Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 63)

Bacaan sebelumnya klik di sini


Lagu pertama kami nyanyikan. Posisi tim sama seperti sebelum-sebelumnya. Rapsan ada di tengah, Asep di kiri, aku di kanan, dan Iihsan di belakang karena memainkan drum. Tempat itu selalu diisi seperti demikian meski sedang latihan. Tidak ada yang pernah sadar konsistensi ini. Semua berjalan mengalir saja. Protes atau komentar juga tidak ada dengan penempatan tersebut.

Seiring kunci gitar yang dimainkan, aku menjadi semakin tenang. Belum Rapsan mengeluarkan suara, para penonton sudah mendekati panggung. Tidak banyak memang, tapi cukup membuat senang karena ada yang mengapresiasi lagu metal kami. Mereka menari liar menabrakkan diri ke orang-orang terdekat seperti sedang kerusuhan sambil menikmati irama.

Aku melihat ada beberapa yang mundur. Orang-orang ini lebih memilih menikmati dari kejauhan. Mungkin juga tidak mau terlibat kontak fisik dengan penonton yang ada di depan panggung. Meski tarian mereka liar tidak ada kerusuhan yang terjadi. Tubruk-tubrukkan itu malah menambah kenikmatannya. Inilah yang dinamakan mosing.

Beberapa kali aku lihat Rapsan mengayunkan tangannya kepada penonton sembari memegang pick gitar. Dia memberi aba-aba agar penonton yang terlarut dalam musik kami ikut teriak menyanyikan reff yang dibawa. Gaya Rapsan setiap kali di atas panggung sangat berbeda. Sangat tidak terlihat konyol dan bodoh seperti biasanya. Sungguh berwibawa.

Mataku tertuju pada Asep. Aku melihat dia juga sangat menghayati permainannya. Di kala ada kesempatan, dia memamerkan keahliannya bermain gitar. Asep tunjukkan semuanya dengan mata tertutup dan kepala mengabah ke atas. Setelah itu dia melompat mengikuti irama. Lalu dia bergerak ke arah Ihsan seakan-akan sedang berduet.

Ihsan membalas kode Asep. Dia tidak mau kalah dengan yang lain. Tangannya terus lincah menggebuk senar drum. Tangan kanannya ke atas memainkan tongkat sedangkan yang kiri terus memukul senar. Sedangkan aku seperti biasa tidak melakukan gaya apa-apa. Aku tetap diam dan menghayati musik. Tidak banyak aku bergerak. Dibandingkan yang lain, aku yang paling kalem.

Lagu pertama selesai. Rapsan mengajak bicara penonton. Nafasnya berderu-deru. Dia kelelahan. Jelas saja. Rapsan bahagia melihat penonton yang berjingkrat tanpa henti. Dia mengeluarkan seluruh suaranya sambil melompat-lompat. Terkadang suaranya di pengeras suara tidak ada saking jauh mulut dia karena lompat.

Rapsan berterima kasih pada panitia karena telah mengadakan acara ini sehingga bisa membuat para musisi kelas bawah seperti kami bisa unjuk gigi pada orang lain. “Terutama untuk kalian yang sudah menyisihkan waktunya datang ke acara ini!” teriaknya. Suasana menjadi panas. Penonton tidak mau kalah teriak atas semangat Rapsan. Lagu kedua dan yang terakhir dimainkan.

Suasana makin pecah. Penonton yang tadinya hanya melihat dari kejauhan, mulai berkumpul. Massa semakin banyak. Tentunya kondisi ini menjadi pemacu Rapsan untuk semakin bersemangat. Kali ini aku tidak boleh kalah dengan yang lainnya. Aku harus penuh ekspresi. Minimal melompat-lompat dan menganggukkan kepala.

Pertunjukan selesai. Sorak-sorai dan tepuk tangan membanjiri kami. Ada pula yang berteriak, “Lagi, lagi, lagi.” Tapi kami hanya bisa melambaikan tangan sambil turun meninggalkan panggung. Pembawa acara mengambil alih suasana dan meminta tetap tenang. Mereka berjanji akan ada yang lebih seru lagi setelah ini. sorak penonton semakin keras kegirangan.

Rapsan sangat puas dengan penampilan kali ini. Dia menganggkat tangan lalu mengarahkannya pada kami. Semuanya memberikan salam toss tanda keberhasilan pertunjukan kali ini. “Lu lihat tadi kan mereka pada mosing?” tanya Rapsan entah pada siapa. Yang jelas dia sangat kegirangan.

Asep mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Lalu dia mengulurkan tangan yang masih menggenggam bungkus rokok. Ihsan dan Rapsan mengambilnya sambil membahas penampilan kami tadi. “Sayang ngga ada yang luka-luka,” kata Rapsan yang masih belum puas.

Tapi aku tahu itu Cuma bercanda. “Sebentar lagi pasti ada yang datang ke mari untuk minta foto sama gua,” tambah Rapsan yang semakin sombong. Kalau sudah begini dia makin banyak tingkahnya. Tapi biarlah, ini memang yang diinginkannya. Aku juga puas. Rasanya ingin sekali tampil lagi. Rasa cemasku sudah lenyap.

“Ayo kita rayakan kesuksesan ini,” ajak Asep.

“Ke mana?” tanya Ihsan.

“Circle K gimana? Kita ngebir lucu saja.” Semua setuju. Aku terdiam dan tidak mengedipkan mata hampir satu menit. Sepertinya akan menjadi malam yang panjang.
Previous
Next Post »
0 Komentar