Target 2016; Masih Ingin Bertemu Kamu

Bacaan sebelumnya

“Halo,” katanya. Aku membalas dengan kata halo juga. Suaranya lembut. Sungguh tenang. Tidak ada kesombongan dari nada suaranya. Hal yang pertama yang dia tanya adalah aku siapa. Aku jawab dengan pertanyaan. “Kan lu duluan yang telepon gua. Makanya gua sekarang telepon mau tahu.”

Dia merasa tidak pernah telepon aku. Lalu kenapa nomor dia ada di kontak dan pernah telepon aku? Pertanyaan itu tidak terjawab bahkan sampai sekarang. Apa boleh buat. Aku percaya dengan wanita ini. Karena aku sudah telepon dia, tidak ada salahnya kalau kami kenalan. Sebut saja namanya Annisa yang dalam bahasa Arab berarti perempuan.

Annisa beda dua tahun dengan aku. Meski begitu, dia masih kelas dua SMP. Aku lupa bertanya kenapa dia masih kelas dua. Di usianya yang sekarang seharusnya Annisa sudah kelas tiga dan akan menghadapi ujian nasional. Aku menghubunginya saat itu bulan Februari 2008. Dalam perbincangan itu ada pikiran untuk bertemu dengan dia. Tapi nyatanya tidak bisa. Dia tinggal di Pemalang.

Baru pertama kali aku dengar nama itu. Aku hanya tahu kota Malang. Tapi Annisa menegaskan kalau dia tinggal di Pemalang yang masih dalam kawasan Jawa Tengah. Banyak hal yang kami bahas. Meski baru pertama kali kenal, obrolan ini terus mengalir seakan-akan kami sudah saling kenal lama. Tak terasa hampir satu jam obrolan via udara ini berlangsung. Waktu juga sudah hampir menunjukkan pukul 21.00 WIB. Akhirnya kami sudahi meski masih ingin bicara.

Beberapa kali kami sering memberi kabar. Aku merasa sangat nyaman dengan dia. Aku selalu menerka-nerka seperti apa rupa Annisa. Ketika itu muncul pikiran untuk bertemu dengan dia. Entah itu dua atau tiga tahun lagi, aku harus bertemu dengan Annisa. Kalau masih sekolah aku pikir tidak akan mungkin karena pasti tidak diberikan ijin oleh orang tua. Oleh karena itu aku berpikir saat kuliah nanti aku akan pergi ke Pemalang dan bertemu dengan Annisa.

Satu setengah tahun kemudian komunikasi aku dengan Annisa hampir benar berakhir saat aku hendak mendaftar ke universitas. Ketika itu telepon genggamku hilang diambil orang. Aku gelisah. Aku tidak mempedulikan telepon yang hilang itu. Yang ada dalam pikiran hanya bagaimana aku bisa menghubungi Annisa. Hanya di telepon itu aku simpan kontak dia.

Aku sangat tidak bersemangat untuk melakukan sesuatu. Hingga aku terpikir untuk mengecek kartu-kartu lama yang sudah kadaluarsa. Aku berharap masih tersimpan nomor Annisa meski sudah tidak bisa digunakan. Aku masukkan beberapa nomor yang pernah aku pakai di telepon lain. Perasaan cemas berkurang saat masih ada nama Annisa di kontak.

Tapi ini masih belum membuat aku lega. Yang aku tahu Annisa sudah mengganti nomornya. Aku coba telepon dia. Ternyata benar tidak aktif. Aku mencoba untuk mengirim pesan kalau aku sudah ganti kartu karena telepon yang lama sudah hilang. Aku berharap masih ada kesempatan untuk komunikasi dengan Annisa. Aku masih punya keinginan untuk bertemu dengannya.

Dua hari kemudian ada pemberitahuan bahwa pesan yang aku kirim gagal. Aku kembali kirim pesan dengan isi yang sama. Aku terus berdoa agar pesan sampai pada Annisa. Seminggu kemudian ada pesan masuk. nomor lama Annisa aktif kembali. Aku sangat bersukur pada Tuhan bahwa aku masih bisa diberi kesempatan komunikasi dengan Annisa.

