Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 58)

Bacaan sebelumnya klik di sini


Saat Rapsan suka dengan Citra dia masih tidak berani mengungkapkan. Malah dia menjelek-jelekkan Citra yang dia bilang badannya bau bawang. Citra dijadikan bahan candaan kami ketika di luar sekolah. Itu malah membuat kami jadi ilfil dengannya. Padahal aku tahu bahwa Citra tidak seperti itu. Karena jangankan dekat, bicara pada Citra saja Rapsan malu-malu.

Akan tetapi Rapsan meyakinkan kami dengan memerhatikan ketiak Citra saat datang sekolah. “Kalau lu lihat, pasti keteknya basah,” katanya dengan wajah yang serius. Aku malah punya pikiran lain bahwa dengan begitu, Rapsan selalu memantau Citra setiap detik dan menit karena aku tidak pernah sadar akan hal itu.

Hanya saja kami selalu tertawa saat Rapsan menceritakan Citra dari sisi yang lain meski dia menyukai Citra. Karena penasaran, aku suka mengendus saat berada di dekatnya apakah memang benar kalau Citra bau bawang. Setiap kali membayangkan Rapsan cerita itu aku selalu tersenyum karena ekspresi Rapsan tidak pernah membosankan untuk dijadikan bahan tawaan.

Seiring berjalannya waktu, ledekan Rapsan dengan Citra menguap. Kami punya cerita lain yang lebih segar untuk dijadikan bahan tawa. Hidup kami memang selalu bahagia. Apalagi Citra memilih kelas IPA dan itu membuat Rapsan jarang bertemu Citra.

Beda kelas tidak menjamin bahwa cerita cinta juga beda. memang Rapsan memiliki pacar yang beda jurusan. Akan tetapi itu bukan Citra. Aku mulai menyadarinya saat kami sudah duduk di kelas dua setelah semester pertama berakhir.

Aku melihat beberapa hari terakhir Rapsan suka menghilang dari kelas tanpa kabar. Wajahnya juga tampak lebih cemas dari biasanya. Itu berlaku setiap hari. Awal-awal aku tidak menyadari ada yang aneh dengannya karena biasanya kalau ada apa-apa dia pasti cerita.

Kecurigaanku mulai tampak saat melihat dia mengirim pesan secara sembunyi-sembunyi. Dia terlihat tidak ingin orang lain tahu kalau dia sedang membalas pesan. Aku tidak sengaja melihatnya mengetik pesan sambil melirik ke kiri dan kanan. Itu bukan Rapsan yang biasanya. Dia sangat terlihat aneh.

Curiga dia yang sangat beda ini, aku lalu memantau setiap gerak-gerik Rapsan. Yang aku perhatikan setelah mengetik dia terlihat gelisah lalu keluar kelas. Akan tetapi Rapsan membawa telepon genggamnya. Aku jadi tidak bisa tahu dengan siapa dia berkomunikasi.

Masih pada hari itu, sepanjang hari dia sangat resah. Selepas pulang sekolah dia buru-buru keluar kelas. Aku membuntutinya dari belakang saat melihat dia sudah di depan pintu. Aku bergegas memasukkan semua buku yang ada di meja ke dalam tas dan menyandangnya setengah lalu berlari mengejar Rapsan.

Aku berdiri di depan kelas melihat kiri-kanan berharap masih terlihat punggung Rapsan. Sayang, banyak sekali siswa yang juga berada di luar. Ini adalah jam di mana depan kelas terlihat seperti pasar. Banyak orang lalu lalang. Ada yang tertawa bersama gerombolannya, ada yang sedang telepon sambil jalan, dan masih banyak aktivitas lainnya.

Yang jelas kini aku kehilangan Rapsan. Terakhir kulihat sembari memasukkan buku, Rapsan ke arah kanan kelas. Kalau begitu aku harus ke kanan. Baik kiri maupun kanan adalah jalan menuju lantai bawah. Sekolah menentukan lokasi kelas dua adalah di lantai dua. Untuk lantai dasar khusus kelas tiga. Mungkin agar lebih mudah memantai kakak kelas yang sudah akan lulus.

Kondisi kelas juga lebih tenang di kelas tiga karena mereka fokus belajar untuk ujian akhir. Ya meski analisa itu tidak selalu benar. Karena masih ada saja senior yang suka keluyuran di depan kelas jika tidak ada guru. Bahkan beberapa malah pergi ke kantin untuk mengganjal perut atau tertawa lebih lepas bersama teman kelas lain. Yang paling ekstrim adalah mereka ke kantin karena ingin merokok.

Tapi tidak biasanya Rapsan turun tangga melalui jalan sebelah kanan karena jalan paling dekat dengan kelas kami adalah melalui kiri. Aku sekali lagi memfokuskan mata kembali melihat kiri dengan simak. Setiap orang aku perhatikan. Tapi aku menyerah saking banyaknya orang yang berseliweran. Aku putuskan untuk mencari ke arah kanan. Aku yakin bahwa Rapsan tadi pilih jalan kanan.

Aku tetap memerhatikan setiap orang yang ada di depan. Bahkan aku sampai jinjit berusaha menemukan teman yang terlihat aneh ini. Di pertigaan jalan aku berhenti. Kalau aku jalan terus berarti kelas anak IPA. Jalan satunya atau sebelah kanan adalah turun ke bawah. Aku pilih tidak bergerak bersender di tembok pembatas melihat ke arah lapangan. Siapa tahu saja dari sini bisa melihat Rapsan.

Aku tidak menyerah sampai bisa menemukan Rapsan. Mata rasanya pegal melayangkan pandang ke orang yang berada jauh. Hingga waktu juga yang memberikan jawaban bahwa aku harus berhenti. Aku menuju parkiran mengambil motor dan pergi ke warung sebelah sekolah. Seperti biasa nangkring sejenak menghilangkan penat.

Di perjalanan menuju parkiran aku berpikir nanti juga Rapsan akan mencariku dengan mengirim pesan singkat. Dia tidak mungkin pulang sendiri. Hingga teman-teman bubar pun telepon genggamku tidak bergetar. Rapsan hilang ditelan keramaian dan aku pulang tanpa ada penumpang di belakang.

Bersambung….

Previous
Next Post »
0 Komentar