Jalan-Jalan ke Negeri Siluman



Perjalanan ini tak terencanakan sebelumnya karena Aku ada Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut (PJTL), Sabtu 7 Mei 2011. Tapi ternyata acara PJTL selesai lebih awal dari yang Aku duga, karena dari 3 hari PJTL sebelumnya, Aku selalu pulang malam, dan itu selalu diatas jam 9 malam.
Sebelum magrib Aku sudah menyelesaikan acara itu, dan Aku langsung mengirim pesan ke Ilham atau akrab dikenal Tompel karena dia punya tompel yang khas, sedang di mana dia. Ternyata ia masih di kampus 2, karena di sana lagi ada acara dan mengundang band ternama (Efek Rumah Kaca, The Rain). Di sana juga ada Turi mau nonton penampilan band cem-ceman-nya.
Sebenarnya Dewi juga ada yang sedang modus sama seperti Turi. Karena mereka sedang suka dengan anak band, dan mereka sedang tampil jadi Turi dan Dewi datang untuk menyaksikan penampilan mereka. Ternyata saat Aku tiba di sana acaranya sudah selesai, dan tak mau menyiakan kedatanganku Kami pun berbincang seru. Tiba-tiba Aku punya ide untuk jalan-jalan, sekalian menemani Turi sama Dewi yang lagi tak punya kerjaan di malam minggu.
Oh iya, sebelumnya Aku kenalin dulu pemain-pemain yang ada dalam cerita ini.



Perkenalannya dari sebelah kanan ya, kita belajar membaca Bahasa Arab. Karena membaca Bahasa Arab itu dari kanan J. Yang paling kanan itu Turi, sebelahnya Dewi, terus Ilham, yang kedua terakhir itu temannya tompel, tapi Aku lupa namanya. Padahal saat itu sudah kenalan dengan mereka.
 Kalau masih belum kenal Aku atau sang penulis, ini fotonya. Maaf kalau agak narsis.
Sebelum berlanjut ke cerita, Aku perkenalkan dulu karakter dari mereka. Turi, dia agak sedikit lebih kalau melakukan sesuatu, suka ngeledek orang juga, kalau ketawa berisik apalagi kalau ada Dewi di sebelahnya.
Dewi, mungkin hampir sama kelakuannya dengan Turi karena pikiran mereka seperti terdoktrin untuk melakukan hal yang sama. Sebenarnya bukan mereka saja yang sifatnya sama, tapi ada lagi sahabat mereka yang memiliki tingkah laku hampir mirip. Dan kali ini sahabat mereka sedang ada urusannya masing-masing jadi tidak ikut datang menemani mereka.
Tompel, kalau dia agak aneh dengan kelakuan-kelakuan yang terkadang benar-benar gila. Kalau ngomong suka sok bijak padahal dia bukan orang dengan tipe seperti itu. Tapi kelakuannya memang sangat konyol. Kalau kedua temannya Tompel Aku kurang tahu karena baru pertama kali kenal, jadi belum tahu karakternya, dan mereka juga cuma figuran.
