biar mulut tidak diam. Kebetulan di samping bus kami ada warung kecil. Kami duduk di sana. Beberapa saat ada anak muda berada di hadapan kami.

Sepertinya dia juga bosan menunggu di dalam bus. Kami pun mengobrol. Dia orang India yang sedang liburang dengan pacarnya.

Dia bercerita kehidupan di India sangat timpang. Yang kaya sangat kaya. Miskin, begitu melarat. Aku memang melihatnya. Terbukti tiket Taj Mahal tidak akan mampu dibeli oleh semua orang. Keluar dari kawasan tersebut, terlihat kumuh.

Akhirnya bus kami jalan. Jalan di India bukan kota besar atau inti tidak begitu padat. Bus melaju antara 80Km-100Km. Aku tidur karena kurang cukup istirahat. Dan tak terasa sudah di Ibu Kota.

Lalu kami menuju moda raya transportasi (MRT) menuju bandara. Entah bodoh atau apa, kami lupa jalurnya. Petugas MRT juga tidak begitu banyak bisa bahasa Inggris. Timbal balik komunikasi tidak ada.

Untung waktu masih banyak jadi tidak perlu terburu-buru atau cemas. Aku bertanya dengan pengguna MRT. Kupilih yang muda karena pasti bisa bahasa Inggris.

Ternyata dia juga tidak hapal rute MRT. Wajar sih. Aku pun kalau ditanya rute MRT atau kereta rel listrik di Indonesia juga pasti tidak tahu.

Meski tidak hapal, orang itu membuka aplikasi MRT. Lalu dia tunjukkan jalurnya. Setelah itu Ali mengunduh aplikasi tersebut. Dengan begitu kami tidak perlu kebingunan lagi.

Pesawat kami terbang pada pukul 22.05. Berdasarkan jadwal, kami akan tiba di Indonesia jam 08.45. Selesai sudah perjalanan Aku bersama Ali. Sangat mengesankan. Bisa dibilang salah satu perjalanan terbaik selama hidup karena banyak pelajaran yang diambil.

Dari sini, rasa ingin menjelajah daerah baru lainnya makin menggebu. Aku belum tahu akan ke mana. Tapi tunggu saja tulisan selanjutnya. Tentu jika punya cuti banyak.

Tamat

Main Salju di India; Agra yang Kebalikan dari Old Manali

Bacaan sebelumnya klik di sini

Suasana dari MRT Nizamudin ke kereta jarak jauh.

Kami tiba di New Delhi sekitar pukul 06.30 waktu setempat. Bus yang kami naiki tidak berhenti di Inter State Bus Terminal (ISBT) Khasmere Gate. Lebih tepatnya kami harus berjalan beberapa puluh meter lalu menyebrang hingga sampai di lokasi.

Seperti yang sudah Aku tulis sebelumnya, ISBT juga terdapat moda raya transportasi (MRT). Tujuan kami hari ini adalah Taj Mahal. Bangunan bersejarah ini terletak di Agra. Dari MRT ISBT kami menuju Hazrat Nizamuddin Railway Station atau yang biasa disebut warga India dengan Nizamudin. Kode stasiun adalah NZM.

MRT Nizamudin dengan kereta jarak jauhnya tidak dalam satu gedung. Jadi kami harus keluar terminal MRT yang berada di lorong bawah tanah lalu jalan sekitar 100 meter. Menuju tempat tersebut banyak pedagang. Mulai dari sarapan pagi, buah, hingga barang elektronik.

Oh iya, biaya MRT Rs40 atau Rp8.000 (Rs1=Rp200). Waktu yang ditempuh tidak begitu lama. sekitar 40 menit. Lalu kami menaiki kereta jarak jauh ke Agra Cantt. Ali yang mengurus tiket. Beruntung kami datang pagi sehingga langsung dapat kereta. Karena setelah mencari informasi, jadwal tidak banyak.

