Bersukurlah karena Masih Punya Rasa Sukur

Belakangan ini aku merasa hari lebih melelahkan. Berangkat kerja jam 12.30 tiba kantor satu jam kemudian. Pulang dari kantor jam 23.00 lalu mengecek gawai apa yang sudah dilakukan teman-teman juga info terkini dan baru tidur jam 02.00. Begitu terus. Itu ketika “dikandangin” di kantor. Kalau turun di lapangan bisa berangkat lebih pagi. Akan tetapi pulangnya bisa lebih cepat, bisa juga lebih panjang. Tergantung kebutuhan.

Dengan kegiatan seperti itu, aku tidak bisa beraktifitas di pagi hari. Selesai solat Subuh yang dilakukan bukan saat subuh, aku tidur lagi. Bangun-bangun persiapan untuk bekerja. Melakukan hal kecil seperti membaca buku atau menonton film di laptop pun sulit. Bahkan koran baru bisa dibaca pada malam hari. Kalau terlalu lelah, bisa tertunda hingga tiga hari.

Meski sangat sibuk hingga memikirkan jodoh saja tidak sempat, aku menikmati pekerjaan ini. Bekerja sebagai seorang yang berpindah-pindah dan bertemu dengan orang baru itu mengasikkan. Terlebih aku bisa berangkat agak siang sehingga tidak terjebak dalam hinanya kemacetan. Jalan padat di Jakarta itu membuat tua karena emosi mudah terpancing dan bawaannya marah melulu.

Puncak final Piala Bhayangkara 

Lalu bagaimana dengan pendapatan? Wah kalau itu jangan ditanya. Sedih kalau diceritain. Kalau kamu nangis saat nonton Habibie-Ainun, penghasilan kami yang bekerja di bidang ini lebih sedih dari itu. Kami menyuarakan buruh agar gajinya bisa naik, menggembor-gemborkan supaya kesejahteraan rakyat terjamin, tapi mengaca pada diri sendiri sebenarnya kami juga butuh itu.

Bahkan ada yang dari kami diberi gaji sepertiga dari upah minimum regional. Bayaran standar saja masih pas-pasan, ini malah jauh dibawah normal. Yang lebih kasihan lagi mereka sudah berkeluarga dan punya anak yang musti sekolah. Bisa dibayangkan bukan seperti apa mirisnya kami? Bagaimana mereka menghidupi sehari-hari? Jangan tanya aku. Aku tidak bisa menjawab karena saat ini sedang tidak mengalami itu.

Entah apakah akan pada posisi itu atau tidak, rezeki sudah ada yang mengatur. Pikirkan saja saat ini dan di depan yang dekat karena membayangkan hal jauh itu sulit. Yang jelas, beberapa cerita yang aku dengar, agar bisa hidup, orang yang dengan bayaran rendah ini menerima sampingan. Apakah itu halal? Lagi-lagi aku tidak kompeten untuk mengatakan itu. Aku merasa tidak pantas mencap baik atau buruk. Biarlah mereka-mereka itu yang menilainya.

Akan tetapi, beberapa aktivis melarang itu. Katanya itu bisa mengganggu kredibilitasnya. Tapi bagaimana lagi, apa mereka bisa memberikan kecukupan pada orang yang bisa dikatakan tertindas ini? Kalau bisa, aku juga akan ikut berdiri di depan menyuarakan larangan itu.

Suasana penggusuran di Kampung Aquarium, Jakarta Utara

Orang-orang ini juga sulit untuk pindah profesi karena sudah terbilang berusia dan hanya itu keahlian mereka. Itulah sebabnya beberapa temanku memilih tidak menjadi pekerjaan ini. Bahkan yang sudah terjun segera mencari tempat lain yang sekiranya bisa membuat lebih sejahtera. Masih muda tidak ada salahnya untuk berpindah-pindah. Begitu pikirnya.

Lalu bagaimana dengan aku? Aku masih lebih memilih tetap bertahan. Mungkin karena aku suka. Aku pernah bekerja di tempat yang hanya duduk saja dan berada terus dalam satu ruangan. Dan itu sangat sangat sangat membosankan. Aku membayangkan tidak akan bisa hidup dengan suasana seperti ini. Bisa gila dini. Kalaupun tidak gila, aku akan pensiun dan hidup sia-sia.

Itulah alasanku bisa bertahan. Lalu bagaimana dengan gaji? Aku tetap bersukur meski miris kalau diceritakan. Menurutku, kesedihan itu dirasakan kalau kita ceritakan dan diungapkan. Jika hanya cerita yang bahagia pada orang lain, pasti mereka berpikir bahwa pekerjaanku itu menyenangkan.

Aku baru sangat menyadari sekarang bahwa gajiku besar bukan karena materi yang aku dapat, tapi hal lainnya. Aku beruntung masih tinggal dengan orang tua karena uang tidak akan perlu keluar untuk sewa kontrakan. Selain itu aku tidak perlu mengeluarkan dana makan karena sudah disediakan. Paling tidak aku hanya makan sekali di luar.

Nikmat lain yang sekiranya merasakan bahwa aku punya gaji besar adalah seorang mama yang selalu merawat aku sampai sekarang. Bayangkan saja, ketika aku pulang kerja, dia yang menyediakan makanan, membereskan sepatu, mencuci motor jika motorku terlihat sangat kotor. Padahal aku tidak meminta untuk dicuci.

Begitu pula jika hujan deras. Aku yang pulang selalu malam dan langsung tidur, pasti setiap berangkat keesokannya sudah disiapkan semua peralatan bekerja yang layak pakai. Ketika aku terlelap kelelahan, mama yang menjemur helm dan sepatu yang basah karena hujan. Jas hujan juga sudah rapi dan siap dipakai jika hujan turun ketika aku berangkat kerja. Aku berpikir ini adalah rezeki lain yang Tuhan berikan.

Seandainya saja aku tidak tinggal dengan orang tua, pasti beda ceritanya. Karena teman-teman yang gajinya lebih besar bahkan sama seperti aku harus mengeluarkan uang ekstra. Bahkan mereka bilang untuk nabung pun sulit.

Seperti mendapat wahyu, aku sungguh merasa sangat beruntung lalu mengucap sukur pada Tuhan. Tidak masalah dengan gaji yang tidak begitu besar selagi aku masih mendapat kebahagiaan dan kenikmatan lain. Toh dengan begitu aku merasa punya penghasilan besar jika non materi ini dihitung.

Aku lebih sangat beruntung karena tidak punya iri dengan uang yang dimiliki orang lain. Aku juga tidak pernah latah memiliki barang baru atau mengikuti tren masa kini. Yang paling lebih beruntung aku memiliki rasa sukur. Ini adalah nikmat yang paling aku banggakan dan nikmati kini hingga seterusnya karena hanya dengan bersukurlah aku bisa menikmati hidup ini. Terima kasih Tuhan atas nikmat sukur yang engkau berikan.

Salah satu hiburan kami. 
Previous
Next Post »
0 Komentar