Kembali Pada kodratnya

Suara tawa terdengar sangat keras. Cekikikannya berganti model dan gaya. Beberapa detik sunyi setelah itu makin kencang. Aku yakin ini berasal dari ruangan tempat kami kumpul meski kini aku berada 200 meter dari lokasi. 10 langkah lagi aku berada diujung jalan lalu belok kiri. Setelah belokan itu bisa terlihat siapa saja yang sedang kumpul.

Masing-masing orang mengeluarkan ekspresi bahagianya selepas mungkin. Aku berjalan saja dengan tatapan lurus melewati teman-teman yang sedang santai ini. Tidak ada niat bagiku untuk mencair dalam kerumunan. Aku masuk ke dalam ruangan dan mencari rekan yang akan dijadikan partner hari ini. nyatanya tim belum komplit.

Aku putuskan menaruh tas di sebelah meja yang berada di pojok sembari merogoh isi tas. Barang yang aku cari telah didapat. Aku selonjor tepat di samping tas dengan punggung menempel tembok. Kepalaku tertunduk, mencari halaman terakhir kali aku baca. Tangan kanan tanpa henti membalik setiap lembaran.

Tidak ada rasa terusik atau terganggu dari tawa sekitar. Beberapa saat, aku mencoba dengar ingin tahu apa pembahasannya dengan menganggkat kepala dan sedikit miring. Mereka saling menceritakan apa yang sedang terjadi hari ini. membagi suka duka, hal konyol, kekesalan, atau apapun tercurah di sini. Aku kembali tertunduk fokus pada bacaan karena pembahasannya tidak begitu menarik. Karena aku tidak tahu pembahasan lebih tepatnya.

Beberapa pria mengeluarkan sebungkus rokok lalu membakarnya. Rokok adalah tanda perkenalan dan rasa kenyamanan dan pertemuan. Dari rokok bisa tercipta apa saja. Rokok juga membuat suasana semakin santai. Kode bahwa perbincangan tersebut akan terus berlanjut sampai benar-benar bingung mau membahas apa.

Kondisi semakin ramai. Semakin banyak suara tercipta. Konsentrasiku pecah. Hinga aku putuskan untuk bergabung dengan mereka. Aku duduk di kursi panjang yang masih tersisa untuk satu orang. Setengah jam berlalu. Di kerumunan itu hanya aku yang sedari tadi tidak mengeluarkan kata-kata. Aku bingung ingin berkata apa.

Itulah diriku. Aku yang pendiam dan jarang mengungkapkan kata. Seperti yang sudah aku ceritakan sebelumnya, aku memang pemalu. Aku juga tidak bisa bicara dengan benar. Faktor tersebut yang membuat kenapa aku jarang bicara. Sebenarnya dalam hati yang paling dalam ingin sekali bisa mengeluarkan pendapat, pengalaman atau lainnya.

Butuh waktu. Hanya itu jawabannya. Karena aku orang yang agak sulit beradaptasi dengan lingkungan baru. Di saat itu aku akan menjadi seseorang yang bukan aku. Bukan Jaffry yang diketahui saat pertama kali kenal. Jaffry yang munafik dan menyembunyikan seluruh sifatnya.

Akan tetapi dengan tingkah laku yang seperti itu sebenarnya malah membuat orang menjadi penasaran. Aku yang tenang, kalem, tanpa ekspresi, tidak banyak bicara itu selalu menjadi banyak pertanyaan. Teman-teman satu kerja bahkan melakukan terapi agar aku bisa mengeluarkan kata-kata. Setiap aku bicara, adalah suatu keajaiban bagi semua rekan.


Hampir setahun berlalu. Aku masih juga belum menjadi pribadi. Takut dikira berubah dan bukan Jaffry yang dikenal, menjadi pertimbangan. Padahal yang seperti inilah yang bukan aku. Tapi itu hanya persepsi aku saja. Prasangka inilah yang selalu menjadi pikiran. Padahal aku bukan orang yang perduli dengan namanya citra.

Semakin lama aku sadar bahwa aku memang tidak seharusnya seperti ini. Aku harus kembali pada diriku sendiri. Jaffry yang terkadang suka menjadi sumber ceria. Jaffry yang suka bertingkah aneh. Jaffry yang kembali pada kodratnya.

Keadaan sudah mulai berubah. Aku mulai menemukan jalan pada umumnya. Beberapa rupa diriku sudah mulai tampak. Perlahan tapi pasti. Setelah semuanya keluar dan berjalan normal, mungkin tidak ada lagi Jaffry yang terus menyendiri, meski mojok dan berdiam diri itu adalah hal yang tidak asing dan mengasikkan bagiku. Kelakuan itu tetap tidak akan hilang.

Previous
Next Post »
0 Komentar