Mengubah Pola Pikir Pertemanan di Media Sosial

Akhirnya tiba juga waktunya peristiwa dimana aku melangkah ke satu tangga kehidupan yang lebih tinggi. Status yang aku genggam bukan lagi sebagai mahasiswa. Dunia baru yang katanya sungguh sangat keras. Prinsip alam yang berlaku di sini adalah siapa yang kuat dialah yang menang. Kali ini aku sendiri yang akan mengalami dan akan membuktikan apakah benar perkataan itu.

Aku berprofesi sebagai pekerja yang membutuhkan bantuan informasi dari orang lain, meski info yang tak berguna sekalipun dan dari orang yang bahkan dianggap tidak ada. Karena ini adalah sesuatu yang baru buatku untuk terjun secara langsung, aku diharuskan mendekati semua orang tidak perduli latar belakang mereka.

Semasa kuliah aku sudah melakukannya meski kecil ruang lingkupnya. Tapi seperti yang aku bilang, ini berbeda. Orang akan melakukan apapun demi mendapat sebuah materi. Dulu masih sedikit di sekitarku menginginkan harta benda karena ingin mendapat gelar suci, yakni idealis.

Jujur, ini adalah hal yang sebenarnya sulit. Aku yang bisa dibilang autis dengan dunia sendiri dan terlalu pemalu, untuk melakukannya seperti melubangi batu menggunakan air. Memang itu bisa dilakukan. Tapi butuh waktu dan ketekunan yang lama bagi air untuk membuat lubang pada batu. Dan seperti itulah aku.

Mau tidak mau aku harus sok kenal dan sok dekat. Sesuatu hal yang lagi-lagi sulit. Tapi apa boleh buat. Aku dituntut seperti itu. Asalkan tidak berlebihan bagiku tidak masalah. Setiap pergi ke tempat yang asing aku datangi, aku menghampiri satu kerumunan. Aku sudah yakin kalau mereka seperti aku yang profesinya ke mana-mana dan bertemu dengan orang baru.

Aku juga berani bertaruh bahwa mereka pernah ada di posisi seperti aku. Setiap kali mendapat informasi yang diinginkan, pasti orang-orang yang mirip aku ini mencari lapak yang bisa dijadikan mereka bekerja. Tempat favorit adalah tembok yang memiliki sumber listrik. Kadang kala di aliran listrik yang menjadi daya dukung kami, orang-orang ini membentuk sebuah lingkaran atau berjejer dengan posisi duduk di lantai sembari menyender dan kepala tertunduk menatap gawai.

Kalau sudah melakukan itu, mereka pasti sedang bekerja. Hal pertama yang aku lakukan adalah ikut dalam kerumunan. Biasanya, mereka tak acuh karena menganggap orang baru adalah hal yang biasa. “Paling itu teman si anu,” seperti itu dugaanku yang ada dalam pikiran mereka. Padahal, tidak ada satupun dalam gerombolan ini yang aku kenal.

Di dalam foto ini aku tidak kenal mereka semua. Tapi kami dalam satu agenda yang sama dan membuatku kenal masing-masing, meski cuma wajah.

Kalau ada yang melihat kedatanganku, di situlah celah untuk memperkenalkan diri. “Ijin gabung, Bang,” kata pamungkas yang selalu aku katakan sembari tersenyum. Hanya tersenyumlah tanda perkenalan yang aku punya dan mudah dilakukan. Setelah perkenalan itu masing-masing kembali sibuk dengan teknologi yang dipegang. Mereka bisa mulai berbincang dan tertawa setelah tugas kelar.

Seperti itulah yang aku lakukan. Setiap hari, ada saja teman baru yang aku dapat. Tidak lupa pula aku minta kontak mereka agar bisa menghubunginya kalau aku membutuhkan sesuatu. Dan begitu pula sebaliknya.

Kadang momen itu aku manfaatkan untuk berkenalan dengan wanita. “Biar bisa saling bagi-bagi agenda,” alasanku ketika meminta kontak. Apakah ini merupakan tindakan yang salah? Buatku tidak, karena memang aku pasti membutuhkan. Kalau misalnya komunikasi berlanjut ke hal yang privasi, itu adalah bonus dari kerja keras.

Meski sudah kenal, aku berpikir dua kali untuk menjadikan teman-teman ini di media sosial. Buatku, pertemanan di dunia maya itu adalah teman yang benar-benar dekat. Bahkan teman satu kantor pun tidak ada yang aku jadikan sebagai teman. Yang aku takutkan adalah ada yang mengecek status dan profilku lebih dalam.

Sebenarnya kalau itu yang diinginkan, tidak akan pernah terjadi. Aku tidak pernah curhat suatu masalah secara jelas di media sosial. Paling kubuat dengan ungkapan atau kalimat yang sepotong. Itupun aku pikirkan dua kali apakah orang akan tahu jika aku menaut ini? Pilihannya dua, ubah status yang lebih umum atau batalkan.

Seiring berjalannya waktu, aku jarang bertemu dengan teman-teman yang dekat karena pertemuan dalam sebuah acara ini. Ada yang dipindah tempat, ada yang menetap di sebuah institusi, atau bahkan pindah bagian. Komunikasi dengan mereka pun putus. Grup chat yang telah dibuat juga sepi karena masing-masing punya dunianya sendiri.

Salah satu cara agar aku bisa tahu apa yang sedang mereka lakukan adalah dengan menjadikan mereka teman di media sosial. Itu karena kebiasaan anak muda indonesia yang mudah memublikasi kegiatan di sana. Meski tidak bertemu secara langsung, minimal aku bisa tahu kegiatannya. Kalau iseng, bisa komen tautannya.

Kini, aku mulai mencari nama mereka satu persatu. Meski terlambat, buatku tak apa. Karena lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Pola pikir lama itu sedang aku ubah di pertemanan media sosial. Sekarang aku tidak perlu takut jika mereka tahu apa yang sedang aku pikirkan di dunia maya, karena aku juga melakukan hal serupa. Setelah aku pikir masak-masak, berteman dengan mereka lebih banyak baik daripada buruknya
Previous
Next Post »
0 Komentar