Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 64)

Bacaan sebelumnya klik di sini


Kami tetap ada di lokasi sekitaran panggung dan belum ada niatan untuk segera beranjak pindah. Rapsan masih ingin melihat dua sampai tiga band tampil dulu. Sepertinya dia ingin mengetahui bagaimana tim lainnya membawakan lagu mereka. Juga apakah performanya lebih baik atau jauh di bawah kami. Kalau jawabannya yang pertama, pasti dia akan makin besar kepala.

Sebenarnya mau bagus atau jelek pasti Rapsan akan tetap sombong. Dia selalu merasa band terutama dirinya selalu lebih baik. Tapi dengan keyakinan seperti itulah yang membuat aku selalu percaya diri setiap kali akan berdiri di depan banyak orang. Aku mengakui bahwa keahlian gitar yang aku mainkan biasa saja. Akan tetapi kenormalan itu tertutup oleh apa yang Rapsan miliki.

“Ah, yang ini biasa saja. Adu skill sama gua juga pasti kalah,” kata Rapsan diikuti dengan menghisap sebatang rokok yang sudah mau habis. Tidak ada yang memedulikan omongannya. Aku menikmati permainan band tersebut. Ya, aku memang penikmat, bukan tukang kritik. Tidak ada yang lebih asik selain menikmati setiap hal.

“Jadi mau kapan nih?” Tanya Asep. Dia sudah tidak sabar. Aku juga demikian karena tidak betah terlalu dekat dengan panggung dan itu sangat berisik. Aku jadi tidak bisa mengobrol dengan yang lain. Kalaupun bisa, harus dengan teriak.

“Ayo kita geser sekarang saja,” timpal Ihsan yang sudah menginjak putung rokok. Asep minta tunggu sebentar hingga rokoknya habis.

“Dikit lagi nih,” katanya. Tidak lama berselang kami berjalan menuju parkir yang tidak begitu jauh dari panggung. Beberapa penonton juga ada yang seperti kami ingin pulang. Rata-rata orang tua yang anaknya sudah menampilkan keahlian. Meski begitu masih juga ada yang datang dengan suara knalpot motor bising. Kalau mereka pasti ingin joget rusuh.

Satu-satunya tempat jual bir yang legal di sini adalah Bintaro. Lumayan jauh memang. Tapi mau bagaimana lagi. Ketiga kawan ini mau merayakan penampilan kami barusan. Kebetulan pula Circle K buka 24 jam. Kami tidak perlu buru-buru atau takut toko tersebut tutup meski beberapa menit lagi akan berganti hari.

Jalan sangat sepi. Aku bisa mengendarai motor di tengah jalan dengan pelan tanpa ada yang harus merasa terganggu. Di sebelah kiri ada Asep yang diboncengi Ihsan. Ihsan harus mau membawanya sebagai ganti tidak mau membawa kendaraan dan dijemput Asep saat berangkat tadi. Di sepanjang jalan kami beriringan saja dan bicara tidak jelas.

Setengah jam di perjalanan akhirnya tiba juga. Aku bingung apakah harus ikut-ikutan dengan mereka atau tidak karena sebenarnya memang tidak ingin mabuk. Ya, walaupun aku tahu beer tidak akan membuat teler. Cukup sekali saat di rumah Riski dan tidak akan coba-coba lagi. Aku berharap ada minuman segar yang tidak ada alkoholnya.

Beruntung Asep sepertinya paham. Dia menawarkan A&W root beer. Minuman bersoda tanpa alkohol yang rasanya seperti beer. Pelepas dahaga yang menyegarkan. Meski rasanya agak aneh dan belum pernah dirasa otak, lama-kelamaan aku menikmatinya. Sedangkan Ihsan dan sisanya membeli Heineken, Bali Hai, dan Bintang. Tidak lupa pula membeli rokok karena sudah habis. Sebungkus dibagi tiga tidak terasa bagi mereka.

Kami menggelar minuman di depan toko. Kebetulan di depannya disediakan tempat bagi pelanggan yang ingin segera minum dan menikmati jalan. Dari keempatnya, hanya aku yang minumannya berbentuk kaleng. Sisanya botol dengan ukurang sedang. Setelah kami membuka minuman, Rapsan berkata, “Mari bersulang atas keberhasilan penampilan kita.” Semua menganggat tangan bersama minumannya masing-masing dan menempelkan botol dan kaleng bersamaan.

Semuanya menyender di bangku besi. Sambil meneguk beer, kami menghisap sebatang rokok. Aku hanya menghabiskan sebatang saja, tidak banyak. Meski begitu aku merasakan kenikmatan meminum minuman yang ditawarkan Asep sembari menghisap rokok. Aku jadi suka ini.

“Lu mau cobain ga Jef?” tanya Rapsan yang meneguk Heineken. Tentu dia tahu sebenarnya aku tidak akan mau. Tapi adat ketimuran selalu menawarkan semua yang mereka punya. Setelah itu Rapsan mengambil botol Asep yang dibiarkan di meja untuk mencobanya. “Aah ini sama kaya minuman yang buat mabuk. Mending yang bikin teler sekalian,” kata Rapsan.

“Rewel lu. Nanti kita mabuk beneran. Sebentar lagi kan Ihsan ulang tahun tuh. Kita pesta dah,” jawab Asep. Waduh ada lagi saja nih ide yang aneh-aneh. Pasti aku akan diajak.

“Jadi,” kata Rapsan yang belum ada komentar sedikitpun dari Ihsan. Mau tidak mau Ihsan harus menjamu kami semua. Walaupun aku tidak akan minum, pasti akan ikut karena aku tahu akan ada hal-hal konyol yang terjadi. Kebersamaan dengan mereka tidak boleh dilewatkan.

Satu jam berlalu. Minuman sudah hampir habis. Kami sudah kehilangan akal akan melakukan apa lagi. Waktu juga semakin larut. Sudah waktunya tidur. “Mau ke mana kita?” aku membuka wacana.

“Ke rumah Rapsan saja sambil main PS,” kata Asep lagi. Tanpa ada sanggahan kami beluncur ke rumah Ihsan. Sekalian pula mengantarkannya pulang. Jadi setelah bangun Asep tidak perlu repot lagi ke rumah Ihsan.

Tiba di rumah, Ihsan langsung mengangkat televisi yang ada di ruang tamu ke kamarnya. Asep menggendong PS untuk bertanding. Peralatan sudah komplit di kamar. Akan tetapi tidak ada yang mengoperasikan. Rapsan sudah hilang kesadaran karena terlalu lelah. Mataku juga berat. Yang lain pun sama. Kami langsung terlelap tanpa satu permainan yang digelar.

Bersambung...
Previous
Next Post »
0 Komentar