Ali salah beli tiket. Karena bahasa Inggris dia kurang bagus dan penjaga loket kurang ramah, diberikanlah kami kelas kedua. Harganya Rs85. Dengan jarak sejauh itu, harusnya kami sadar bahwa yang kami beli bukan kelas yang nyaman.

Ini adalah tempat penumpang sangat berdesak-desakan. Seperti yang ada di media massa. Lebih parah dari kereta rel listrik (KRL) Indonesia saat jam berangkat dan pulang kerja.

Kereta kelas pertama. Bisa tidur.

Kecurigaan seharusnya menaiki berada di gerbong pepes ikan belum tiba. Awal mula menunggu kereta, kami normal-normal saja. Penumpang seperti biasa sangat tidak sabar. Mereka berlomba-lomba untuk bisa mendapat bangku. Padahal mereka membeli tiket kelas pertama dan pasti memperoleh kursi.

Mungkin karena kebiasaan buru-buru dan tidak mau diselak membuat mereka selalu dibawa rasa kecemasan. Beberapa saat kemudian kami naik juga dan mendapat kursi. Aku langsung mengisi daya telepon. Kebetulan ada colokan listrik.

Sekitar 15 menit setelahnya kereta jalan. Kami santai-santai, menikmati perjalanan, dan tentunya bermain telepon genggam. Aku mengecek peristiwa yang terjadi di Indonesia melalui berita daring. Tentu yang paling utama adalah memantau aktivitas teman-teman di media sosial.

Hingga akhirnya peristiwa itu tiba. Dimulai dari petugas kereta yang datang memeriksa tiket. Tiba-tiba nada suaranya meninggi. Dalam bahasa Inggris Aku berkata, "Kami tidak bisa bahasa Hindi."

Petugas pun tidak begitu lancar bahasa Inggris. Komunikasi tersendat. Jarinya menunjuk ke gerbong di ujung. Di situlah kami tahu bahwa salah tempat gara-gara salah beli tiket. Aku bilang, "Oke." Karena sepertinya dia menyuruh kami untuk pindah.

Aku berberes. Tapi orang yang duduk sebaris dengan kami meminta untuk tenang dan tidak usah pindah. Aku menuruti kata-katanya. Aku kembali santai meski sebenarnya cemas. Karena petugas itu pasti akan kembali lagi.

Tiket kereta (kiri). Kertas tilang (kanan).

Benar saja. Dia datang lagi setelah mengecek semua tiket penumpang. Dia menuliskan sesuatu. Lalu kami diminta membayar denda. Di kertas tilang itu tertulis bahasa Hindi. Tentu Aku tidak paham. Yang terbaca hanya tulisan 620. Sepertinya itu adalah jumlah yang harus dibayarkan. Ya sudah lah. Jadi pengalaman bodoh dan lucu saja. Lagi pula tidak terlalu besar. Jika dirupiahkan sekitar Rp124,000.

Perjalanan ke Agra Cantt memakan waktu tiga jam. sekitar jam setengah 12 kami tiba. Kebetulan hari ini Jumat. Aku membayangkan bisa salat Jumat di Taj Mahal.

Tak terasa kami sampai di terminal pemberhentian. Aku bisa memejamkan mata sebentar karena sudah merasa aman dengan kena denda.

Di perjalanan Ali telah memesan hotel melalui aplikasi. Lokasinya berada dalam satu wilayah Taj Mahal. Harganya juga murah. Rs900 (Rp180.000) per malam. Keluar stasiun kami mencari kendaraan menuju hotel. Tersedia taksi dan bajaj. Tentu Aku memilih bajaj karena yakin lebih murah. Selain itu ini adalah salah satu transportasi khas India,

Proses tawar-menawar terjadi. Dari Rs300, kami dapat Rs150 (Rp30.000) karena hanya 6Km atau sekitar 20 menit perjalanan. Benar-benar dah di India. Semua harus negosiasi. Indonesia juga sebenarnya demikian sih.