Meski begitu aku masih belum bisa bertemu dengan dia. Pernah ada suatu kesempatan untuk bertemu. Dia pergi ke Jakarta untuk bertemu neneknya. Sayang kesempatan itu sirna ketika dia memberi tahu bahwa dia sudah akan pergi ke Pemalang lagi. Aku kesal saat itu. Tapi aku juga salah karena ketika itu sudah jarang komunikasi dengan dia. Setidaknya dia memberi kabar kalau sedang di Jakarta karena Annisa tahu aku ingin bertemu dengan dia. Begitu pula sebaliknya.

Aku bertanya kapan dia akan kembali ke Jakarta. Tidak ada kejelasan dari jawaban dia. Yang jelas akulah yang harus ke tempat dia. Tapi apa daya, aku tidak pernah punya kesempatan untuk pergi ke Pemalang.

Lalu aku dapat kabar kalau dia ingin merantau di Jakarta. Aku senang mendengar itu. Sudah satu tahun dia di Jakarta. Meski begitu aku masih juga belum bertemu Annisa. Ada saja kesibukan yang membuat kami tidak bisa berjumpa.

Memang perasaan aku dulu tidak seperti sekarang terhadap Annisa. Aku hanya ingin melepas rasa penasaran selama delapan tahun bahwa aku ingin bertatap muka dengan Annisa. Tahun 2015 sudah akan berakhir. Mungkin ini keinginan yang konyol, tapi aku sungguh sangat ingin bisa bertemu Annisa. Semoga 2016 keinginan ini terwujud. Karena semakin hari, kesempatan tatap muka makin dekat.

Suasana kerja aku di lapangan. Sibuk dengan telepon genggam (alat kerja kami) adalah yang membuat aku sulit bertemu Annisa. 

Aku berdoa dalam waktu dekat keingin yang lama ini akan segera tercapai. Entah apakah hubungan ini akan terus berlangsung serius atau tidak, aku hanya ingin pertemanan kita tidak berakhir.

***

Untuk perkembangan terbaru, bulan Mei lalu aku mengirim pesan instan ke Annisa untuk bertemu. Awalnya dia menolak. Beberapa kali aku coba sebelumnya juga begitu. Ada saja alasannya menolak pertemuan ini. Aku sempat berpikir kalau Annisa itu tidak ada. Atau bahkan yang lebih ekstrim Annisa adalah seorang lelaki yang sedang menyamar. Aku seperti tersetrum membayangkan itu. Semoga saja itu hanya pikiran liarku saja.

Balik pada bulan Mei lalu, aku memaksanya untuk bertemu. “Minimal dalam seumur hidup aku sekali ketemu kamu,” itu kata-kata pamungkas di antara lobi-lobi dengannya. Benar, setelah itu dia luluh dan mau bertemu.

Hari pertemuan tiba. Entah kenapa aku jadi ragu. Berat sekali rasanya untuk keluar rumah. Annisa juga tidak ada kabar. Dari rumah menuju tempat pertemuan memakan waktu satu jam. “Kamu gada kabarnya,” kataku satu jam sebelum pertemuan. Kalau dia langsung balas, aku langsung berangkat. Setengah jam berlalu tidak ada jawaban. Aku putuskan tidak jadi bertemu meski aku sungguh ragu.

Di jam yang ditentukan Annisa baru balas. Dia menanyakan aku di mana. Dia meneror dengan ping. Gentian aku tidak menjawab. Sepuluh menit kemudian aku baru memberikan respon. Dia sangat marah karena pertemuan batal. Padahal aku yang memaksa untuk ketemu.

Setelah itu komunikasi putus lagi. Annisa benar-benar sangat marah. Dua minggu lalu aku coba lagi menanyakan kabar. Aku harap dia sudah lupa kejadian lalu. Dan benar dia tidak marah. Aku mau mencoba lagi mengajaknya untuk bicara langsung tanpa ada perantara tapi berpikir jangan sekarang.

Akhirnya kami belum juga bertemu. Beberapa kali Annisa foto bareng dengan laki-laki. Ingin aku bertanya itu siapa, tapi batal tanpa alas an. Aku cuma sekadar ingin tahu saja tapi tidak penasaran karena memang biasa saja. Tapi aku tetap masih ingin bertemu Annisa meski hanya sekali. Teman dekat satu-satunya yang belum pernah tatap muka.

Previous
Next Post »
0 Komentar