Waaaww! Ke Pulau Sumba

Akhir tahun lalu seperti biasa aku kumpul dengan teman kuliah. Selalu saja aku sempatkan waktu untuk bertemu mereka karena lebih dari sebulan tidak bertemu. Dibuatlah janji kumpul di tempat nongkrong dekat kampus. Yang pasti biasa diajak nonton MotoGP karena pada ingin lihat siapa yang akan menaiki podium utama.

Aku yang tidak tahu banyak tentang motor balap, mengukuti saja. Intinya kan agar bisa bertemu mereka. Sembari menunggu acara mulai kami membicarakan masalah jalan-jalan. “Kali ini mau ke mana yah?” kata salah satu teman. “Ke Lombok saja, yang jauh sekalian,” jawab teman yang lain.

“Boleh tuh. Kita gembel ke sananya naik jalur darat? Siapa tahu lebih murah.” Aku mengusulkan. Akan tetapi teman pertama yang sudah melalang buana menyanggah, “Mending cari tiket murah. Nggak buang waktu juga.” Perkataannya benar juga. Akhirnya disepakati ke Lombok pada bulan Februari dan pulang menuju Jakarta dari Bali. Jadi kan dua pulau terjajah.

Teman ini ditugaskan untuk mencari tiket murah dan rencana perjalanan. Akan tetapi hingga pada akhir bulan pertama di tahun baru tidak ada kabar apa-apa. Sepertinya gagal. Payah sekali. Padahal aku sangat ingin pergi ke sana. Buat apa lagi, mungkin di kesempatan lain aku pasti ke sana.

Kondisi pusat kota jam 06.00 WIT

Tidak butuh waktu lama keinginan itu tercapai. Banyak jalan menuju Roma. Melalui kewajiban negara, aku dikirim bertugas ke Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Pulau Sumba. Kebetulan di sana ada gempa yang menyebabkan saluran komunikasi terputus. Aku ditugaskan ke sana untuk melihat kondisi terkini dan berangkat pada bulan Februari. Inilah nikmat dari bersukur. Aku tahu dengan terus bersukur aku bisa terus menikmati pemberian Tuhan.

Perjalanan menuju Sumba memakan waktu dua jam beserta transit. Kalau tidak ada transit, bisa lebih cepat lagi. Belum lagi karena Sumba berada di Waktu Indonesia Tengah, jadi perjalanan yang sebenarnya satu jam jadi nambah satu jam lagi.

Aku membayangkan kalau di NTT itu masih asri dan punya tempat bagus yang belum terjajah. Ternyata pikiran itu salah. Di sana sangat panas. Bawaannya ingin terus berteduh. Akan tetapi cuacanya cerah dan langitnya sangat biru. Karena polusi sangat sedikit di pulau yang menjadi lokasi adegan Pendekar Tongkat Emas.

Padang savana di Pulau Sumba

Ada dua bandara di Pulau Sumba yaitu Waikabubak dan Waingapu. Kami turun di bandara Waingapu, lokasi yang paling dekat dengan tempat pengambilan gambar Pendekar Tongkat Emas. Tempat ini sangat terpencil dan jauh dari kota. Dan kedua pasti sudah tahu paling dekat dengan kota. Tentu harga tiket lebih mahal kalau turun dari sini. Bayangkan saja, dari Bandara Waingapu menuju kota memakan waktu empat jam dengan jalan yang berliku.

Kalau Kamu mabok darat, sangat tidak dianjurkan turun di Waingapu. Seperti yang sudah aku bilang jalannya berkelok-kelok. Akan tetapi pemandangan padang savana di sini cukup bagus. Oh iya jangan dibayangkan kalau kota di sini seperti Jakarta. Bahkan untuk di Jakarta, pusat daerah di Pulau Sumba tidak bisa dinamakan kota. Jika sudah lewat 18.00, Waikabubak (kota Pulau Sumba) sangat sepi.

Mengelilingi Pulau Sumba penuh sangat singkat. Kurang dari dua hari aku bisa menjelajah pulau yang dekat dengan ujung selatan Indonesia dengan seluruh pemandangannya. Hanya saja seperti daerah di daerah timur lainnya, di sini listrik bagitu jarang. Setiap hari pasti ada saja pemadaman listrik.

Mengabadikan momen bersama salah satu suku yang tinggal di Uma Bokulu, rumah adat di Pulau Sumba

Pulau Sumba sungguh tenang. Tempat dimana aku sangat pergi sejak kuliah. Meski tidak sempat mengelilingi Nusa Tenggara Timur secara utuh terutama ke Pulau Komodo, aku yakin suatu saat nanti bisa ke sana. Tidak lupa sebelum pulang aku membeli kain khas di sini. Kain yang dibuat sendiri menggunakan alat sederhana dan bisa dibuat gaya-gayaan di tempat yang panas.

Previous
Next Post »
0 Komentar