Seperti judul, Keadaan di Agra dan Old Manali sungguh seperti minyak dan air. Sangat tidak sama.Mulai dari cuaca, di sini tidak ada salju. Memang suhu sekitar 20 derajat dan masuk dalam keadaan dingin.

Tapi Aku yang sudah terbiasa dengan di bawah titik beku merasa harus kembali menyesuaikan badan. Madu tetap tidak lupa Aku minum setiap hari. Ini tetap membuat Aku terus bugar. Meski tidak butuh jaket, Aku tetap tidak bisa mandi. Airnya dingin. Seperti air Puncak, Bogor.

Dari suasana, di sini sangat bising. Aku mulai terasa sudah di India asli. Warga yang tidak terbiasa antre, selalu terburu-buru, dan suara klakson yang tidak pernah berhenti. Oh ya satu lagi, bergerombol kalau ada sesuatu.

Kebetulan saat Aku menuju hotel terjadi tabrakan kecil. Pengemudi jatuh. Seketika yang menonton banyak. Yang jatuh itu pun adu mulut di tempat. Tidak peduli telah membuat macet. Padahal bisa berkelahi di pinggir jalan. Tapi mereka memilih lain.

Yang paling aneh adalah di saat itu klakson tetap berbunyi. Begitu pula oleh sopir bajaj yang Aku naiki. Dia terus menekan suara penanda tapi berjalan pelan saat bersebelahan dengan lokasi kejadian. Dia tidak mau terjebak macet tapi membuat jalan padat. Hhmmmm.

Aku sendiri mulai merasa tidak nyaman dengan keadaan ini. Padahal belum sejam di Agra. Tapi kegaduhannya melebihi Jakarta. Rasa-rasanya sedang bekerja saja. Padahal ini kan liburan. Old Manali memang terbaik.

Akhirnya kami tiba juga di 20 menit dalam kebisingan. Masalah lain muncul. Saat hotel sudah dibayar, yang punya hotel bilang tidak bisa menerima pembayaran dengan aplikasi. Alasannya eror. Oleh karena itu, dia meminta pembayaran langsung saja. Kesal memang. Padahal itu kan problem dia.

Masalahnya duit sudah keluar. Sedangkan kami sudah di hotel. Sementara itu harga pembayaran langsung lebih mahal. Ingin rasanya keluar dan mencari yang lain. Tapi akhirnya Aku urung. Lagi-lagi Aku tawar seharga aplikasi. Akhirnya dia mau.

Kondisi kamar tidak begitu bagus. Kecil dan tidak ada pengatur suhu. Kalau musim dingin pasti bisa membeku. Karena saat ini dindingnya terasa dingin.

Satu kebodohan lagi yang sebenarnya karena kurang riset adalah Taj Mahal tutup di hari Jumat. Itu berarti kami tidak bisa ke sana dan merasakan Salat Jumat di salah satu tempat keajaiban dunia ini. Aku tak tahu apakah ada ritual ibadah atau tidak di sana karena sudah terlanjur percaya dengan kata petugas hotel.

Padahal kan Aku muslim juga. Seharusnya bisa ikut dalam ibadah tersebut. Itu baru terpikir beberapa jam kemudian. Sungguh bodoh. Mungkin karena lapar sehingga tidak konsentrasi dan otak tidak cair.

Pasar rakyat.

Beruntung sore hari ada pasar rakyat jadi ada kegiatan. Ini semacam pasar malam. Dibuka mulai sore hari. Tiket masuknya murah. Aku lupa. Tapi tidak lebih dari Rs5. Di dalamnya ada berbagai macam jualan dari cendera mata, perkakas rumah tangga, hingga kuliner.

Bersambung...

Main Salju di India; Tinggalkan Old Manali Menuju Agra

Bacaan sebelumnya klik di sini

Cuaca hari ini

Hal pertama yang Aku lakukan saat tersadar dari tidur adalah membuka tirai jendela. Berharap hari ini cerah. Doa dikabul Tuhan. Matahari pagi ini dengan gagah menampakkan diri. Cahayanya melelehkan salju yang terkumpul di atap maupun pepohonan.

