Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 61)



Aku masih tidak percaya dengan apa yang aku selidiki. Di sebelahku ada Asep yang juga sudah curiga dengan gerak-gerik Rapsan. Bedanya, Asep yakin kalau ini adalah Dara. Tapi aku masih ragu. Jika dikenang, ketika kelas satu, jarang sekali Rapsan bicara dengan Dara. Posisi dukuk kami terlalu jauh. Bahkan untuk menyapa saja sulit.

Selain itu Dara adalah anak yang pemalu. Tapi kalu sudah tertawa, satu kelas pasti akan mengarahkan pandangan padanya karena terlalu gaduh dan seru untuk melihatnya bahagia. Dara juga bukan wanita yang terlalu neko-neko. Penampilannya biasa saja, datang ke sekolah tepat waktu, tidak terlalu aktif ketika pelajaran. Dia seperti pelajar pada umumnya dan tidak menonjol. 

Memang Dara biasa saja. Tapi aku sudah memerhatikannya sejak kelas satu. Tapi yang biasa dan tidak berlebihan itulah membuatnya menarik sehingga para pria nakal tidak begitu terlalu memerhatikannya. Untuk rupa, Dara juga tidak begitu jelek. Ya, normal-normal saja. Masih banyak wanita di kelas yang lebih cantik dan manis dibandingkan dengannya.

Kami, dalam arti aku, Rapsan, dan Dara satu kelas di tahun pertama SMA. Setelah masa studi berakhir, Dara memilih jurusan IPA. Aku dan Rapsan IPS dan berada di kelas yang sama. Tidak pernah dalam bayangan kalau Rapsan akan dekat bahkan pacaran dengan Dara. Karena aku tahu dia tergila-gila dengan Citra.

Ya, sebenarnya bukan Citra saja yang dia suka. Ada wanita di kelas lain yang dia suka. Tapi tidak ada satupun yang berani Rapsan dekati. Rapsan pecundang. Dia malu berdiri di depan wanita yang disuka. Kalau tidak ada, omongannya besar, berisik sekali seakan-akan dia sudah melakukan pendekatan. Padahal nyatanya tidak. Rapsan hanya menjadi pemuja rahasia yang semua orang tahu diam-diamnya itu.

Yang membuat aku heran sejak kapan Rapsan mulai mendekati Dara? Sungguh aku tidak pernah merasakan Rapsan bertingkah aneh. Kehidupannya di sekolah biasa-biasa saja. Sepanjang waktu kami selalu bareng kemanapun pergi. Rapsan juga tidak pernah mengalihakan perhatiannya pada telepon genggamnya ketika kami kumpul.

Mulut Asep sudah gatal ingin sekali meledek Rapsan. “Sabar. Kita harus pergoki dia lagi berdua. Lu baca sms-nya kan kalau Dara selalu minta ketemu?” Aku meyakinkan Asep untuk menunggu beberapa saat. Kalau langsung gerebek tanpa ada sesuatu yang meledak pasti tidak akan seru.

“Terus bagaimana?”

“Tunggu saja. Kita harus buat ini jadi ramai. Kita ajak yang lain untuk menangkap basah dia.” Teman lain yang aku maksudkan adalah Riski, Danu, Riski, dan lainnya. 

Pagi hari dan sampai detik ini Rapsan masih biasa saja. Tidak ada raut gelisah dari wajahnya. Dia masih tertawa, melucu, dan paling utama menggoda wanita di kelas. Ini adalah Rapsan yang pada umumnya. Aku menduga kalau belum ada masalah antara Rapsan dan Dara. Tapi aku yakin pasti kondisi dimana Rapsan resah akan terjadi. 

Bel tanda istirahat berdering. Aku terus mengamati gerak-gerik Rapsan. Belum habis suara bel, Rapsan sudah berlari keluar kelas. Aku tidak sempat mengejarnya karena belum mengumpulkan massa. Aku beranjak ke kantin karena perut terus bergetar sejak setengah jam lalu. Meski sudah sarapan, tetap saja tidak menghentikan aku untuk makan lagi karena aku orang yang mudah lapar. 

Aku menyambangi kelas Riski dulu sembari menjelaskan niat dan juga untuk mengumpulkan kawanan. Aku ceritakan awal mulanya. Mereka sebagai teman dari kelas satu sangat kaget. Tentunya aku yang paling kaget karena tidak menduga wanita pertama di SMA yang Rapsan pacari adalah Dara. Mau-maunya Dara menjadikan Rapsan sebagai pacarnya. Sejak pertama kali kenal kan dia sudah dicap sebagai pria mesum dan selalu ingin menerapkan “American Style.”

Mereka sepakat. Tentunya segala niat jahat sudah direncanakan. Sembari memikirkan apa yang akan kami lakukan, aku memesan makanan di kantin. Suasana yang ramai tidak membuat kami mengecilkan suara untuk menjebak Rapsan. Jelas saja terang-terangan, satu meja penuh kami kuasai. Kalaupun ada yang tahu, orang lain tidak akan mengerti siapa yang sedang kami bicarakan.

Biasanya Rapsan selalu ada di kantin untuk menghisap sebatang rokok bersama lainnya. Hanya saja kali ini tidak terlihat batang hidungnya. Aku meyakinkan diri dengan memerhatikan setiap orang yang memegang rokok. Mereka selalu berada di tempat yang pojok. Agar menghilangkan jejak, ahli hisap ini membuang putung melewati tembok pembatas sekolah. Aku yakin kalau diintip ke seberang, sampah itu sudah menumpuk tinggi.

“Kapan nih eksekusi? Setelah jam istirahat habis, susah buat pergoki Rapsan,” tanya Riski yang sudah sangat tidak sabar. Dia ingin sekali melihat dengan mata kepalanya kalau Rapsan dan Dara benar-benar pacaran.

Memang benar sih waktu kami cuma sekarang. Kami berbeda kelas dan belum tentu semua kelas tidak ada gurunya. “Yasudah makannya kita percepat. Setelah ini kita sisir seluruh tempat,” aku memberi intruksi pada yang lain. Limat menit kemudian semua piring telah bersih. Danu yang paling terakhir selesai. Sedangkan Riski selesai sebelum arahan diberikan. Dia memang makannya banyak dan cepat.

Kami berjalan pelan-pelan sambil lihat kiri-kanan. Setiap tikungan kami berhenti dan menyembulkan sedikit kepala agar tidak ketahuan kalau akan menggerebek seseorang. Seluruh tangga, kelas IPS tidak ada tanda-tanda. Kami bergerak menuju lorong kelas IPA. Aku merasa kalau misi sedikit lagi akan selesai.

Benar saja. Aku melihat Rapsan duduk di lantai bersama Dara. Mereka tertawa bahagia. Hanya saja tidak ada yang memperdulikan mereka. Kehidupan kelas berjalan biasa saja dan tidak ada yang aneh. Aku memberikan aba-aba. “Satu, dua, tigaaa..” “Hayolooh lagi ngapain?” kami teriak serentak. Seluruh pandangan anak kelas dua mengarah pada kami. Rapsan kaget. Mukanya pucat.

Bersambung…
Previous
Next Post »
0 Komentar