Berlanjut ke cerita, setelah sepakat buat jalan-jalan, lalu Aku ke sekretariat Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTITUT, karena di sana ada helm. Wanitanya pulang ke kos untuk persiapan dan sekitar setengah sembilan kita berangkat. Di jalan tiba-tiba temannya Tompel muncul, mereka yang berada di sebelah kiri foto. Dan Aku agak sedikit kaget karena mengira kita hanya berempat
Di jalan Kami tercengang ketika jalan di Jakarta sedang ada pemutaran, setelah mengarungi perjalanan yang cukup panjang, Kami pun sampai di Kota Tua, dan ternyata di sana sangat ramai seperti di pasar. Kami pun menemukan tempat untuk melepas rasa lelah setelah efek dari perjalanan yang diputar-putar oleh polisi.
Di sana kita berbincang ditemani kopi dan beberapa rokok dari berbagai merk, dan Dewi membeli rujak. Entah apa yang ada dalam pikirannya makan rujak di tengah malam seperti ini, yang lebih mengherankan rujak itu hanya berisikan garam. Mungkin dia sudah tak tahan mau nikah, jadi mau makan yang asin-asin.
Setelah selesai dengan perbincangan sambil nguping Dewi dan Turi (Mencurahkan Hati) Curhat, Kami melanjutkan perjalanan kembali. Acara narsis-narsisan pun terjadi, para wanita meminta untuk difoto. Mereka memang banci kamera, tak mau melewatkan momen sedikit pun ketika sedang di mana saja.
setelah selesai melakukan sesi pemotretan, teman tompel pun pulang karena sudah jam 12 lewat. Tapi Kami masih belum puas berkelana di Kota Tua saja, para wanita juga tak mau pulang jam segini. Akhirnya Kami bergegas ke (Monumen Nasional) Monas, dan di sana Aku dan Tompel tidur-tiduran saja karena memang agak ngantuk. Dan para wanita kembali Curhat.
Setelah bosan dengan kehidupan Monas yang gitu-gitu saja, Kami memutuskan untuk pulang. Tompel memilih jalan yang bukan biasanya, ia milih lewat Kunigan yang nanti akan tembus ke Ragunan. Terpikir dalam benak bahwa perjalanan akan terasa lebih lama, dan itu ternyata benar.
Sebelum melanjutkan cerita perjalanan, ada hal konyol terjadi. Kira-kira di Mampang saat motorku dan Tompel bergandengan, Dewi iseng melihat Tompel. Dewi kaget ternyata Tompel bawa motor sambil merem, ia teriak-teriak ke Turi kalau Tompel bawa motor sambil tidur. Turi pun akhirnya ikut-ikutan teriak sambil mukul Tompel supaya bangun.
Tompel menghentikan kendaraannya setelah melihat warung lalu beli rokok. Ia merokok sambil bawa motor supaya tidak ngantuk lagi, dan Dewi selalu melihat Tompel kalau kami jalan bergandengan di jalan yang sepi melewati pertokoan yang tertutup rapat.
Saat di perempatan Ragunan Tompel melakukan hal konyol lagi, harusnya dari Mampang kita ke Ciputat, tapi Tompel malah lurus terus ke Ragunan. Aku kira Tompel mau lewat jalan yang lebih cepat, ternyata dia kelewatan dan kita muter balik ke arah Ciputat. Kalau bingung ini ada gambarnya.

