Aku Memilih Menjadi Orang Baik

Tiga orang wanita duduk sila di lantai dasar fakultas. Satu orang memunggungi tembok tanpa menempelkan badannya. Dua sisanya berada di samping kiri dan kanan. Masing-masing lutut hampir bertemu satu yang lain. Mereka merapat hampir membentuk segitiga. Ketiganya tampak serius. Menatap masing-masing yang sedang berbicara.

Sepertinya ada sesuatu yang sedang dibicarakan. Mulutnya bergerak tapi suara yang keluar sangat kecil. Biasanya kalau begini mereka sedang menggosipi seseorang. Tidak ada yang ingin orang lain selain mereka tahu. Ketiganya bahkan sampai berbisik tidak mau ada yang mendengar sekalipun itu tembok. Padahal jam pelajaran sudah habis. Tidak ada lagi yang perlu ditunggu. Langit yang sudah berubah mengeluarkan warna oranye tidak mereka pedulikan‎. Mereka masih asik tanpa kenal waktu. ‎

Aku duduk tidak jauh dari mereka. Bahkan bisa dikatakan sangat dekat. Aku bersama dengan teman pria lain juga masih tidak ingin pulang. Biasanya setelah pelajaran usai kami pergi ke rental PS. Akan tetapi kali ini kami memiliki perasaan yang sama tidak ingin melakukan apa-apa. Akhirnya kami ikut duduk di lantai dasar fakultas melihat orang lalu lalang.

(Gambar ilustrasi) Foto masih awal kuliah. 
Tidak ada sesuatu yang dibahas. Masing-masing sibuk dengan dunianya. Aku pun tetap asik melihat para mahasiswi berjalan sekelebat. Ciptaan Tuhan yang satu ini selalu membuat aku terpikat. Aku melihat sebelah. Salah satu teman juga melakukan hal yang sama. Setelah itu kami berdua membicarakan kecantikan, keindahan, sampai detail penampilannya.

Tidak semua melakukan itu. Ada satu teman‎ iseng ingin tahu apa yang sedang para wanita yang berada di sebelah kami bicarakan. Badannya tetap tegak seperti biasa akan tetapi kepalanya agak sedikit miring dan telinga mendekat ke sumber suara. Tak beberapa lama ada yang sadar kalau sesuatu mendekat. Temanku yang menguping ini didorong bahunya agar menjauh. "Ih demen banget nguping sih," kata salah satu wanita yang suka membuka gosip.

“Tuhan itu menciptakan dua telinga dan satu mulut artinya agar kita lebih banyak mendengar dibandingkan bicara,” kilahnya yang suka menguping pembicaraan. Terlepas dari itu omongan yang berdalih, sebenarnya itu ada benarnya.

Omongannya semakin meyakinkan aku untuk lebih sering diam. Itulah kenapa aku sangat jarang terlihat bicara di depan umum. Sebenarnya yang paling utama adalah aku punya lidah yang terkadang suka terselip. Akibatnya, terkadang aku suka bicara tidak jelas.

Alasan lainnya yaitu aku merasa semakin banyak bicara, semakin banyak pula kebodohan terlihat. Setiap orang bisa dilihat kecerdasannya hanya dari apa yang dikatakannya. Nah, aku lebih suka mendengar orang bicara untuk menganalisa sejauh mana pola pikirnya.

Dari perkataan yang keluar dari mulut sebenarnya bisa terlihat sifat, kesukaan, dan hal lainnya. Bahkan kalau yang sudah lebih pengalaman dalam meneliti ini, mudah mengetahui segalanya dari omongan yang keluar. Hanya saja aku tidak sejago itu. Aku cuma tahu seperti apa orang yang sedang di dekatku.

Karena ingin tahu lebih, aku sering berada dalam kerumunan meski sebenarnya sudah tidak ada yang kepentingan atau pekerjaan. Biasanya, di obrolan santai ini ada sesuatu yang aku tidak tahu. Apakah itu kejadian hari ini atau gosip tentang seseorang, pasti ada saja yang baru.

Dari situ aku berpikir bahwa aku harus sering kumpul dengan teman lain agar selalu mengetahui sesuatu teranyar. Akan tetapi obrolan ini lebih sering membicarakan orang dibandingkan sesuatu yang berharga, misalnya tentang isu negara yang tidak didapat dari berita pada umumnya. Dari sini aku berpikir untuk tidak melakukan hal yang macam-macam. Jika satu kebodohan terungkap, pasti akan jadi bahan omongan.

Aku jadi lebih berhati-hati. Aku pulang jika teman yang lain telah bubar. Semua aku lakukan agar mengetahui topik apa yang sedang panas hari ini. Karena di sini semuanya mudah sekali menyebar. Tidak ada rahasia yang bisa disimpan. Rasanya sudah seperti perumahan yang isinya ibu-ibu tukang gosip.

Lama-lama aku merasa apa yang sudah aku lakukan adalah sia-sia. Aku mulai berpikir tidak ada gunanya juga melakukan ini setiap hari. Pada akhirnya aku sendiri yang lelah. Orang yang bahkan baik saja jadi pembicaraan. Jadi percuma saja menjaga sikap kalau pada akhirnya kena pembicaraan juga.

Ada suatu momen dimana aku mulai tersadar bahwa mengikuti gosip itu tidak begitu penting. Ketika itu aku beranjak melaksanakan ibadah. Aku melakukan setelah teman-teman selesai berbincang. Sebenarnya obrolan masih berjalanjut dan kami masih tertawa. Tapi karena waktu sudah mepet, aku putuskan untuk berhenti dan melaksanakan kewajiban.

Masuk ke ruangan yang disulap menjadi tempat ibadah, aku melihat seseorang sedang duduk. Dia fokus menatap telepon genggamnya. Terdengar suara dari mulutnya. Dari pergelangan tangan hingga leherku bergetar. Rambut di tangan berdiri. Orang ini sedang mengaji di antara teman-teman sedang tertawa di luar sana.

Mulai dari situ aku merasa menemukan arah. Aku kembali menemukan jalan dan merasa sudah seharusnya melakukan apa yang layaknya aku lakukan. Dari orang ini aku mendapat kesimpulan bahwa aku punya dua pilihan, berada dalam keramaian yang isi perbicaran tidak ada habisnya atau mengikuti dia dan merasa sangat tenang. Tentunya aku memilih menjadi orang baik.
Previous
Next Post »
0 Komentar