Waaaww! Ke Pulau Sumba; Belajar tentang Adat di Sana

Cerita sebelumnya

Menuruni anak tangga menuju daratan yang disediakan pesawat, mataku langsung memicing. Dengan respon cepat tangan kiri membentuk hormat tidak sempurna untuk menghalangi cahaya matahari yang langsung menusuk mata. Sungguh terik kilau matahari meski sekarang masih jam 10 pagi di bagian tengah Indonesia.

Belum sempat menyelonjorkan kaki sambil melihat pemberitahuan di telepon genggam, ternyata dapat kabar listrik mati. Saluran komunikasi juga terputus akibat tidak ada saluran listrik. Inilah yang membuat aku dan tim ditugaskan ke Pulau Sumba. Beberapa hari yang lalu pulau yang masuk dalam wilayah Nusa Tenggara Timur ini diguncang gempa tinggi.

Yang semakin membuat panik, orang-orang yang tinggal di sini tidak bisa dihubungi saat itu. Beruntung tidak ada korban jiwa. Hal yang ditakutkan seperti gempa Jogja pun tidak terjadi di sini karena susunan material, bentuk bangunan, dan sebaran huni sangat berbeda.

Tidak lama, kami memutar-mutar melihat kondisi Pulau Sumba. Kami yakin bahwa memang kondisi aman. Seperti di daerah timur lainnya, Pulau Sumba begitu sepi. Sungguh tenang. Bukan hanya itu, aku merasakan budaya Indonesia yang dulu dibanggakan masih ada di sini. Kebiasaan mengucapkan salam kepada setiap orang yang ditemui masih terus terjaga.

Aku merasa sudah akrab dengan mereka meski baru pertama kali bertemu. Mereka berkata, "Selamat pagi!" sambil tersenyum padaku. Tidak mau kalah ramah, aku membalasnya dengan senyuman dan wajah ceria terbaik. Ini sangat sulit terjadi di Jakarta.

Mengelilingi Pulau Sumba tidak membutuhkan waktu lama bagiku. Banyak pelajaran yang bisa aku tanam di sini baik itu kondisi sosial, ekonomi, dan budaya. Aku tidak mau bicara politik karena akan mengotori keindahan cerita tentang pulau yang penuh dengan kuda ini.

Setiap pergi ke daerah yang rumahnya masih dibuat secara tradisional, anak kecil yang melihat kami menggunakan mobil pasti selalu melambaikan tangan. Ini seperti ketika aku dulu melihat pesawat terbang sambil teriak, “Kapal, minta duitt!!!” aku tersenyum sambil melambaikan tangan pada mereka. Kalau anak sekolah yang bertemu di jalan, mereka berkata, “Dadaah.”

Mereka penasaran dengan apa yang rekan kerjaku lakukan. Lihat kaki mereka. Tidak mengenakan alas kaki ke sekolah!

Mobil bisa dikatakan mewah di sini. Aku kaget ketika supir mengatakan bahwa para siswa ini berangkat sekolah sejak subuh dengan berjalan. Itu tidak heran karena tempat mereka belajar sangat jauh. Fasilitas umum untuk mencapai sekolah sulit. Pulang juga demikian. Inilah yang membuat kulit Anak Sumba terlihat kotor. Padahal mereka memiliki kulit yang bagus dan wajah yang manis.

Kondisi yang sangat bertolak belakang dengan siswa yang ada di Jakarta. Memang tidak bisa aku cap semuanya tapi sebagian dari mereka sangat manja. Jangankan jika tidak ada kendaraan yang mengantar, tidak punya peralatan sekolah baru saja membuat anak yang belum tahu kerasnya dunia ini menjadi malas berangkat sekolah. Mereka tak sadar bahwa ada anak yang berjuang melawan panas dan rela menempuh puluhan kilo hanya untuk mengenyam pendidikan.

Mereka yang tidak sekolah membantu orang tuanya ternak hewan dan bertani
Ini semua karena kondisi keuangan mereka yang sangat kurang. Tapi jika dibilang berada di garis kemiskinan juga tidak karena mereka memiliki harta fisik yang melimpah. Warga Sumba memiliki sawah dan hewan ternak. Secara garis besar, minimal mereka mimiliki lima kuda. Harga kuda paling murah Rp 10 juta. Itu baru kuda dengan jumlah paling sedikit. Belum lagi babi, hewan ternak, dan kepemilikan pertanian lainnya.

Lalu, kenapa bisa dibilang mereka memiliki keuangan yang minim? Setelah berbincang dengan supir yang orang sini, aku menyimpulkan bahwa budaya mereka yang menjadikan Warga Sumba seperti ini. Jika seorang pria mau menikahi seorang gadis, mereka harus mempersiapkan mahar paling sedikit 10 kuda. Itu paling murah. Banyak sedikitnya kuda bergantung status si gadis. Ada cara sendiri untuk menilai jumlah yang dibutuhkan. Itu baru mahar, belum nanti saat perayaan pernikahan. Bisa dibayangkan bukan berapa modal yang harus dikumpulkan?

Kuburan adat Sumba
Perayaan lain yang membutuhkan uang banyak adalah upacara kematian. Adat di sini, orang yang telah meninggal dikubur dalam batu. Berbeda dengan kuburan umumnya, jenazah tidak dimasukkan dalam tanah yang digali, tapi dimasukkan dalam batu yang disesuaikan dengan tubuh. Batu yang sangat besar dan berat ini tentunya batu khusus. Jangan tanya harganya. Untuk penutupnya saja paling murah Rp 100 juta.

Itulah salah dua ritual yang membuat Masyarakat Sumba terlihat kekurangan. Tapi perlu diingat bahwa mereka sesungguhnya kaya. Miskin dan kaya itu hanyalah persepsi diri. Kebudayaan yang tetap terjaga itulah justru membuat mereka tidak ternilai harganya. Karena budaya, nilai, dan norma tidak bisa dibeli dengan uang.

Di perbincangan mengenai adat pernikahan Masyarakat Sumba dengan supir, dia menawarkan aku menikah dengan Gadis Sumba. Tentu aku kaget. “Tenang, nanti saya menyumbang lima ekor kuda,” katanya sambil tersenyum. “Lah, terus sisanya darimana? Mending saya bawa lari ke Jawa. Modalnya lebih murah,” aku berkelakar.

Previous
Next Post »
0 Komentar