Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 65)

Bacaan sebelumnya klik di sini


Pengeras suara di masjid mengagetkanku. Hal yang pertama aku cari ketika bangun adalah meraba telepon genggam. Aku ingin melihat sekarang sudah pukul berapa. Saat masuk ke kamar Ihsan aku sudah sempat memandang sekeliling. Tidak ada jam dinding di sana. Itulah kenapa aku langsung menengok telepon genggam.

Ternyata suara di masjid adalah tanda zuhur telah tiba. Masih dalam keadaan berbaring aku mencoba terus membuka mata agar sepenuhnya sadar. Di kamar yang panjang dan lebarnya tidak lebih dari dua kali gawang sepak bola itu kami tidur berdempetan. Untung saja tidak ada yang tidurnya rusuh. Aku adalah orang yang mudah bangun kalau kesenggol sedikit.

Aku tidur nyenyak karena kelelahan. Yang lain sepertinya sama. Sampai sekarang bahkan belum ada yang bangun. Aku masih terus menatap dinding karena sampai saat ini belum sadar penuh. Rasanya ingin tidur lagi tapi tidak bisa. Tak lama aku berdiri dan mengambil botol air yang sudah disediakan Ihsan di sebelah televisi.

Belum sempat meminum air, ada suara telepon. Nada deringnya lagu metal. Aku tidak pernah menyetel lagu itu untuk dijadikan nada pemberitahuan. Siapa lagi kalau bukan Rapsan yang seperti itu. Aku biarkan saja terus menyala agar yang lainnya bangun. Suaranya berisik sekali. Tapi tetap tidak ada yang terganggu. Hanya Asep yang pindah posisi tidur karena mendengar suara itu.

Teleponnya mati. Kuat juga mereka tidak ada yang bangun. Panggilan kedua masuk. Masih dengan suara yang sama. Rapsan akhirnya terbangun dan mengangkat kepalanya. Dia menengok kiri-kanan mencari di mana sumber suara. Setelah tahu, masih dengan mata setengah terbuka dia mengambil telepon. Ditempelnya telepon itu ke telinga sebelah kiri. Dia masih direbahan dengan posisi miring.

Dengan suara berat Rapsan berkata, “Halooo.”

Aku mendengar suara wanita. Suara yang aku kenal. Itu milik Dara. Tidak begitu jelas apa yang Dara katakan. Tapi omongannya cukup panjang. Meski begitu Rapsan hanya menjawab dengan sangat sedikit. “Hhhmmm,” tanda bahwa dia mengiyakan. Setelah itu Rapsan bicara panjang.

Mereka teleponan cukup lama. Hingga akhirnya Asep dan Ihsan bangun karena terganggu. Setelah selesai melepas kangen, Asep langsung meledek, “Masih pagi sudah sex by phone saja lu.” Ihsan beranjak dari tempat tidur dan keluar kamar. Tak lama dia menyuruh kami keluar kamar juga untuk makan pagi di siang hari.

Waktu sudah makin siang. Kami tidak bisa makin lama di sini. Tidak enak juga sudah numpang tidur dan dikasih makan. Aku kan juga punya rumah. Satu jam setelah makan dan puas di rumah Ihsan akhirnya kami pulang. Sedangkan aku masih harus mengantarkan Rapsan pulang ke rumahnya. Di perjalanan Rapsan masih sempat-sempatnya menghubungi Dara. Aku dikacangin di setengah perjalanan.

***

Hari ini senin. Aku akan mengalami kegiatan yang super padat lagi. Selama seminggu ini aku merasa sangat jarang di rumah. Apalagi dengan kegiatan tampil di acara musik kemarin. Seharian bahkan aku tidak pulang. Di rumah cuma numpang makan dan tidur saja. Untung mama pengertian karena tahu aku sudah mau lulus dan kegiatan sudah makin padat.

Di sekolah tidak ada aktivitas yang berarti. Aku datang pagi, guru tidak datang di jam pertama. Akhirnya seisi kelas saling bercanda, mengobrol, dan melakukan kegiatannya masing-masing meski sebenarnya diberi tugas oleh guru. Tenang saja tugas pasti diselesaikan dengan kerja sama.

Aku yang merasa bosan pergi ke kantin bersama Ihsan dan Rapsan. Aku menengok ke kelas Asep ternyata sedang ada guru. Aku tidak jadi mengajaknya keluar untuk ke kantin. Aku menelusuri lorong kelas dengan melihat sekitar. Kami takut terlihat guru piket karena kalau tahu pasti akan dihukum. Di ujung lorong banyak siswa sedang melakukan kegiatan olahraga.

Aku tetap berjalan melengos saja karena tidak kenal dengan mereka. Siswa itu adalah adik kelas. Guru olahraga sedang memeragakan teknik tolak peluru yang benar setelah melihat muridnya ada yang melakukan satu gerakan yang kurang betul. Pak Guru mendekati murid dan menggerakkan tubuh siswa tersebut agar melakukan teknik yang benar.

Ketika kami lewat ada siswa yang sadar ada pergerakan. Siswa tersebut menengok ke arah kami. “Ka Jefri,” aku mendengar suara wanita. Aku melihat padanya lalu memberikan senyuman karena itu adalah Tia. Setelah itu aku berjalan terus dan Tia sepertinya mengobrol bicara sesuatu. Tapi aku tidak tahu itu.

Kegiatan berjalan seperti pada umumnya sehabis itu. Pulang sekolah aku langsung ke rumah dan istirahat sebentar. Setengah empat nanti aku musti berangkat les lagi. Itu berarti aku punya waktu satu jam untuk merebahkan badan. Huh! Melelahkan tapi aku pasti bisa melewatinya.

Di tempat les, kakak pemberi materi seperti biasa menanyakan pelajaran apa yang sudah kami lewati di sekolah. Jika ada pertanyaan dia akan memberikan pencerahan. Suasana kelas sangat fokus dan seru. Aku merasa pelajaran lebih masuk di sini dibandingkan di sekolah. Tak terasa dua jam berlalu. Waktunya kami pulang.

Aku keluar kelas dan ternyata banyak siswa yang juga keluar secara bersamaan. Aku masuk dalam kerumunan dan berjalan menuju lobi. Di antara keramaian aku mendengar ada yang memanggil. “Ka Jefri,” suara yang tidak aku kenal. Siapa dia? Hanya Mega dari kelas lain yang aku kenal. Suara itu tepat di sebelah kanan. Aku melihatnya. Ternyata dia masih kecil. Sepertinya masih sekolah dasar.

Bersambung…
Previous
Next Post »
0 Komentar