Aku Tetap Penulis

Akhir tahun 2013 aku bertemu dengan teman kuliah yang sudah bekerja. Tanpa ada janji, aku kebetulan melihatnya di kampus setelah langit terlihat gelap. Entah apa tujuannya aku menduga pasti dia akan berkunjung ke organisasi tempat dia dibesarkan. Sedangkan aku? Aku baru saja keluar dari perpustakaan karena masih sibuk mengurus skripsi dan tentunya kesibukan organisasi yang berbeda dengan teman ini.

Yah, aku belum lulus kuliah saat itu. Ada beberapa alasan yang tidak bisa dikatakan kenapa aku masih terlihat di kampus. Yang pasti keterlambatan menempuh strata satu adalah keinginan pribadi tanpa ada paksaan. Sebenarnya iri juga melihat teman yang sudah bebas dari tugas akhir dan melanjutkan ke jenjang baru. Tapi ini pilihan. Aku tidak boleh menyesal.

Momen terakhir aku berorganisasi di kampus. Di bulan itu pula aku sidang

Karena pertemuan ini adalah momen langka, aku menanyakan kabar dan bagaimana kehidupannya pascalulus. Teman ini baru selesai bekerja. Aku penasaran seperti apa dunia kerja. Perbincangan pun menjadi panjang. Di sela-sela berbagi pengalaman, dia sedikit curhat soal pekerjaannya. Apalagi kalau bukan masalah porsi kerja dan bayaran. Aku tetap penuh semangat mendengarkan biar nanti tidak kaget ketika mulai terjun ke dalamnya.

Perbincangan panjang ini kemudian berlanjut di warung makan. Masih dalam pembahasan yang sama, teman ini menawarkan sesuatu. “Lu kerja di tempat gua saja. Lagi buka lowongan,” katanya yang tahu aku akan segera wisuda.

Tanpa pikir panjang aku menolak. Ada beberapa alasan kenapa tanpa segan-segan aku tidak menerima. Pertama karena dia bekerja di media massa di bidang gambar bergerak, sedangkan sejak kuliah aku tidak berniat untuk bekerja di sana. Kedua, karena tidak ada pikiran berkerja di bidang itu, aku tidak memperdalam baik itu teori maupun praktek. Alasan terakhir yang membuat aku yakin karena aku adalah penulis.

Pada tawaran itu aku menjawab dengan hati-hati, “Gua mau coba jadi wartawan tulis dulu. kalau memang benar-benar mentok, itu jadi jalan terakhir.” Aku berkata demikian sebab tidak ingin jadi pria yang menjilat ludahnya sendiri. Tidak ada yang pernah menjamin kalau nanti aku akan terus menjadi kuli tinta.

Beberapa hari setelah sidang aku mencari informasi media tulis yang membuka lamaran. Semua yang aku tahu sedang buka ataupun tidak buka aku lempar, berharap ada satu yang nyangkut. Empat bulan menunggu tidak ada kepastian. Keyakinanku mulai goyah saat itu. Apa mungkin aku menaruh peruntungan di media audio visual itu?

Aku bingung. Empat bulan menyandang status pengangguran sungguh berat. Yang paling berat tidak ada kegiatan yang berguna. Dari orang yang super sibuk menjadi tanpa status membuat jiwa kaget. Di situ aku mulai linglung. Ingin sekali bisa memiliki penghasilan sendiri. Di tengah kegelisahan itu aku melamun. Memikirkan masa depan dan masa lalu. Apa saja yang telah aku lakukan, untuk apa, dan mau diapakan.

Lalu aku teringat akan ucapan pada teman itu. Keyakinan mulai tumbuh. Aku tetap berusaha mencoba untuk jadi penulis. Mungkin jika setelah lebaran masih belum ada kegelasan juga, aku coba memperluas jangkauan ke televisi.

Tuhan memberikan jawaban dari kegelisan beberapa hari kemudian. Tidak lama setelah itu, aku dipanggil untuk wawancara. Media massa yang mencoba rekrut karyawan baru itu adalah media tulis. Aku senang bukan main. Aku sangat berharap bisa diterima dari wawancara itu. Di situ ada enam orang yang datang dari berbagai bidang. Hanya satu orang dipilih dan itu yang terbaik.

Aku sangat berharap diterima. Dari puluhan lamaran, ini salah satu yang nyangkut. Aku berpikir pekerjaan apapun yang penting di media tulis dengan kualitas media baik juga tentunya. Dua minggu setelah itu, aku ditelepon. Awalnya aku tidak menjawab panggilan itu karena sedang tidak memegang telepon. Orang itu mengirim pesan. “Selamat Anda diterima. Kalau bisa dihubungi harap balas pesan ini.”

Aku senang bukan kepalang. Aku menjadi wartawan yang bekerja di media profesional. Akan ada kehidupan baru setelah ini. Aku akan bertemu dengan orang baru, pengalaman baru, dan semua yang baru. Tidak sabar rasanya ingin segera hari cepat berlalu pada waktu aku mulai bekerja.

Bekerja sebagai orang yang mobilitas tinggi seperti memang jalanku. Tidak terasa satu setengah tahun sudah aku bekerja di sini. Aku lalu dipindah ke satu perusahaan yang sama tapi berbeda bidang. Bidang itu adalah audio visual. Pekerjaan yang sebenarnya aku hindari. Mau bagaimana lagi, aku terima itu. Dan beruntung aku tidak pernah mengatakan tidak akan bekerja pada bidang itu.

Foto perdana di bulan pertama bekerja di televisi

Salah satu yang aku pikirkan adalah aku menjadi belajar lagi. Aku seperti anak setengah tahu lalu yang baru akan bekerja setelah menganggur. Senang sekali rasanya mendapat tantangan ini. Dan memang setelah bekerja di sana aku menikmatinya. Sama seperti ketika aku menjadi juru tulis.

Bulan ini tepat tujuh bulan aku pindah bidang. Beberapa keahlian di bidang tulis sedikit kendur. Itu karena aku fokus pada media gambar bergerak. Banyak sekali yang harus dipelajari dan dilatih agar menjadi terbiasa karena aku tahu masih banyak yang belum aku bisa. Meski begitu, aku tetap tidak menghilangkan kegiatan menulis. Menulis di tempat ini tentunya.

Percaya atau tidak, dengan menulis membuat tidak pusing. Aku mengibaratkan otak seperti usus yang menerima makanan. Makanan itu pasti tidak terus berada di sana. Sisa makanan yang sudah disari pasti dibuang menjadi kotorang yang keluar melalui anus.

Otak pun demikian. Tidak mungkin menerima informasi terus-terusan. Agar tetap sehat dan terjaga, informasi itu harus dikeluarkan apakah itu melalui mulut atau tulisan. Aku lebih memilih opsi kedua karena aku adalah penulis.
Previous
Next Post »
0 Komentar