Telusur Labuan Bajo; Enek Enak ke Wae Rebo




Awal tahun 2019 seorang hubungan masyarakat PT JNE yang sudah lama tidak komunikasi dengan Aku tiba-tiba mengirim pesan instan. Awal pembicaraan dia menanyakan kabar. Tentu Aku jawab baik sembari menulis semoga dia juga demikian.

Kalimat pertama Aku kirim. Kiriman kedua Aku langsung bertanya tanpa basa-basi, "Ada yang bisa dibantu?" Biasanya orang yang jarang saling sapa lalu muncul dipastikan ada sesuatu.

Ternyata benar. Beruntung, kabar baik. Aku dapat kesempatan pergi ke Pulau Komodo, Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT) dari perusahaan tersebut. Ternyata tahun lalu Aku adalah salah satu orang yang sering memberitakan tentang korporasinya. Bagian dari sebuah apresiasi kata dia.

Sebenarnya itu hanya kebutuhan sendiri saja sih. Aku membutuhkan informasi dan menuliskannya menjadi sebuah berita. Dan juga tidak terlalu sering karena hanya setengah tahun Aku aktif di desk itu.

Sisanya Aku dipindah untuk mengurusi politik. Dan ternyata memang benar. Aku adalah orang cadangan. Ada teman satu kantor yang dapat. Tapi karena dia tidak bisa, akulah yang menggantikannya. Ya sudah. Rezeki.

Agendanya berlangsung pada 24-27 Januari 2019. Tentu itu adalah hari kerja. Aku harus izin terlebih dahulu kepada atasan. Siapa tahu saja bukan Aku yang ditugaskan. Tapi JNE meminta kalau bisa agar Aku saja yang berangkat. Iya lah Aku juga mau kok!

Pulau Komodo adalah salah satu yang Aku impikan bahkan sejak kecil. Aku ingin sekali bisa melihat Komodo, hewan purba yang hanya ada di Indonesia, bahkan dunia. Tapi kan ada kehendak lain. Ya tapi sesuai keinginan sih. Atasan mengizinkannya.


Agenda perjalanan tiba. Di hari pertama kami menengok kantor JNE di Labuan Bajo. Karena ini adalah agenda senang-senang, Aku tidak terlalu mengeksplorasi untuk dijadikan sebuah berita. Setelah itu kami bergeser ke rumah binaan perusahaan di bidang logistik itu.

Rumah binaan tidak terlalu jauh dari bandara. 15 menit perjalanan sudah sampai. Ada banyak kerajinan yang dihasilkan di sana. Segala jenis cinderamata khas Nusa Tenggara Timur, khususnya Labuan Bajo ada di sini.

Ada juga taman bacaan. Kalau ada itu, mau tidak mau harus tersedia tempat buat menikmati buku. Rumah binaan menyediakan makanan dan minuman. Kami para rombongan menghabiskan siang di sini.

Tak terasa dua jam kami habiskan di rumah binaan. Waktu menunjukkan 15.30 WITA. Agen wisata yang memimpin kegiatan kemudian membawa kami ke pelabuhan. Melihat suasana di pinggir pantai.

Katanya besok perjalanan kami dimulai di sini. Berdasarkan jadwal, kami pergi ke Pulau Kalong sambil menyelam, Pulau Rinca melihat Komodo, Goa Kalong menikmati matahari terbenam sembari melihat kawanan kalelawar keluar kandang, dan Pulau Padar untuk bersandar yang diakhiri istirahat.

Meski begitu ada pengecualian. "Jika ombak tenang". Maklum, Januari akhir hingga beberapa minggu ke depan itu cuaca sedang tidak bagus di Indonesia. Begitu pula di Labuan Bajo. Ombak belakangan tinggi-tinggi. Bisa mencapai 3 meter katanya. Waaahh ngeri juga sih. Jika kondisi buruk itu terjadi, agenda perjalanan diganti.

Lalu ke mana kami? ke Wae Rebo. Yah lumayan lah. Alternatif yang tidak begitu buruk. Sebenarnya Aku juga mau ke sana selain liat Komodo. Kalau bisa dua-duanya kenapa tidak? Sayang dengan waktu yang hanya tiga hari tidak memungkinkan kami mendapatkan semua tempat wisata yang ada di Bajo.

Ada yang harus dikorbankan. Tapi dalam hati ingin sekali bisa mendapatkan keduanya. Terserah agenda lainnya jika memang dihapus. Aku tidak begitu peduli.

Setelah itu kami geser ke hotel. Lokasinya di pinggir pantai. Berhubung sudah sore, kami membersihkan diri dan bersantai menunggu datangnya malam. Tadinya kami ada agenda bakar jagung menikmati deburan ombak. Tapi agenda dibatalkan karena angin kencang. Ya sudah semua kembali ke kamar masing-masing dan bersiap perjalanan besok.

Kami diminta bangun jam pagi. Jam 07.30 sudah harus siap karena agenda padat. Sesuai jadwal kami sudah selesai sarapan dan mandi sebelum waktu yang ditentukan.

Ketua acara memberi kabar bahwa cuaca buruk. Ombak tinggi meski tidak sebesar sebelumnya. Tapi dia tidak mau ambil resiko. Ini masalah nyawa. Oleh karena itu kami memakai rencana cadangan. Ya, ke Wae Rebo.

Tempat ini cukup terkenal. Negeri di awas awan. Begitu julukannya. Tapi jalannya cukup jauh. Dari pelabuhan, kami bergerak ke arah tenggara melalui jalur darat. Waktu yang ditempuh memakan waktu 4 jam.

