Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 66)

Bacaan sebelumnya klik di sini


Dahiku mengerut. Sambil memiringkan kepala aku memicing mata. Mencoba menggali ingatan terdalam larut di antara kerumunan siswa yang akan pulang. Aku berani bersumpah anak kecil ini tidak pernah aku lihat sebelumnya. Dia terus melempar senyum padaku. Aku juga membalas meski sangat asing. Tapi dia memanggil namaku.

“Aku Dewi, ka. Warga Pakujaya juga,” katanya. Itu adalah nama perumahanku. Tapi aku tidak pernah melihat anak ini di sekitaran rumah. Kami berjalan menuju lobi tempat les. Bocah ini berhenti. Sepertinya menunggu jemputan. Entah itu orang tuanya atau orang lain. Aku menyuruhnya duduk sembali terus mengingat. Siapa tahu menemukan jawaban.

Sepertinya dia sadar kalau aku masih tidak mengenalnya. “Aku temannya Alifa,” bocah berambut sebahu dengan poni ini memberi klu. Nama siapa lagi itu? Aku tidak pernah mendengar namanya dan hanya bisa berkata, “Ha?” dengan mata yang kali ini sedikit melotot. Masih terus kucoba menggali ingatan. Aku menyerah karena wajahnya sangat asing.

Kalau dilihat, bocah yang masih membuat aku penasaran ini memiliki wajah yang sangat manis. Kulitnya putih bersih. Bibirnya agak tebal berwarna merah muda. Badannya tinggi untuk wanita seumurannya. Bila disamakan denganku, dia sebahu lewat dikit. Tubuhnya juga agak berisi. Buah dadanya sedikit menonjol. Tanda bahwa dia sedang mengalami masa pubertas.

Kalau sudah besar aku yakin akan menjadi dambaan para pria. Sayang umurnya jauh denganku. Kalau memang dia kelas enam, berarti usianya sebelas tahun. Sedangkan aku baru berulang tahun yang ke-17. Sebenarnya masih bisa untuk dijadikan pasangan. Tapi apa iya aku pacarin anak SD? Kaya teman sekolah atau anak seumuranku tidak ada yang cocok saja.

Meski begitu aku yakin dia sudah memiliki pacar saat ini. Hal ini bukan tanpa sebab. Gayanya agak sedikit centil. Apalagi ditambah menggunakan pakaian yang kekinian. Ya, bisa saja ini adalah busana yang dibelikan oleh orang tuanya. Dia cuma mengenakan apa yang sudah diberikan. Tapi aku merasakan aura yang berbeda. Hawa seorang gadis kecil yang sudah mengenal kata kasmaran.

Sudah menjadi hal yang wajar ketika anak kecil memiliki pacar. Bahkan aku sudah punya orang yang aku suka ketika masih kelas satu SD. Ya, cinta monyet sih. Tapi ini mengindikasikan bahwa ketika aku kecil saja sudah melakukan hal demikian. Bagaimana dengan anak jaman sekarang yang pergaulannya sudah semakin bebas?

Apalagi orang tua juga malah menanyakan anaknya siapa yang dia suka. Apakah orang yang dia suka itu adalah pacarnya. Terkadang kalau anaknya tidak tahu malu, mengiyakan perkataan si mama. Bahkan mengaku punya pacar banyak. Mamanya malah senang mengetahui hal itu, bukannya diberi peringatan atau pemahaman lebih dalam.

Walaupun hanya bercanda dan hanya untuk lucu-lucuan, buatku itu bukan hal yang patut. Sama saja mereka memberi pesan bahwa anaknya boleh untuk berpacaran. Kalau cuma cinta moyet dan buat bahan ledek temannya itu tidak masalah, bagaimana jika sungguhan? Lalu tanpa sepengetahuan orang tua mereka jalan berdua dengan bergandeng tangan.

Bocah ini tidak ada henti-hentinya dia melempar senyum padaku. “Itu loh Ka, Putri. Tetangga Ka Jefri,” dia merinci ucapannya tadi. “Nama lengkap dia kan Alfia Putri,” tambahnya. Oh jadi nama lengkap Putri, itu. Tetangganya panggil dia bukan nama depan, jadi aku ikut-ikutan. Dan tidak pernah tahu juga nama keseluruhannya.

“Kamu sekolah di Kunciran?” kali ini aku yang bertanya. Karena yang aku tahu Putri sekolah di sana.

“Bukan. Aku di al Hasanan.” Wah sekolahnya jauh juga. Lebih jauh ketika aku SD dulu. “Aku satu TK sama Alifa,” tambahnya. Aku masih sedikit asing mendengar kata Alifa. Bicara dengan anak kecil ini membuat aku harus terbiasa dengan panggilan tersebut.

“Kok aku tidak pernah lihat kamu di PJ?” PJ adalah sebutan Pakujaya tempat aku tinggal. “Kamu RT berapa?”

“Iya dong. Aku kan di RT 02.”

Obrolan ini jadi semakin panjang. Tempat les juga sudah semakin sepi. Satu persatu siswa yang tidak membawa kendaraan sudah dijemput. Ada pula yang asik mengobrol dengan teman kelasnya. Oh iya aku lupa namanya. Seperti biasa ini adalah kebodohan fatalku setiap kali bertemu orang baru. “Maaf aku lupa, nama kamu siapa?” Aku tersenyum agar dia memaklumi

“Dewi, Ka Jefri. Nur Aini Dewi,” Tuturnya lengkap.

“Terus kamu kok bisa kenal aku?”

“Iya. Aku kan murid Ka Jefri waktu pesantren kilat kemarin.” Jawabannya mencerahkan. Pantas saja aku tidak kenal dan pernah melihat dia. Ternyata Dewi salah satu muridku.

Bersambung…

Previous
Next Post »
0 Komentar