Majalah Tempo Edisi Ulang Tahun ke-45, Keren!

Dulu, ingin sekali bisa menjadi wartawan Tempo. Bisa dibilang media massa ini adalah impian para mahasiswa yang idealis. Kenapa? Karena tulisannya sangat kritis. Semua orang yang bersalah “diinjak” tanpa takut intervensi dari pemilik. Kualitas tulisan pun menjadi barometer para pekerja media. Meski aku bukan orang yang sangat idealis, ingin ada dalam bagiannya menjadi keinginanku.


Di ulang tahun yang ke-45, media massa ini menghadirkan majalah edisi khusus yang judulnya, "Blak-blakan." ‎Awalnya aku kira itu soal pernyataan dari seorang narasumber yang jarang sekali bisa diwawancara. Narsum -singkatan untuk penyebutan narasumber- ini lalu mengatakan sesuatu yang belum diumbar oleh publik pula. 

Ternyata dugaanku salah. Ini adalah tulisan soal Tempo yang membeberkan rahasianya soal bagaimana dia bisa dapat berita investigasi yang eksklusif. Di sini tertera semuanya. Dari awal pertama kali dapat info, proses perdebatan baik pengajuan maupun pemilihan cover, hingga kesulitan di lapangan. Tentunya tetap aku rasa masih ada yang disembunyikan meski menggunakan kata blak-blakan. 

Aku baca tulisan ini kata demi kata kemudian membayangkan tiap penggambaran yang ditulis. Setiap kata yang tertulis aku pelajari untuk diri sendiri. Entah berapa kali bulu di tangan dan bagian leher berdiri, merinding karena takjum dengan kualitas para wartawan Tempo. Aku mengaca dan berpikir bahwa aku mungkin tidak akan mungkin bisa seperti mereka. 

Dikisahkan, para wartawan harus berpura-pura hanya untuk mendapatkan daging dari tulisan. ‎Aku pun pernah demikian. Hanya saja seperti yang sudah kutulis sebelumnya bahwa apa yang aku lakukan masih jauh di bawah kehebatan media yang khas dengan warna merah dan hitam ini.

Saat itu aku berpikir, “Wajar saja mereka bisa demikian. Kan hanya ditugaskan hanya satu berita. Waktunya juga panjang.” Kalimat itu hanya pembelaanku saja karena tidak bisa melampaui bahkan menyamai kemampuan mereka. Karena pada dasarnya para wartawan Tempo diberikan beban selain menulis majalah, juga koran dan website.

Beda sekali jika dibandingkan dengan aku yang hanya memang bekerja untuk majalah. Selain itu tidak ada kewajiban setiap hari harus menulis berita. Tugas yang diberikan juga ringan. Malu sekali rasanya kalau bertemu langsung dengan mereka dan membicarakan masalah pekerjaan.

Lupakan soal membandingkan pekerjaan. Karena kalau hanya membahas itu, tidak akan pernah kelar. Aku yakin teman-teman wartawan Tempo yang aku kenal pasti iri dengan aku yang pekerjaannya santai, tidak harus menulis setiap hari, dan tentunya tidak ada tekanan dari atasan. Sekali lagi kalau main banding-membanding, tidak akan pernah puas dan habis.

Aku buka halaman demi halaman majalah edisi khusus yang pasti selalu menjadi incaran wartawan ini. Salam redaksi aku baca untuk menerka apa tujuan, maksud, dan isi tulisan. Dari sini bisa aku tahu setengah dari bagian majalah ini.

Penasaran. Hanya itu yang ada dalam pikiran. Tak pernah aku bayangkan tulisannya akan seperti ini. Biasanya, aku banya membaca paragraf awal dari tulisan mereka karena hanya ingin tahu bagaimana mereka menggambarkan pembuka cerita. Di edisi ini, aku harus beribu-ribu kali angkat topi. Sangat mengagumkan. Inilah media yang aku dambakan meski sampai saat ini tidak pernah bisa ada di dalamnya.

Jika ekspresi yang aku gambarkan lewat tulisan ini ada yang merasa berlebihan, silakan kamu cari edisi khusus itu. Setelah dapat, cari waktu kosong untuk membaca karena kamu pasti akan penasaran kata demi kata yang dibuat. Singkat cerita, cuma di majalah edisi ini aku membaca berita sampai habis sehabis-habisnya.
Previous
Next Post »
0 Komentar