Tidak ada tanda-tanda bakal turun salju lagi dengan lebat hari ini. Langit sangat biru. Awan jarang tampak. Kalau begitu masih ada kesempatan untuk menuju Solang Valley.

Aku membangunkan Ali agar siap-siap memulai eksplorasi. Hari ini pula kami mengembalikan kunci kepada petugas hotel. Motor sewaan juga tidak ada karena kemarin sore adalah batas akhir.

Lalu kami ke Solang dengan apa? Lagi-lagi rencana mentah. Kendaraan umum juga tidak ada. Akhirnya kami jalan menuju alun-alun yang juga ada stasiun. Memang jaraknya tidak begitu jauh. Sekitar 3 kilometer.

Kami jalan sekalian menanyakan penyewaan mobil. Bagaimanapun harus naik kendaraan ke Solang. Begitu pula tempat kami menaiki bus ke Agra, tempat wisata selanjutnya. Penjual tiket bilang bukan di alun-alun, tapi di Patlikul.

Mobil-mobil jeep yang terparkir di pinggir jalan Aku tanya. Berapa dia menawarkan harga ke Solang dan terminal Patlikul. Beberapa orang tidak cocok dengan harga kami. Selain itu tidak ada yang berani ke Solang karena jalan tertutup salju sehingga licin.

Ya sudah kami jalan mencari yang lain sembari menuju alun-alun. Beberapa menit berselang Aku mendengar suara klakson. Salah seorang penyewa mobil kembali menawarkan harga.

Sebelumnya beberapa orang yang kami tanya menawarkan Rs2.500 atau Rp500.000 (Rs1=Rp200). Tentu Aku tolak. Sangat mahal. Kami bertahan dengan harga Rs1.000. Orang yang mendatangi ini menawar jadi Rs1.750. Akhirnya jalan tengah diambil. Rs1.500.

Memang lebih mahal dari sewa motor. Tapi tidak masalah. Daripada tak ada yang mau. Lagipula kami disupiri. Jadi anggap saja itu bonus karena sudah mengantarkan kami.

Belum sampai Solang mobil berhenti. “Kita tidak bisa melanjutkan. Jalur terlalu berbahaya,” kata supir. Tentu Aku kecewa. Berharap dia mau memaksakan mobilnya untuk terus melaju.

Wajar. Kesepakatan awal adalah dia bersedia mengantar hingga Solang. Kalau tahu seperti ini kan pasti Rs1.500 ditolak. Adu mulut sedikit, akhirnya dia bersedia menjalankan mobilnya. Akan tetapi beberapa ratus meter kemudian kembali berhenti.

Mengabadikan Nehru Kund. Jalan saja sulit karena terselimuti es

Sempat kesal memang. Tapi ya sudah lah. Aku tidak mau liburannya terganggu karena masalah seperti ini. Lagipula, dia ada benarnya. Jalan licin dan ban tidak memadai melewati jalan yang terselimuti es. Aku juga tak melihat ada mobil yang melaju lebih dari kami.

Jeep berhenti di Nehru Kund, beberapa kilometer dari Solang. Akhirnya Aku dan Ali mengabadikan momen di Pegunungan Himalaya ini. Foto-foto selesai dan kami memutuskan untuk menikmati pemandangan saja.

Nehru Kund ada titik menyewa peralatan ski, Atv, dan sejenisnya. Jadi kalau sudah di lokasi bisa maksimal merasakan wahana yang ada.

Kalau belum tahu apa itu Solang, dia adalah perbukitan yang luas. Kalau musim dingin, salju menyelimuti sehingga dijadikan wisata ski dan paralayang apabila musim panas. Akan tetapi jalur memang kurang bagus. Bisa melewati itu dengan kendaraan khusus seperti Atv. Itu harus menyewa lagi.

