Iri dengan Rekan Kerja

Tempat kerja baru, dunia baru, teman baru, sosialisasi baru, dan berujung pada adaptasi. Saat itu adalah bulan pertama aku dipindahtugaskan oleh atasan. Bisa dikatakan aku sangat senang waktu itu. Beberapa hari belakangan aku berada di puncak kekesalan dan kemuakkan dengan apa yang sedang aku alami. Sampai akhirnya aku melempar proposal di tempat lain.

Aku rasa cerita suram itu tidak perlu diceritakan lagi. Aku sudah berjanji tidak akan menceritakan masalah ini di dunia maya. Hanya orang terdekat saja yang bisa mengetahui masalah ini. Kalau bukan orang dekat, perbicaraan ini terjadi kepada orang yang sama-sama sedang berbagi pengalaman. Kisah itu akan aku berikan untuk berbagi saja, bukan untuk yang lain.

Foto menjelang pindah tugas. Liputan soal ini sih ngga, cuma numpang eksis saja.

Sudah menjadi pengetahuan umum kalau aku adalah orang yang pendiam. Setiap orang yang bertanya tentang siapa aku, pasti akan berkata demikian. Bahkan, aku pernah mendengar kutipan dari orang yang membicarakan aku. “Jaffry itu yang mana?” salah satu temanku menirukan ucapan orang itu, “Yang suka mojok sendirian.”

Yah, memang demikian adanya. Aku tidak kesal atau menyimpan dendam dengan orang yang berkata seperti itu karena itulah aku. Aku yang tidak bisa mudah akrab dengan dunia baru. Butuh waktu yang cukup lama agar aku bisa membaur dengan yang lain.

Di bulan pertama pindah tugas, aku berbincang dengan rekan satu tim. Bisa dikatakan orang ini sangat berpengalaman di bidang ini. Aku panggil dia “Bang” karena tidak tahu berapa umurnya. Sebagai tanda penghormatan juga pada yang lebih tua. Dia juga menyebutku “Mas” karena belum saling mengenal satu sama lainnya.

Lalu kami berbincang mengenai almamater. Ternyata kami seumuran. Karena sudah merasa tahu, aku panggil dia dengan namanya. Begitu pula dengannya. Akan tetapi belum sampai pada tahap nama samaran atau ledekan. Buatku, nama samaran bisa diberikan kalau sudah dekat. Kalaupun belum sangat dekat, biar aku semakin akrab dengan orang itu.

Aku kaget. Dengan pengalamannya yang sudah bejibun, aku masih tidak percaya dia satu angkatan denganku. Setelah ditelusuri, orang ini lulus cepat, yaitu tiga tahun. Tiga tahun coy! Sekali lagi tiga tahun! Sudah seperti sekolah. Katanya dia bisa demikian karena teman-temannya juga sama. Jadi dia termotivasi untuk melakukannya.

Jauh berbeda dibandingkan aku yang lulus lama dengan waktu 5 tahun. Kalau satu tahun lagi tidak lulus juga, sudah hampir sama seperti anak SD. Teman satu tim ini berkata tidak lama setelah lulus langsung diterima kerja di dunia yang sekarang. Bisa dikatakan dia juga sama seperti aku yang dipindah tugas. Bedanya dia bekerja pada bidang yang sama, sedangkan aku tidak.

Yang semakin membuat iri adalah dia sudah ke mana-mana hanya dalam empat tahun ini. Jangan ditanya berapa daerah di Indonesia yang sudah dia injak. Sedangkan aku? Ke luar pulau paling karena pulang kampung. Kalau tidak pulang kampung, ya tidak ke mana-mana.

Bahkan meski sudah satu tahun bekerja aku masih belum pernah beranjak ke luar dari Jakarta. Pernah suatu kali ada wacana aku akan dikirim ke luar Indonesia. Sudah disuruh buat passport juga. Tapi sampai sekarang identitas ke luar negeri itu masih kosong tidak ada cap. Wacana masih saja rencana.

Itu baru satu orang. Masih ada teman-teman rekan kerja lain yang serupa. Bahkan, ada yang lebih keren dari temanku ini. Sempat ada pikiran menyesal. Kenapa aku tidak bisa seperti mereka. Aku mengenang apa yang sudah aku lakukan beberapa tahun belakang terlebih saat kuliah. Apakah yang aku lakukan selama ini sia-sia?

Di ujung kesimpulan aku sadar bahwa ini memang sudah takdir. Akulah yang memilih jalan ini. Semua sudah diputuskan dengan matang. Memang pada akhirnya seperti yang aku lakukan sekarang. Tapi jangan lupa aku masih punya masa depan yang harus dilalui. Biar saja ini jadi pengalaman yang sangat berharga.

Dan memang aku tidak pernah menyesal dengan apa yang sudah aku yakini. Aku memilih lulus lama dengan waktu lima tahun. Aku yang memilih untuk sibuk di kampus dan memperdalam keahlian di bidang tulis menulis. Aku juga yang memilih merasakan idealisme menjadi seorang mahasiswa yang tidak melulu memikirkan materi.

Pada akhirnya aku yakin bahwa aku tidak kalah lebih baik dari mereka. Aku hanya tidak beruntung dalam hal materi dan pengalaman di dunia nyata. Tapi jika diadu, aku yakin tidak akan kalah dari rekan kerjaku. Bahkan aku yakin sedikit lebih keren dari mereka. Meski di awal aku minder, iri, rendah diri dan berkumpul sifat negatif lainnya, tapi aku bersukur dengan semua yang terjadi. Aku yakin ini adalah yang paling baik untukku.

Ini adalah video salah satu kegiatan tempat dimana aku putuskan untuk kuliah lama.

Previous
Next Post »
0 Komentar