Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 60)

Bacaan sebelumnya klik di sini


Malam hari aku tidak bisa tidur sesuai jadwal. Padahal pekerjaan atau suatu hal yang bisa dilakukan sudah beres. Aku hanya rebahan di kasur menatap atap kamar. Reka ulang kejadian di sekolah muncul. Aku seperti sedang menonton diriku sendiri yang telah terekam. Atap berwarna krem menjadi layar dan otak memproyeksikannya.

Sembari melihat bayangan itu, aku mencoba menganalisa dengan siapa Rapsan mengirim pesan. Aku yakin pasti teman sekolah. Tapi siapa? Karena di kelas tidak ada orang bertindak aneh selain dia. Aku memerhatikan sekeliling setelah Rapsan mengetik. Semua wanita aku intai sedang apa mereka. Masing-masing pada sibuk mengobrol, tertawa, dan membaca buku.

Menit demi menit aku fokuskan pandangan sekeliling setelah Rapsan tidak lagi mengetik. Sampai akhirnya dia melihat telepon genggamnya kemudian mengetik pesan lagi. Jarak antara Rapsan mengirim pesan hingga menerimanya kembali tidak ada wanita yang memegang telepon. Di situ aku yakin bukan dengan teman di kelas.

Aku menarik nafas dalam-dalam mencoba untuk tenang. Gambaran di sekolah masih terus berjalan. Kalau bukan dengan teman kelas, pasti orang selain di sini. Aku tahu siapa saja teman Rapsan. Kucoba untuk memindai semua teman-teman wanitanya. Hingga bayangan mulai samar. Mata terasa berat. Aku tertidur ketika memikirkan Rapsan.

Rasanya seperti cowo homo. Bodoh sekali aku sampai ketiduran hanya karena Rapsan. Tapi aku penasaran. Bagaimanapun aku harus tahu apa yang terjadi. Paling tidak hanya untuk melepas rasa ingin tahu ini. Setelah terbongkar semua, ya sudah. Kehidupan berjalan seperti biasanya lagi.

Alarm di telepon genggam berbunyi. Sayangnya aku sudah sadar lima menit lebih dulu. Meski waktunya sedikit berkurang, tidur kali ini lumayan nyenyak. Hanya saja aku memimpikan Rapsan. Ini sudah berlebihan rasanya. Semua gara-gara penasaran. Apa boleh buat. Aku bertekat kalau hari ini sudah harus menemukan jawaban dengan siapa Rapsan berbalas pesan singkat.

***

Memasuki ruang kelas aku mencoba untuk bertindak seperti biasa. Langkah pertama melewati pintu mataku langsung tertuju ke kursi Rapsan. Mejanya masih kosong. Aku mencoba melayangkan pandang pada seisi kelas. Tiap jengkal aku telusuri baik itu melalui penglihatan maupun pendengaran. Ternyata nihil. Rapsan belum tiba di kelas.

Tentu saja. Ini masih setengah jam menuju bel masuk berdering. Rapsan bukan tipe yang datang lebih awal. Bahkan dia lebih sering terlambat dibandingkan tepat waktu. Hanya di pelajaran tertentu saja dia bisa dilihat pagi-pagi. Apalagi kalau ada tugas rumah banyak yang tidak dia mengerti diberikan guru.

Sembari mengamati sekeliling aku menuju bangku. Suasana kelas masih sepi. Maklum, tidak ada tugas hari ini. Biasanya sepuluh menit sebelum jam pertama dimulai baru pada datang. Aku yang masih di tempat duduk merenggangkan otot-otot. Beberapa kali aku memutar lengan dan pergelangan tangan agar pegal setelah membawa motor hilang.

Satu persatu murid di kelas berdatangan. Ruang kelas menjadi ramai. Para wanita membicarakan acara televisi yang semalam mereka tonton. Pasti setelah itu membicarakan pemeran cowonya. Gosip yang mereka dapat dari acara infotaimen pun tidak lupa dikeluarkan. Barang siapa yang tidak mengikutinya akan menjadi kambing congek.

Rapsan juga sudah tiba di sekolah. Kali ini dia tampak lebih tenang, tidak gelisah seperti kemarin. Tapi tetap saja dia tidak bisa lepas dari telepon genggamnya. Kali ini dia senyum-senyum sendiri. Mulutnya mengembang tidak lama melihat telepon genggam. Setelah itu dia melihat kiri-kanan meyakinkan diri tidak ada orang yang melihatnya seperti orang gila.

Saat Rapsan melirik ke kenan, yakni ke arahku, aku pura-pura sedang melihat jendela. Aku berlagak dengan tatapan kosong ke arah langit yang terintip sedikit dari jendela. Aku diam tanpa mengedipkan mata seolah-olah sungguhan melamun. Samar-samar Rapsan masih melirik sekitar. Ketika sudah aman, aku kembali memerhatikannya.

Aku berpikir bagaimana caranya agar bisa mengecek teleponnya. Harus ada alasan kuat agar Rapsan mau meminjamkan. Aku berpikir keras mencari alasan. Dalih paling memungkinkan adalah meminta lagu dari teleponnya. Kapan aku meminjamnya? Sekarang bukan waktu yang tepat karena masih jam pertama. Aku hanya punya kesempatan ketika jam sedang kosong.

Di pelajaran yang tidak ada guru adalah momen terbaik. Rapsan pasti sedang asik ngobrol dengan yang lain. Kebetulan pula jam keempat tidak ada mata pelajaran. Guru yang mendapat jatah mengajar ijin tidak masuk karena sedang membuat soal ujian tengah semester. Kami ditugaskan mencatat materi. Inilah kesempatan. Baiklah, waktunya eksekusi!

“Lu punya lagu terbaru My Chemical Romance, kan? Gua minta dong,” modusku pada Rapsan.

“Yaudah nyalain bluetooth lu.” Rapsan sepertinya enggan meminjamkan teleponnya.

“Gua juga mau cari lagu lain. Pinjem dong sebentar doang.” Aku tahu memori teleponnya hanya sedikit dan tidak bisa menyimpan banyak lagu. Tapi mau bagaimana lagi, aku harus pura-pura tidak tahu.

Awalnya Rapsan enggan meminjamkan. Setelah beberapa kali mengeluarkan alasan akhirnya aku bisa mendapatkan teleponnya. “Jangan lama-lama,” katanya. Aku membalas, “Rewel.”

Agar semakin yakin aku menyetel lagu yang Rapsan punya. Kudekatkan teleponnya ke telinga berlagak mengamati apakah lagu yang dia punya enak atau tidak. Lalu aku mengecek lagi lalu mendengarkannya lagi. Kuulangi berulang-ulang.

Hingga akhirnya Rapsan percaya. Aku melihat dia kembali sibuk dengan aktivitasnya. Aku cek kotak masuk. Isinya penuh dengan nama “My Girlfriend.” Ini siapa? Aku buka salah satu pesan, “San, keluar sebentar. Aku mau ngomong.”

Wah! Ini sudah pasti anak sekolah juga. Tapi siapa? Dia tidak menyimpan dengan nama asli. Aku coba ketik nomor itu ke teleponku. Setelah itu aku lakukan panggilan singkat. Di layar tertulis, “Dara Kirana”

Bersambung…

Previous
Next Post »
0 Komentar