Kukejar Tompel, aku menanyakan apa yang terjadi. Dan ia mengakui bahwa telah salah memilih jalan. Kami pun memutar-balikan kendaraan kami ke jalan yang sebenarnya, tapi orang tak dikenal berkata kepada setiap orang yang ia temui. “Ada razia…” teriaknya panik. Mendengar hal itu, Tompel tak karuan menahan kegalauannya. Ia juga panik karena belum mempunyai Surat Izin Mengemudi (SIM).
Perjalanan pulang pun semakin panjang, karena Tompel mencari jalan yang tidak ada penjagaan dari polisi. Semakin jauh berjalan semakin gelap tempat yang kami lalui, rasa takut pun muncul dalam benak pikiran. “Semoga tidak ada orang jalan yang memberhentikan kami,” ucap ku berdoa kepada Sang Kuasa.
Aku pun tak tahu sudah berapa belokan yang sudah kami lalui, dan secercah harapan muncul saat melihat petunjuk jalan. Tapi kebingungan semakin mengantui pikiran kami ketika nama jalan yang kami cari tidak ada. Hanya ada pertunjuk ke Ciganjur dan Cinere. Dan kami memilih jalan yang semakin jauh untuk pulang.
Dewi bertanya kepadaku. “Emang ini jalannya bener,” tanyanya panik. Aku pun menjawab bijak seraya menghibur kepadanya yang juga pendatang baru di Ciputat dan tak mengerti daerah sekitar sini, karena menurutku pasti kami akan menemui jalan yang kami tahu.
Kami semakin bingung karena jalan berubah menjadi perkampungan yang semakin kami tak kenal. Akhirnya kami bertanya kepada bapak tua yang belum tertidur dan masih berbincang dengan karibnya. Kami menanyakan arah ke Ciputat, tapi ia tak tahu di mana negeri Ciputat. Akhirnya ia mengetahui jalan saat kami meminta jalan ke Sawangan, dan kami pun diberi petunjuk jalan kesana.
Perjalanan kami lanjutkan kembali, terdapat tiga jalan dan kami memilih untuk lurus terus. Beberapa meter setelahnya kami menemukan papan jalan, ke kiri Parung dan lurus Lebak Bulus. Insting memilih untuk belok kiri, tapi kami memilih untuk kea rah Lebak Bulus karena jalan menuju Parung sangat gelap.
Satu sampai dua kilometer berjalan, kami melihat sebuah gerbang besar dan di dalamnya terdapat masjid megah. Setelah aku telisik, didapatlah kesimpulan kalau kami sedang di Meruyung, Depok, karena masjid yang kami lihat itu adalah Masjid Kubah Emas yang cukup terkenal di Jakarta.
Terlihat tampang letih, mengantuk, dan kecewa pada raut wajah Tompel dan Turi karena tahu bahwa perjalanan masih cukup jauh. Tapi kami terus melanjutkan perjalanan walaupun rasa kantuk menyiksa diri ini. Tak mau tertidur lagi saat mengendarai motor, Tompel melakukan hal jahil kepada Turi.
Saat Turi mengajak Tompel bicara untuk mencairkan suasana yang sepi, Tompel menakuti Turi dengan rupanya yang seram dan memutar kepalanya kearah Turi, “Aku buukan Tompel…..” ucapnya seram dengan wajah yang sedikit disinari cahaya lampu jalan. Turi pun berteriak kencang sembari menyubit Tompel karena takut.
Aku dan Dewi tertawa melihat Turi teriak, dan saat Tompel mengisi motornya dengan bahan bakar, Dewi menanyakan apa yang terjadi tadi. Turi menceritakan semuanya, dan kami tertawa terbahak-bahak mendengar Turi dijahili Tompel yang memang suka berbuat aneh.
Perjalanan kami lanjutkan kembali, dan tiba-tiba Dewi berkata kalau ia mengenal daerah ini, dan ia menunjukan para pengendara untuk mengikuti jalan yang ditunjukan karena ia hapal jalan pintas menuju Ciputat. Aku dan Tompel mengikuti petunjuknya yang kini penjadi navigator kami.
Jalan berubah seperti di daerah pegunungan, tanjakan yang begitu tinggi beserta belokan tajam kami lewati, terdengar suara air deras yang ternyata terdapat sungai di sebelah kiri kami.  Setelah itu jalan begitu gelap disertai pohon-pohon rindang mengelilingi kami, dan mata tak ingin melihat ke arah pohon tersebut karena takut melihat hal yang tidak diinginkan.
Terlihat dari kejauhan ada jalan raya. Itu seperti kami sedang melihat cahaya menyilaukan setelah berjalan dari goa yang sangat gelap. Rasa senang tak bisa aku tutupi saat mengetahui sebentar lagi akan sampai Ciputat, itu berarti aku akan tiba di rumah tercinta. Aku dan Tompel telah mengantarkan para wanita ke kediaman mereka, kami pun pulang dengan rasa letih.
Rasa puas dan senang terukir dalam benak setelah melewati jalan panjang bersama sahabatku saat menghabiskan malam dengan canda tawa berserta pejalanan panjang ke negeri siluman yang tak pernah habis dan ada jalan keluarnya
Previous
Next Post »
10 Komentar
avatar

terlalu dibuat buat!!!

Balas
avatar

Lucu bang ceritanya, tp bahasanya masih biasa, lo coba berlatih trus biar kaya bahasa.

Balas
avatar

ga jelas, jalan ceritanya buyar di tengah jalan.
apalagi fotonya
hahaha

Balas
avatar

hahahahaa skolaan gw tuh, ciganjur :D

Balas
avatar

agagaaagg iyaa2 nanti qlo liburan. sabaaar :p

Balas
avatar

knp nunggu liburan? kan nulis cuma sebentar

Balas