Dan kami diturunkan persis sekitar Nehru Kund. Aku merasa sudah ada kesepakatan warga sekitar agar pelancong mau tak mau harus menggunakan jasa itu. Sayang, cuaca memang habis buruk dan membuat jalan licin. Kalau tidak, Aku bisa melewati dengan sepeda motor.

Gagal mengantarkan kami ke Solang, supir membawa ke tempat lain. Sepertinya dia tahu kalau Aku sangat kecewa. Meski tempatnya lagi-lagi hanya wihara, Aku mengapresiasi. Sekalian jalan-jalan dan menunggu hingga sore.

Bus yang parkir bukan di sisi kiri saja, tapi juga kanan

Jelang sore kami ke terminal. Sebelum jam 16.00 kami sudah tiba di lokasi. Aku kira Patlikul adalah seperti terminal pada umunya. Ternyata tidak. Hanya bus-bus yang diparkir di pinggir jalan. Sepanjang 1 Km kendaraan berbaris.

Sementara itu Aku tidak tahu bus kami yang mana. Di sini muncul kekhawatiran akan dibohongi lagi. Aku hubungi penjual tiket. Dia memberikan nomor bus. Masalahnya Aku tidak tahu yang mana. Ada banyak di sini.

Aku hubungi lagi. Diberikannya kontak seorang kernet. Aku bersyukur meski ada masalah, ada pula kemudahan. Kartu perdana yang kami beli ternyata bisa digunakan untuk menelepon. Padahal tidak ada pulsa.

Masa bodoh dengan biaya telepon. Yang penting urusan ini selesai dulu. Yang lain bisa menyusul. Pada kenyataannya tidak ada masalah setelahnya. Ternyata gratis. Mungkin bonus pembelian perdana.

Beberapa kali telepon kernet, akhirnya ketemu juga dengan bus. Ternyata dia ada di ujung bus parkir. Sebenarnya tidak ada batasannya. Kalau ada bus menaruh kendaraan di depannya lagi juga bisa. Tapi kebetulan tidak ada.

Aku tenang. Perjalanan menuju Agra bisa dimulai sekarang. Waktu yang dibutuhkan ke Delhi sekitar 12 jam. Seperti yang Aku tulis sebelumnya, pengendara di sini sangat menjaga betul konsentrasi. Setiap 3—4 jam sekali mereka berhenti sejenak untuk mengambil istirahat. Oh iya, harga tiketnya Rs800 atau Rp160.000

Bagus. Kondisi jalan di sini bagiku sangat mengerikan. Supir bisa membawa 40 Km/jam di jalan berliku. Saat berbelok membuat linu. Aku sangat khawatir. Sampai-sampai tidak bisa tidur.

Seandainya saat perjalanan ke Old Manali sebelumnya adalah pagi atau terpapar sinar matahari, pasti Aku trauma menaiki jalur darat. Ditambah lagi kami selalu duduk paling depan. Sangat terlihat ujung bus hampir mencium pembatas. Salah konsentrasi dikit, semua penumpang ke terjun jurang.

Aku memaksakan diri untuk memejamkan mata. Doa pun dipanjatkan agar selamat juga bisa tertidur. Rasanya butuh sejam hingga Aku setengah sadar.

Saat hampir benar-benar terlelap bus berhenti. Beberapa pria berseragam masuk dan melihat setiap penumpang. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Ali dengan sok tahu bilang karena menjaga dari pemberontak. Maklum, jalur kami berdekatan dengan Kashmir. Perbatasan antara India dengan Pakistan.

Sehari sebelumnya juga beberapa televisi lokal memberitakan daerah ini. Suasana memang sedang memanas. Sepertinya sampai Aku menulis ini. Tapi Aku tidak terlalu peduli. Petugas itu tidak mengganggu. Sekitar 10 menit bus sudah jalan lagi. Aku mencoba meneruskan tidur dan berdoa agar perjalanan memompa denyut jantung ini cepat selesai.

Bersambung ...