Jangan salah. Tidak ada kemacetan di sini. Kalau berdasarkan peta, kami menuju Desa Dintor yang berjarak sekitar 130 Km. Jalannya berliku. Sangat mengocok perut. Kalau tidak tahan, semua yang ada di dalamnya bisa keluar.

Beberapa rombongan jadi korban. Kami harus tiga kali mengambil nafas sebentar untuk menenangkan lambung. Aku melihat yang tidak sanggup berwajah pucat. Mau bagaimana lagi. Tidak ada jalur lain.


Masih ada halangan lainnya. Kami harus berjalan di pinggir pantai dengan rintangan bebatuan kecil. Sebenarnya rute tersebut bisa tidak dilewati asal jembatan yang tidak jauh dari situ selesai. Akan tetapi tak kunjung kelar.

Akhirnya kami harus melewatinya. Semua penumpang harus turun. Karena kalau kelebihan beban, ban bisa tenggelam oleh batu. Benar saja. Satu mobil selip. Beberapa kali digas tidak mau bergerak. Kesalahan fatal supir adalah tidak sabar dan menginjak gas terlalu dalam.

Karena putaran roda terlalu cepat, batu-batu kecil yang tertumpuk tidak sanggup menahan dan buyar. Kami mencari bantalan seperti batu yang lebih besar dan kayu. Sambil dibantu dorongan manusia agar bisa memiliki daya tolak cukup kuat.

"Satu...dua...tigaaa..." Kami mendorong. Setelah berjibaku akhirnya mobil keluar dari kubangan batu. Satu kendaraan akhirnya berhasil melewatinya. Masih ada dua lagi. Supir berikutnya kami wanti, "Jangan tekan gas cukup kuat ya Pak. Santai saja biar tidak tenggelam." Benar saja. mobil ini tidak memiliki halangan yang berarti. Begitu juga kloter terakhir.

Akhirnya kami sampai di Desa Dintor. Mobil hanya bisa sampai di sini. Selanjutnya adalah menggunakan sepeda motor. Tidak terlalu jauh sih karena hanya memakan waktu 10 menit. Tapi kan dibayarin, jadi tidak apa-apa. Sisanya kami harus jalan.

Rintangan selanjutnya. Bagi yang tidak biasa menanjak, berjalan kaki menuju Wae Rebo sangat berat. Jalannya sedikit miring dengan kondisi jalan yang licin. Habis hujan sepertinya. Dan akan terjadi lagi karena langit sangat pekat.

Setapak demi setapak kami berjalan pelan. Beberapa kali harus ada yang memegang lutut dan mengambil nafas. Belum lagi Pacet menempel di kaki. Tiba-tiba sudah membengkak sebesar sedotan dari awal seperti benang saking enaknya menyedot darah. Aku juga jadi korban. Sangat tidak terasa. Setelah dilepas, baru terasa nyeri jika ditekan.

Tiba-tiba hujan turun deras. Untung kami sudah siap dengan jas hujan jadi bisa terus melanjutkan perjalanan. Padahal, sudah mau sampai. Benar saja, 10 menit kemudian bangunan khas Wae Rebo terlihat setelah menempuh dua jam perjalanan.

Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 WITA. Tak terasa sudah sore. Perjalanan yang sangat panjang dan rintangan yang menghadang membuat kami lupa dengan waktu

Pemandu jalan saat masih di bawah mewanti agar tidak mengabadikan gambar di sekitar lingkungan termasuk Mbaru Niang, rumah adat Wae Rebo. Kami harus diterima oleh kepala adat dan melakukan ritual kecil-kecilan terlebih dahulu agar bisa diterima oleh roh leluhur. Kalau tidak, "mereka" bisa bertanya-tanya.

Pertemuan dimulai. Salah satu tetua menyambut kami. Dia bercerita tentang sejarah Wae Rebo. Mulai dari fungsi Mbaru Niang hingga ke mana anak cucu mereka setelah besar. Kebanyakan tidak lagi berada di sini demi menjaga populasi.

Wae Rebo terdapat 5 bangunan. Setiap rumah berisi delapan kepala keluarga. Rumah setinggi 15 meter dan terdapat lima lantai. Masing-masing memiliki fungsi seperti ruang kumpul hingga menaruh hasil alam yang dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-hari. Hanya ada satu dapur dan ruang tengah untuk digunakan bersama-sama.

Upacara adat selesai. Tetua adat mengucapkan kalimat berbahasa yang tidak kami mengerti. Tak lama seorang penghubung tetua atau pemandu mengatakan bahwa kami sudah diterima dan bisa mengabadikan gambar.

Wae Rebo cukup dingin saat matahari terbenam. Maklum, Berada di ketinggian 1.200 di atas permukaan laut. Lokasinya tepat di puncak bukit dan tidak ada pepohonan yang mengelilingi. Angin bisa bebas menerabas kulit.


Akan tetapi berbeda jika masuk Mbaru Niang. Meski sederhana karena tertutupi daun lontar yang dianyam, kondisi di dalamnya sangat hangat. Betah sekali berlama-lama di sana.

Saatnya makan malam. Menunya sederhana. Telur, sambal, dan sayuran. Entah mengapa rasanya begitu enak. Aku nambah karena lapar juga.

Lambung sudah penuh. Malam juga semakin larut. Kami tidak bisa berlama-lama atau sampai siang karena masih ada perjalanan lain. Pagi sekali harus sudah pergi. Perjalanan enek tapi enak.

Bersambung...

Previous
Next Post »
0 Komentar