Kabar Baik Akbar Robbi; Awal Pertama Jumpa

Bacaan sebelumnya klik di sini

Di perjalanan pulang menuju rumah setelah menghabiskan malam, aku mencoba membongkar saat-saat pertama kali aku kenal Akbar Robbi. Kami satu kelas di tahun pertama SMA. Tapi aku tidak begitu langsung kenal dengannya. Tempat dia duduk pertama kali pun aku sungguh tidak tahu. Dulu, kami harus berpindah-pindah tempat karena sekolah masih belum punya bangunan utuh.

Tapi setelah sudah dapat kelas dan bangunan yang layak, sampai sekarang aku tetap masih lupa di mana Akbar duduk. Aku juga lupa dengan siapa dulu duduk. Maklum, kejadian itu sudah 10 tahun lalu. Aku tidak mungkin bisa merekam semuanya.

Balik ke pertama kali jumpa. Aku hanya mengingat bahwa kami pernah satu organisasi di ekstra kulikuler. Di sana momen aku mengenal Akbar. Aku pun baru tahu kalau dia satu kelas denganku. Pertama kali ke rumah dia beberapa minggu setelahnya ketika aku meminjam buku sekolah untuk difotokopi. Saat itu aku menyesal ke rumahnya karena sangat jauh. Jauh karena macet. Tapi itu dulu. Dengan keadaan sekarang yang aku sudah berkelana kemana-mana, rumah Akbar terasa dekat.

Lalu kami berpisah saat kenaikan kelas. Setelah itu aku tidak pernah satu kelas lagi. Meski begitu aku masih tetap main dengannya. Bahkan, jika kelas kosong dan bosan, aku pindah ke kelas dia. Pulang sekolah juga sama. Kami masih suka main bareng.

Bagaimana momen-momen yang kami lewati? Kalau membicarakan masalah kenangan, banyak sekali dan tidak akan mungkin ditulis di sini. Semua kegiatan sekolah sungguh menyenangkan. Sedikit sekali aku merasa ada kesedihan. Karena aku bahagia punya teman seperti mereka. Bahkan ketika libur atau malam minggu, pasti ada waktu bersama Akbar dan teman yang lain.

Namanya persahabatan pasti ada di mana rasa kecewa itu timbul. Aku pun pernah mengalaminya. Akan tetapi lupa kejadiannya. Aku sudah lupakan karena jika dipikir, itu hanya perasaan orang labil saja. Tidak sepantasnya pula aku sampai ngambek sama dia. Tapi setelah itu hubungan kami baik dan semakin akrab.

Sebenarnya aku bingung mau menceritakan Akbar darimana dan seperti apa. Alasannya banyak sekali cerita tentang dia. Karena ini adalah mengenai kehidupan barunya, aku putuskan untuk bercerita mengenai percintannya.

Kalau dipikir-pikir, semua teman yang aku kenal hampir semuanya pecundang. Pecundang dalam hal percintaan. Tidak ada yang berani sama wanita yang mereka suka. Salah satunya Akbar ini. Malah pacar pertamanya adalah orang yang belum pernah dia temui.

Waktu itu, masing-masing dari kami sudah memiliki telepon genggam. Maklum saja, usia kami saat itu sedang transisi dimana gawai mulai berkembang. Akbar yang sudah punya barang elektronik itu kemudian tidak mau kalah gaul dengan yang lain, yaitu meminta nomor wanita. Dalam kurun waktu yang kurang dari satu bulan, dia berkata sudah pacaran dengan wanita itu.

Lalu dia mengajak, “Jef, temanin gua ketemuan sama Dian (namanya aku lupa) yuk.” Tanpa basa-basi aku bersedia. Mau meledeknya tapi malas rasanya karena waktu itu dia seperti malu-malu. Karena wajahnya serius, aku ladeni dengan serius pula. Menjelang hari H, aku memastikan padanya kelanjutan pertemuan itu. Akbar menjawab dengan santai, “Ga usah. Gua sudah putus.”

Kalau dibayangkan lagi, aku mau tertawa rasanya. Tertawa keras di depan Akbar sambil meledeknya. Meledek bahwa dia sangat pecundang. Walaupun aku tahu nantinya pasti aku akan dibalas juga dengan bahan ledekan yang dia simpan juga.

Beda dulu beda sekarang. Kini, jangan ditanya lagi kejantanan Akbar. Sudah berapa wanita yang sudah jadi korbannya. Minimal sekecup dua kecup dapat dari orang yang pernah didekati. Bahkan di tempat kami tertawa bersama itu dia mengajak ke tempat pijit. Dia punya rekomendasi lokasi yang menawarkan wanita erotis serta pelayanan memuaskan dan tentunya dengan harga terjangkau.

Di pertemuan itu, lalu melenceng ke tempat begituan. Gara-gara pijit, hasrat para lelaki membuncah. Darah mereka memanas hingga ubun-ubun. Pega yang tidak sabar meminta Tio mencari wanita yang bisa dilobi. Akbar juga tak mau ketinggalan mencari lokasi. Sedangkan aku diam saja menunggu hasil.


Acara melepas lajang Akbar Robbi pun batal. Tidak ada wanita yang merespon. Tempat untuk pijit yang Akbar tahu juga sudah tidak ada karena digusur pemerintah. Akhirnya kami mencari topik lain. Kami tetap tertawa bahagia.

Di hari yang bersejarah untuk Akbar, lagi-lagi dia menunjukkan kepecundangannya. Meski sudah berlatih ijab kabul, Akbar masih lupa bagaimana melafalkannya dengan baik dan benar. Dua kali dia gagal. Di kesempatan yang terakhir, dituliskan kata-kata agar bisa terucap sempurna. Akhir cerita, upacara itu berakhir dengan bahagia.

Mungkin peristiwa lupa itu akan kembali dikenang suatu saat. Akan tetap kuingat untuk mempersiapkan amunisi meledek Akbar ketika bertemu lagi membicarakan pernikahan nanti. Selamat menempuh hidup baru Akbar Robbi dan pasangan. Sempatkan pula jika aku menikah nanti.


Previous
Next Post »
0 Komentar