Tidak Punya Teman

Indikator telepon genggam berkedip. Warnanya biru. Beberapa menit kemudian warnanya menjadi putih. Setelah itu biru lagi. Konsentrasiku terpecah karena warnanya yang berkelip. Padahal aku sedang konsentrasi menulis laporan hasil wawancara dengan beberapa narasumber. Aku putuskan membalik telepon tersebut agar tidak mengganggu.

Aku harus segera menuliskan tulisan karena sore nanti harus segera diserahkan redaktur. Meski aku tahu tidak ada kewajiban menulis satu laporan secara penuh, tapi menyelesaikannya dengan hasil sendiri itu menciptakan kepuasan tiada tara. Karena aku bekerja bukan karena paksaan tapi kesenangan. Dan ini adalah impian yang aku kejar saat masih kuliah dulu, menulis dengan tulisan panjang.

Waktu sebenarnya masih lama. Tiga jam lagi menuju pukul empat sore. Laporan dengan batas minimum enam ribu karakter dengan spasi atau hampir dua halaman penuh biasanya aku kerjakan dalam waktu satu jam. Itu kalau datanya lengkap. Kalau tidak, bisa lebih dari itu. Tapi aku selalu membatasi harus selesai dalam waktu satu jam bagaimanapun itu.

Setengah jam berlalu aku berasa bosan. Kali ini aku putuskan untuk melihat pemberitahuan yang ada di telepon. Ternyata banyak juga pesan masuk. Aku sudah menduga kalau ada pesan BBM dan Whatsapp. Aku sudah mengatur kalau telepon berkedip warna biru adalah Whatsapp dan putih itu BBM. Aku pilih membuka pesan dari yang paling bawah karena dia yang mengirim duluan. Bersikap adil bisa dimulai dari ini.

Dari beberapa pesan yang masuk, ada tiga orang yang mengirim pesan personal. Satu dari teman rumah, satunya teman kuliah, dan terakhir dari teman organisasi. Ketiganya mengajak bermain. Waduuhhh aku bingung mau ikut yang mana. Dari semuanya aku sebenarnya lebih condong ke teman organisasi. Lalu  yang paling bisa ditunda adalah teman rumah.

Berat memang sebelum mengambil keputusan ini. Akhirnya aku mengambil jalan tengah dan berjanji di ajakannya selanjutnya akan mendahului teman rumah. Aku berpikir kami kan tetanggaan jadi bisa kapan saja bertemu. Kebetulan pula aku ingin bertemu teman organisasi. Tahun depan aku berpikir tidak mungkin bisa kumpul lagi karena kesibukan mereka yang sudah tidak di sini lagi.

Salah satu kegiatan di indekos, yaitu bermain gaple

Sama seperti aku yang sudah lulus dan hanya bisa berkunjung kalau sedang ada waktu luang. Tidak mungkin semua orang di sini akan berpikiran dengan aku yang akan selalu menyisihkan waktu main ke sekretariat. Aku mengalah untuk menghampiri mereka jaga-jaga jika mereka susah ditemui.

Teman yang mengajak ini masih mengurus di organisasi tersebut. Meski junior, kedekatanku dengan mereka masih erat. Setiap hari selalu saja ramai di sekertariat. Jadi aku selalu penasaran dengan apa yang terjadi hari ini dan tidak pernah ingin melewatkan sedetikpun peristiwa. Kalau sudah selesai, menjelang malam ke kos teman kuliah. Rencana yang bagus bukan.

Berbulan-bulan aku melakukan rutinitas seperti ini. Meski berulang-ulang, aku merasa tidak pernah bosan. Jelas saja karena selalu ada yang berbeda tiap kali bertemu. Begitu juga dengan teman kuliah yang masih indekos. Kalaupun tidak ada apa-apa, istirahat di sana sangat menenangkan. Ini adalah puncak kebahagiaan yang aku miliki karena aktivitas selalu berganti tiap hari.

Masa anti-klimaks dimulai. Seperti yang sudah aku prediksi dari awal bahwa perpisahan itu akan terjadi. Setahun berlalu, teman-teman baik itu di organisasi atau teman kuliah yang indekos menjalani kehidupan yang baru. Aku jadi sulit bertemu mereka hingga berujung pada menurunnya intensitas silaturahmi.

Aku masih punya teman rumah. Kini semangatnya tidak sesering dulu. Karena kami sudah bekerja, paling hanya bisa di akhir pekan. Akan tetapi aku sekarang tidak bisa selalu mendapat libur di akhir pekan sehingga membuat pertemuan semakin jarang. Makin sulit saja tatap muka dengan mereka. Sebenarnya aku punya teman sekolah. Tapi mereka juga punya kesibukan yang lebih penting. Paling hanya bisa bertemu kalau ada agenda genting.

Bagaimana dengan teman kantor? Bisa sih. Hanya saja karena masih terlena dengan teman lama membuat aku sampai sekarang belum terlalu akrab sehingga tidak ada pikiran bagi mereka mengajak untuk main. Untuk sikapku yang terlalu suka menyendiri, mereka tidak tahu kalau aku terkadang ingin juga diajak tertawa.

Berbincang membahas masalah yang tidak ada satupun kaitannya dengan pekerjaan. Membicarakan masalah pribadi bahkan pada siapa yang kami suka sampai yang paling rahasia. Dengan begitu bisa saling memahami dan juga menyenangkan kan?

Benar, kalau aku sudah tidak punya teman lagi. Tapi aku masih bisa mendapatkannya. Bukankah dari dulu aku selalu berada di tempat yang baru dan tidak ada satupun yang aku kenal? Aku juga harus mengubah sikap yang terlalu tertutup dan munafik ini. kalau tidak, aku pasti akan terus tidak punya teman.

Previous
Next Post »
0 Komentar