Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 59)

Bacaan sebelumnya klik di sini


Dalam perjalanan pulang aku masih kepikiran dengan Rapsan. Tidak pernah dia tidak memberikan kabar seperti ini. Memang aku hanya temannya, tapi dia selalu membutuhkan aku. Dibandingkan dengan teman lain, Rapsan lebih memilih pulang denganku. Padahal, Dimas satu perumahan dengannya. Aku tidak tahu kenapa tapi aku tidak pernah bertanya.

Kalaupun kami tidak pulang bareng, pasti ada sesuatu yang sangat genting. Dan tentunya dia akan selalu memberitahu aku. Maklum saja karena kami selalu satu kelas jadi jika ada tugas sekolah aku selalu tahu. Kalaupun ada tugas, aku selalu menunggunya meski dia tidak meminta. Aku baru akan meninggalkannya jika dia memberi kabar tidak akan bareng. Itu juga sangat jarang.

Bahkan bisa dihitung dengan jari aku pulang sendirian tanpa Rapsan. Ketika dia cabut dari sekolah dengan Danu karena malas, aku menjemputnya untuk kumpul bersama dengan teman lain. Aku bersama Riski, Michael, dan yang lain bergerombolan menuju tempat Rapsan dan Danu madol. Kami bersenda gurau sembari merokok, melantur ngidul tidak jelas sampai langit gelap.

Jika acara senang-senang kami sudah selesai, seperti biasa aku pulang bersama Rapsan. Di perjalanan pun ada saja yang kami bicarakan. Tak pernah habis pembahasan kami setiap kali bertemu. Pasti selalu ada yang kami ceritakan.

Kami memang sering berdua. Kemana-mana tidak pernah dipisah. Paling hanya tugas sekolah saja yang bisa membuat kami cerai. Ya, meski selalu nempel, aku tidak pernah duduk satu bangku dengannya. Paling hanya berbeda meja. Tapi tetap saja bersebelahan.

Saking selalu bersama, beberapa orang yang baru mengenal kami pasti mengira bahwa kami adalah kembar. “Lu saudaraan dengan Rapsan?” pertanyaan itu yang selalu muncul setiap kali ada orang baru melihat kami.

Tentu saja aku menolak. “Gantengan gua kali,” itu yang acap aku jawab. Kalau guru yang bertanya, aku hanya bisa menggelengkan kepala sambil bilang tidak. Rapsan juga tidak pernah mau kalau kami dikatakan mirip. Jawabannya juga selalu sama seperti aku. “Dan gua lebih rock n roll,” begitu kata pamungkasnya yang tidak mau kalah denganku.

Awal kali berjumpa dengannya seperti yang aku sudah ceritakan beberapa waktu yang lalu adalah karena sebuah band yang ingin dia bentuk. Aku saat itu dipilih karena aku punya wajah yang mendingan. “Lu mirip Bondan Prakoso. Nama lu juga sama. Jangan-jangan lu saudaranya ya?” tanyanya. Entah itu sebuah pujian atau ledekan, aku jawab dengan sejujurnya.

“Ngga. Yang punya nama Prakoso kan bukan gua doang,” aku menolak dengan tegas. Aku memang tidak tahu seperti apa Bondan saat itu. Tapi beberapa wanita bilang kalau wajahnya tampan. Lalu aku penasaran ingin tahu seperti apa Bonda Prakoso itu. Setelah tahu, aku tidak bisa komentar karena sebenarnya tidak ada yang mirip di antara kami.

Meski begitu masih juga tidak ada yang percaya. Kemudian mulai beredar gosip bahwa aku adalah adik Bondan. Rasanya ingin sekali tertawa. Tapi biar saja. Bagiku ini adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Apalagi gosipnya bukan yang buruk. Aku juga tidak mau meladeni itu. Nanti juga akan hilang dengan sendirinya. Tapi kalau Rapsan tidak mengatakan itu, pasti gosip ini tidak akan ada.

Sampai pada akhirnya kabar burung itu berlalu seperti angin lalu. Aku sedikit tenang karena tidak ada yang menanyakan apalagi memanggilku dengan kata “Bondan”. Butuh waktu lama sampai pada teman-teman satu kelas memanggilku dengan nama yang sebenarnya sesuai akte lahir. Itu semua karena Rapsan.

Dia memang tergila-gila dengan Bondan. Ada saja satu lagu Bondan yang harus dibawakan ketika kami nge-band. Yang pusing adalah aku karena musti menghapalkan lirik yang panjang. Belum lagi dengan musik yang nge-rap aku harus memiliki nafas panjang. Setiap kali jedah satu kalimat aku harus mengambil udara banyak-banyak sembari menjauhkan mic agar tidak terdengar ketika aku mengumpulkan udara.

Kemudian aku terpikirkan pada kisah lain saat perumahannya dilanda banjir besar. Banjir lima tahunan yang dipopulerkan oleh media massa itu membuat rumah Rapsan didatangi air sampai dua meter. Sangat tinggi dan membuat dia tidak pulang. Aku yang harus melewat jalan rumahnya jadi tidak bisa ke rumah juga. Harus memutar jalan yang lebih jauh sampai aku bisa istirahat di rumah.

Yang kasihan adalah Rapsan. Dia benar-benar tidak bisa pulang. “Gua boleh nginep di rumah lu, Jef,” tanyanya. Tentu aku tidak keberatan. Kalau bukan aku yang menampungnya, siapa lagi? Aku tahu Danu pasti mau, tapi aku tidak berpikir sampai situ. Ini bukan perbincangan yang harus dijawab dengan bercanda.

Tiga hari dia menginap sampai banjir surut dan hujan berhenti sepenuhnya. Rapsan menggunakan baju, celana, tapi tidak dengan yang dalam. Aku yakin pasti sangat lengket. Mau bagaimana lagi, dia tidak mau. Sampai akhirnya dia melepaskannya tapi tidak memakai ganti. “Di luar negeri juga banyak yang tidak pakai celana dalam. Jadi kalau nge-sex dengan pacar bisa cepat telanjangnya,” itulah yang ada dalam bayangannya.

Rapsan memang tolol seperti itu. Selalu berpikiran seperti gaya Amerika yang bisa ciuman di mana saja, berhubungan seks dengan siapa saja tanpa harus susah payah. Gonta-ganti pasangan ketika bosan. Cuma sayang ini adalah Indonesia.

Tidak terasa aku sudah sampai di rumah. Aku masih kepikiran dengan Rapsan. Sedang apa dia dan kenapa dia tidak pulang bareng tanpa ada kabar? Ada apa dengannya belakangan ini? Pokoknya besok aku harus tahu jawabannya.

Bersambung…
Previous
Next Post »
0 Komentar