Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 62)



Raut muka Rapsan sangat lucu. Itu adalah salah satu ekspresi terjelek yang pernah aku lihat. Setiap kali membayangkannya aku selalu ingin tertawa. Saat kami memergokinya, Rapsan tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Sepertinya dia bingung mau berdalih. Dara juga demikian. Mukanya memerah. Misi kami berjalan sukses. 

"Lu jadian ya?" Riski menembak. 

Rapsan masih tidak mengeluarkan kata-kata. Sekalinya keluar, dia cuma berkata, "hhmm, aa..paan sih."

"Udah ngaku saja. Gua sudah liat isi sms lu. Apa perlu gw pinjem hp lu?" Asep menyambar. Sudah tidak ada waktu untuk basa-basi lagi. Jam istirahat akan berakhir. 

Rapsan cuma menunduk sedangkan Dara sedari tadi hanya melihat sekitar. Dia benar-benar malu. Kemudian Dara berbisik pada Rapsan. Aku tidak bisa mendengar jelas suaranya. Hanya saja semua gerakan mulai dari mencubit pinggang Rapsan, lalu bibirnya yang bergerak, aku tebak memprotes aksi kucing-kucingan ini. Dia tahu bahwa semua yang ditutupi pasti akan ketahuan. 

Sadar aku sedang mengamati laku bibirnya, Dara mendekatkan tangan ke arah pipi. Dia menutupi keseluruhan mulutnya dariku. Rapsan juga punya cara agar permbicaraan ini tidak terdengar. Dia menempelkan pipi kirinya ke pipi kanan Dara. Terjadilah perbincangan keduanya. Riski tidak sabar menunggunya. “Ngapain bisik-bisik? Sudah ngaku saja.”

Tidak lama berselang Rapsan berkata, “Iya gua jadian sama Dara.” Wajahnya malu. Dia mengungkapkan dengan mata melihat ke bawah. Tidak ada yang memerhatikan itu. Teman-teman lansung mengejek sambil tertawa. Tentunya tidak lupa pula mengucapkan selamat pada mereka berdua.

“Lu mau saja Dar sama Rapsan. Dia kan mesum,” kata Michael. Kami semua tertawa. Dara tidak menjawab karena perbincangan kami terputus tanggung oleh bel masuk kelas setelah 45 menit istirahat. Dara langsung masuk ke dalam kelas dan melambaikan tangan pada Rapsan sebelum benar-benar hilang dari pandangan. “Ciiieeeee……” kami bersorak.

Tidak pernah di antara kami bertanya kenapa Rapsan bisa pacaran dengan Dara. Apa yang melandasi Rapsan bisa mengatakan cinta padanya. Begitu juga Dara, mengapa dia sampai ingin menerima Rapsan. Hanya satu yang sama dengan kami adalah ini merupakan sebuah kebahagiaan. Ini pacar pertama Rapsan di SMA.

Kalau Riski jangan ditanya. Sejak masuk sekolah saja dia sudah punya gebetan. Beberapa bulan kemudian pacaran dengan anak sekolah lain. Sampai sekarang dia masih berhubungan dengan wanita itu. Danu apalagi. Dia lagi dekat-dekatnya sama adik personel d’vast. Lalu aku? Aku masih sendiri dan menjadi penggemar berat Vini.

Aku tidak tahu kenapa sampai sekarang masih belum juga tertarik dengan teman kelas ataupun yang ada di sekolah. Memang ada beberapa wanita yang sebenarnya menarik perhatian, tapi tidak ada hasrat untuk mendekatinya. Rasanya seperti malu dan belum siap jika diledek seperti Rapsan. keinginanku untuk pacaran adalah sampai pada jenjang pernikahan. Itulah yang membuat aku sangat selektif.

***

Kembali pada Rapsan yang matanya tidak pernah lelah menikmati keindahan wanita. Sama sekali tidak pernah ada kecemasan pada dirinya menjelang pertunjukan kami. Aku berusaha mengobrol untuk memecah kegugupan. Bagaimanapun juga aku adalah yang paling awam dalam hal segalanya di antara grup band ini. Bermusik saja baru dua tahun dan itu masih kunci-kunci dasar.

“Mau rokok dong,” aku minta pada Asep yang memegang sebungkus rokok hasil patungan bersama. Aku melakukan ini hanya untuk merenggang ketegangan. Korek apinya aku pinta Rapsan yang selalu membawa pemantik. Dia menyalakan api dan menyulutnya ke arah mulut. Tidak boleh alat membakar ini pindah tangan darinya. Karena jika meleng sedikit pasti akan lenyap.

Getaran mulai naik dari tengkuk menuju seluruh kepala setiap aku aku menghisap dalam-dalam asap rokok ke paru-paru. Satu demi satu tarikan melepas gelisah. Sampai rokok terbakar setengahnya aku mulai tenang. Tidak lama berselang kami dipanggil panitia. “10 menit lagi kalian naik panggung yah.” Aku mulai tegang lagi.

Asep melompat-lompat layaknya kesebelasan timnas pemanasan setelah mengumandangkan lagu kebangsaan. Kalau Ihsan memutar-mutar tangan dan membunyikan setiap jari agar lemas. Rapsan masih tetap santai sembari jelalatan. Sedangkan aku terus menarik nafas dalam-dalam.

Waktunya tiba. Kami dipersilakan naik ke atas panggung. Karena band kami yang tampil paling pertama, panitia menyarankan agar menjajal alat yang akan dipakai agar saat pertunjukan nanti nadanya seragam. Aku mengalungkan tali bass dan mengulurnya sesuai panjang tangan. Rapsan menyuruhku untuk memetik senar pertama.

Aku mengikuti perintahnya. “Tinggiin!” katanya. Dia sudah menyetel gitar sesuai nada suaranya. Asep mengikuti tanpa aba-aba. Dia melakukan itu agar tidak ada pengulangan. Alat musik kami pun sudah seragam. Sekarang sistem suara disamakan. Kurang dari lima menit semua beres. Rapsan memberikan jempol tanda kami sudah siap.

Kali ini jantungku sudah sedikit tenang. Aku memejam mata dan menarik nafas dalam-dalam. Setiap udara yang keluarkan lewat mulut aku sugestikan terbuang juga rasa gugup. Rapsan menoleh ke arah Ihsan untuk memberi tanda awal musik. Awal kunci sudah aku tekan bersiap memulai pertunjukan. Rapsan memberikan salam pada penonton dan memintanya untuk menari segilanya. Dan akhirnya penampilan dimulai.

Bersambung…

Previous
Next Post »
0 Komentar